Ternyata, Bank Dunia Sudah Lama Cium Niat Jahat Omnibus Law Jokowi

Jum'at, 09/10/2020 12:43 WIB
Bank Dunia sudah lama cium niat jahat UU Omnibus Law Cipta Kerja Jokowi (Foto: CIO)

Bank Dunia sudah lama cium niat jahat UU Omnibus Law Cipta Kerja Jokowi (Foto: CIO)

Jakarta, law-justice.co - Anggota DPR sudah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Selasa (6/10/2020) dalam rapat paripurna. Langkah DPR ini pun langsung diprotes oleh buruh dan sejumlah eleman masyarakat karena menilai UU ini sangat memihak pengusaha atau pemilik modal daripada membela masyarakat.

Aksi demo untuk menolak UU ini pun tak terhindarkan, bahkan puncaknya pada Kamis (8/10/2020) kemarin, aksi demo berujung kericuhan sehingga menyebabkan sejumlah fasilitas publik rusak.

Namun sebenarnya, tak hanya buruh dan beberapa elemen masyarakat yang mencium niat jahat dari UU ini. Bank dunia ternyata juga sudah lama melihat adanya niat jahat dari UU yang dinisiasi oleh pemerintahan Jokowi ini.

Meski begitu Bank dunia juga menemukan sejumlah hal positif dari Undang-Undang ini. Melansir cnbcindonesia.com, berikut adalah beberapa pandangan Bank Dunia soal UU Cipta Kerja.

Bank Dunia, dalam laporan `Prospek Perekonomian Indonesia: Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi Juli 2020` menyampaikan dua pandangan soal UU ini. Laporan setebal 88 halaman itu, Bank Dunia menyampaikan hal-hal posotif dan negatifnya.

Hal positif dari UU Cipta Kerja

Konteks yang tidak pasti yang akan mendominasi prospek perekonomian menggarisbawahi pentingnya untuk mendorong lingkungan yang kondusif secara permanen untuk investasi, perdagangan, dan inovasi. UU Omnibus untuk Penciptaan Lapangan Kerja adalah langkah potensial ke arah yang benar.

Menurut Bank Dunia, UU tersebut, yang saat itu sedang dibahas di DPR, bertujuan untuk merevisi 79 undang-undang dengan tujuan menarik investasi dan merangsang daya saing perusahaan di Indonesia. UU ini memiliki potensi untuk mendukung pemulihan pasca-COVID-19 dalam waktu dekat, seraya menetapkan fondasi untuk pertumbuhan jangka panjang yang lebih cepat.

Sejumlah langkah tindakan berikut ini sangat disambut: UU ini akan memberi isyarat kepada masyarakat internasional bahwa Indonesia terbuka untuk bisnis dengan menghapus pembatasan investasi, termasuk praktik diskriminatif terhadap investor asing dalam undang-undang sektoral. Penghapusan batasan bagi modal asing dapat memicu tambahan investasi sebesar USD 6,8 miliar.

UU ini akan meningkatkan lingkungan perdagangan dan meningkatkan partisipasi perusahaan-perusahaan lokal dalam rantai nilai global yang bergantung pada impor dan ekspor. Memberlakukan pendekatan berbasis risiko untuk perizinan impor dan ekspor dapat mengurangi biaya dan ketidakpastian perdagangan.

Analisis Bank Dunia menunjukkan bahwa surat rekomendasi untuk mendapatkan setiap perizinan impor menelan biaya sebesar 6 sen untuk setiap dolar nilai impor. Memindahkan otoritas untuk perizinan terkait perdagangan dari kementerian sektoral ke Pemerintah Pusat akan mengurangi diskresi kementerian dan peluang korupsi.

Menghilangkan proses penunjukan dari Menteri kepada lembaga-lembaga terakreditasi untuk melakukan penilaian kesesuaian dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat mempercepat dan mengurangi ketidakpastian proses sertifikasi SNI.Proses sertifikasi SNI diperkirakan akan meningkatkan biaya masukan untuk bisnis sebesar 21 persen

Hal negatif dari UU Cipta Kerja

Namun demikian, menurut Bank Dunia UU ini juga mengusulkan reformasi yang dapat mengakibatkan dampak buruk, terutama dalam lingkungan ekonomi saat ini. Misalnya, usulan di dalam RUU ini mengenai relaksasi persyaratan untuk perlindungan lingkungan hidup akan merusak kekayaan sumber daya alam yang sangat penting bagi mata pencaharian banyak orang dan dapat berdampak negatif terhadap investasi.

Upaya Pemerintah di bidang ini ditargetkan untuk mengurangi penundaan. Namun demikian, penyebab keterlambatan dan ketidakpastian untuk mendapatkan izin lingkungan hidup adalah proses yang rumit dan pelaksanaannya yang sewenang-wenang dan korup, daripada perlindungan yang termaktub di dalam Undang-Undang Lingkungan hidup (2009).

Selain itu, UU ini menghapus prinsip keselamatan dari beberapa undang-undang yang mengatur perizinan kegiatan dan produk-produk yang berisiko tinggi, seperti obat-obatan, rumah sakit, dan konstruksi bangunan, dan tidak lagi menganggapnya sebagai risiko yang tinggi. Selanjutnya, beberapa revisi di dalam RUU ini yang diusulkan untuk UU Ketenagakerjaan dapat mengurangi perlindungan bagi para pekerja.

Usulan pembebasan dari sanksi kepatuhan terhadap upah minimum yang meluas dan reformasi untuk menghapuskan pembayaran pesangon tanpa adanya usulan yang sepenuhnya disempurnakan untuk tunjangan pengangguran yang efektif dan skema asuransi, dapat melemahkan perlindungan bagi para pekerja dan meningkatkan ketimpangan pendapatan.

Ini khususnya bermasalah pada saat pengangguran meningkat karena krisis COVID-19. Pada saat yang sama, reformasi undang-undang ketenagakerjaan kurang penting dibandingkan reformasi perdagangan dan investasi untuk merangsang investasi baru.

Peraturan perundang-undangan dan kebijakan terbaru lainnya, dari pertambangan hingga pertanian, juga berisiko menimbulkan dampak negatif limpahan aktivitas ekonomi (spillover) bagi masyarakat.

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar