Tolak Presidential Treshold dan Munculkan Capres Sebanyaknya

Minggu, 11/10/2020 09:05 WIB
Aksi Demo Menolak Politik Presidential Treshold (Okezone)

Aksi Demo Menolak Politik Presidential Treshold (Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Oposisi yang benar mestinya fokus dulu memperbaiki demokrasi prosedural yang sudah berjalan selama 5 kali Pemilu Demokratis sejak 1999. Pilihan rakyat atas calon pemimpin tidak boleh dikandaskan batasan-batasan prosedural yang justru menciptakan status quo.

Selain itu adanya pewarisan politik dinasti yang korup, ketidakmampuan pejabat politik terpilih dalam mengartikulasikan kepentingan publik, ketergantungan yang akut kepada pemodal dan hilangnya kesempatan mendapatkan pemimpin yang tepat dalam menjawab perubahan zaman.

Sekarang mestinya menjadi momentum yang tepat untuk menyatakan kebenaran (moment of truth) - bukan setback ke masa lalu, bukan pula menghidupkan zombi-zombi yang menjadi korban Perang Dingin paska Perang Dunia ke-2, atau yang lebih parah lagi melanggengkan perseteruan di antara masyarakat yang terbelah oleh politik elektoral sejak Pemilu Presiden 2014.

Melainkan diakhirinya prosedur demokrasi yang hanya menciptakan kesenjangan sosial dengan menciptakan pemerintahan yang kredibel untuk mengatasi segenap tantangan yang sudah hadir dalam keseharian hidup masyarakat pada umumnya.

Namun upaya mendapatkan calon pemimpin yang kredibel, baik itu calon Presiden - Wakil Presiden, Kepala Daerah maupun anggota legislatif di berbagai jenjang akan sulit didapatkan lewat prosedur demokrasi yang sekarang berlaku. Mengamati tren atau kecenderungan dari Pemilu ke Pemilu, prosedur demokrasi yang berjalan sekarang ini, alih-alih menciptakan perubahan, di sejumlah daerah yang terpilih menjadi anggota legislatif - bahkan DPR-RI - adalah anak-anak, istri atau kerabat dekat kepala daerah dengan menggunakan pengaruh uang dan kekuasaan.

Tren ini harus dicegah karena demokrasi prosedural yang sekarang berlaku sangat menghalalkan conflict of interest yang dalam jangka menengah dan panjang menciptakan kondisi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan yang cenderung stagnan.

Isu utama yang mestinya menggerakkan aktor-aktor perubahan adalah dihapuskannya Presidential Threshold. Selama Ambang Batas Kepresidenan berlaku hampir mustahil menemukan pemimpin yang membawa gairah perubahan. Yang ada adalah pengapnya sirkulasi elite karena yang tersisa adalah calon-calon pemimpin yang loyal terhadap berjalannya sistem yang membusuk, dan rakyat dipaksa memilih itu.

Korupsi, kolusi dan nepotisme yang menjadi alasan terjadinya Gerakan Reformasi 98 akan berjalan lebih awet dengan legitimasi seolah-olah yang pada akhirnya terjadi krisis kepercayaan di masyarakat. Maraknya berita hoax bukan semata-mata karena ada penggeraknya, melainkan karena ada lapak sosial yang secara laten sedang bergolak dan oleh karenanya mudah percaya dengan sumber-sumber informasi alternatif yang semuanya tidak mencerdaskan.

Mestinya, biarkan saja ada puluhan bahkan ratusan calon Presiden yang maju dalam kontestasi. Toh pada akhirnya, apabila tidak satu pun yang mencapai mayoritas 50% + 1 bisa dipilih 2 peraih suara terbanyak untuk dipilih menjadi Presiden. Perancis sukses dengan cara itu sehingga terpilih Macron yang membawa gairah perubahan.

Gerakan ini apa bila melibatkan Ormas-Ormas besar seperti NU, Muhammadiyah, KWI, DGI dan lainnya serta ditopang Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai ujung tombak dan juga melibatkan kelompok-kelompok civil society akan lebih berguna bagi perubahan ketimbang gerakan-gerakan yang mengedepankan emosi masyarakat lewat politik identitas atau mewariskan zombi perang dingin yang dibiarkan langgeng sekedar untuk mempertahankan eksistensi orang-orang lama yang merasa dirampas hak-hak istimewanya oleh pemerintahan demokratis.

Demokrasi boleh jadi banyak kelemahan seiring dengan kelemahan manusia itu sendiri, karena manusia bukan hidup di ruang kosong yang bebas dari upaya-upaya penindasan oleh sesamanya. Namun demokrasi lebih memberikan ruang dan peluang bagi terciptanya perubahan yang lebih baik. Prosedur demokrasi yang baik akan menghasilkan elit-elit politik yang berkemampuan mengartikulasikan kepentingan publik dalam kekuasaannya.

Sebaliknya prosedur demokrasi yang buruk akan selalu memaksa rakyat untuk memilih yang baik dari yang terburuk sehingga kesenjangan sosial dan kemiskinan akan berjalan awet dan penolakan publik termanifes lewat mewabahnya politik identitas, hoak dan sejenisnya. Political Unrest bisa berlangsung sepanjang 5 tahun usia pemerintahan karena adanya krisis kepercayaan terhadap prosedur demokrasi yang sedang berjalan.

Maraknya poster Giring, anak muda yang dicalonkan sebagai Calon Presiden oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) hampir tidak mungkin berlanjut ke bilik suara dengan sistem politik yang sekarang ini. Padahal saya berharap, bukan hanya Giring, melainkan banyak lagi anak-anak muda, setengah muda atau tua berlomba-lomba mencalonankan presiden dengan membawa gagasan-gagasan segar untuk Indonesia yang lebih baik.

Harapan saya mencalonkan Moh Jumhur Hidayat tidak akan bersambut dengan prosedur demokrasi yang sekarang berlaku. Begitu juga dengan teman-teman yang mencalonkan Bang Rizal Ramli hanya sekedar menjadi wacana yang menghias media sosial dan online.

Untuk itu, tawaran saya. Mari bergandeng tangan menolak Presidential Threshold hingga menjadi satu gerakan massif untuk tumbuhnya lebih banyak lagi calon pemimpin bangsa, sehingga pilihan tersedia lebih banyak dan semuanya "buah segar" dan kalau pun ada buah busuk dipastikan tidak terpilih. Sedangkan prosedur demokrasi yang sekarang berlaku hanya menghadirkan buah-buah busuk dan kita dipaksa memilih buah busuk yang masih bisa dimakan dan paling sedikit ulatnya.

(Tim Liputan News\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar