Soal Aksi Tolak Omnibus Law, YLBHI: Polisi Pukul Massa & Serang Medis!

Kamis, 08/10/2020 23:20 WIB
Polisi menangkap puluhan massa demonstran menolak UU Omnibus Law di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Kamis (8/10). Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari Kepolisian berapa jumlah demonstran yang ditangkap. Robinsar Nainggolan

Polisi menangkap puluhan massa demonstran menolak UU Omnibus Law di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat pada Kamis (8/10). Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari Kepolisian berapa jumlah demonstran yang ditangkap. Robinsar Nainggolan

Jakarta, law-justice.co - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan sejumlah lembaga atau instansi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menilai, tindakan aparat terhadap massa aksi yang menolak UU Cipta Kerja masuk dalam kategori tindakan represif.

Sebab massa aksi yang berniat menyampaikan aspirasi malah mendapatkan perlawanan dari aparat berupa penghadangan, penangkapan bahkan pemukulan serta pelecehan dengan ditelanjangi oleh aparat.

"Telah tiga hari ini masyarakat sipil terdiri dari mahasiswa, aktivis, buruh, petani, pelajar, turun ke jalan berdemonstrasi menolak UU Cipta Kerja. Dan YLBHI-LBH menemukan kegiatan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945 tersebut ditanggapi represif dan brutal oleh aparat kepolisian" terang YLBHI dari keterangan resmi yang diterima Law-Justice, Kamis 8 Oktober 2020.

Selain itu, tindakan represif aparat juga terjadi dengan melakukan pembubaran massa secara paksa. Pendampingan hukum terhadap massa aksi katanya juga tidak diperbolehkan tanpa alasan yang jelas.

Bahkan orang yang mau memberikan pendampingan hukum disebut juga sempat mendapatkan kekerasan dari aparat. Seperti yang terjadi di Semarang dan Manado.

Tindakan represif aparat sejatinya sejalan dengan Telegram yang dikeluarkan Kapolri.

Tindakan represif tersebut juga menunjukkan keberpihakan kepolisian terhadap pemerintah untuk mengegolkan UU Omnibus Law.

Berikut sejumlah bentuk tidak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian diberbagai daerah:

1.Polisi memukul Advokat/penasehat hukum mahasiswa yang ditangkap di Semarang (Jawa Tengah) dan Manado (Sulawesi Utara). di Manado Polisi juga mencekik leher, dan berupaya, untuk menangkap Penasehat hukum di Manado

2.Polisi menghalang-halangi dan tidak memberikan akses pengacara/penasehat hukum LBH untuk mendampingi masyarakat yang ditangkap dan dibawa ke kantor-kantor polisi;

3.Polisi menghalang-halangi aksi dengan menangkapi masyarakat yang mau berunjuk rasa di jalan-jalan, stasiun kereta api, jembatan, dll

4.Menstigma “perusuh” bagi peserta aksi;

5.Memprovokasi warga untuk perang kelompok yang berdampak pada aksi mahasiswa. Akibatnya banyak mahasiswa yang menjadi korban anak panah;

6.Polisi membubarkan massa aksi tanpa alasan dengan menembakkan gas air mata dan water canon;

7.Polisi menyerang paramedis dengan gas air mata;

8.Polisi memukuli massa aksi ketika ditangkap;

9.Polisi menelanjangi massa aksi ketika ditangkap.

10.Polisi tidak memberikan makanan pada massa yg ditahan sejak siang sampai malam hari.

11. Polisi merampas hp dan mengangkut motor

12. Pengerahan tentara dalam pengamanan dan sweeping aksi massa

13. Polisi memukul, menangkap, lalu membebaskan kembali peserta aksi dengan keterangan salah tangkap.

Berdasarkan hal itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan sejumlah lembaga atau instansi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dijamin oleh UUD 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Selain melanggar konstitusi dan peraturan perundang-undangan, polisi juga melanggar Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2019 tentang Penindakan Huru Hara (PHH).

PHH dilaksanakan apabila terjadi peningkatan situasi dari situasi kuning menjadi situasi merah. Sementara aksi massa dilakukan dengan damai, tetapi justru polisilah yang melakukan kekerasan. Kerusuhan terjadi karena tindakan aparat yang dengan sengaja membubarkan massa aksi dengan kekerasan.

Atas segala kejadian tersebut mereka mendesak Presiden dan Kapolri untuk menghormati UUD 1945 & amandemennya serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk pendapat di muka umum.

Selain itu mendesak Kapolri memerintahkan aparatnya untuk menghentikan tindakan-tindakan brutal dan represif.

Dan yang tidak kalah penting mereka mendesak Presiden RI agar segera mengeluarkan PERPPU yang mencabut UU Cipta Kerja.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar