Ghozian Aulia Pradhana, Lecturer of Communication Studies at Universitas Diponegoro

Sederet Kekeliruan Argumentasi Diplomat Silvany Saat Sidang PBB

Selasa, 06/10/2020 22:59 WIB
Diplomat RI Silvany Austin Pasaribu hadir saat sidang PBB (Fajar.co.id)

Diplomat RI Silvany Austin Pasaribu hadir saat sidang PBB (Fajar.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Disadari atau tidak, berargumentasi menyisipkan banyak kekeliruan, dan itu berbahaya. Dalam ruang publik misalnya, ketika argumentasi kita tercatat dan dimaknai kembali oleh publik, belum tentu akan menghasilkan logika berpikir yang sama dengan kebenaran yang kita pahami.

Dalam setiap argumen, kita mengajukan alasan (premis) bagi kesimpulan yang dianggap benar. Seringkali, premis yang diajukan keliru dan tidak berhubungan secara logis dengan kesimpulan yang dimaksud. Dengan demikian, argumentasi kita keliru sehingga gugur dalam sebuah perdebatan.

Beberapa waktu lalu, kita menyaksikan keriuhan pemberitaan seorang diplomat muda di Sidang Majelis PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) yang berargumentasi ketika Perdana Menteri Republik Vanuatu Bob Loughman mengungkit soal isu pelanggaran HAM. Vanuatu terbilang cukup sering mengkritik catatan HAM Indonesia di Papua dan Papua Barat.

Bagi Indonesia yang diwakili oleh Silvany, Vanuatu terlalu ikut campur negara lain, Vanuatu juga bukan bagian dari representasi rakyat Papua. Jelasnya Silvany mengatakan “memalukan bahwa suatu negara terus memiliki obsesi tidak sehat yang berlebihan tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak atau memerintah sendiri. Sebelum hal itu dilakukan, tolong jangan menceramahi negara lain”.

Tentu tulisan ini tidak akan membahas dalam perspektif hubungan internasional dan proses diplomasi antarbangsa, atau mengenai isu HAM dan separatisme yang membutuhkan data konkret dan mendalam. Tulisan ini hanya akan memeriksa kesahihan argumentasi dalam hak jawab Indonesia di Sidang PBB tersebut. Perlu kita pahami aspek penting dasar dalam konteks ini.

Apa yang dipertanyakan oleh PM Vanuatu adalah ranah ontologi (hakikat realitas), sedangkan jawaban diplomat kita justru cenderung aksiologis (etika). Selain itu, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) dibentuk dengan semangat menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Memajukan dan mendorong hubungan persaudaraan antarbangsa melalui penghormatan hak asasi manusia. Berikut kita akan memeriksa apa saja kesalahan logika dalam argumentasi Indonesia melalui diplomat muda Silvany Pasaribu.

Ketika berargumen Indonesia terjebak dalam kesalahan logika Ad Hominem, atau menyerang identitas personal penyampai argumen. Kesalahan logika ini memandang bahwa argumen yang diajukan lawan tidak valid karena sosok penyampaiannya tidak memenuhi kriteria menurut kita. Vanuatu bagi Indonesia bukanlah bagian dari Papua, sehingga dikatakan tidak berhak ikut campur untuk urusan pelanggaran HAM di Papua. Artinya, Vanuatu dianggap tidak kredibel oleh Indonesia, ini termasuk ke dalam kesalahan logika ad hominem.

Dalam contoh Vanuatu versus Indonesia, terlihat bahwa Indonesia tidak membantah argumen Vanuatu dengan menggunakan data tandingan. Alih-alih mementahkan argumen Vanuatu dengan mengungkitnya sebagai pihak yang tak pantas ikut campur urusan negara lain, bahasa bias lainnya yang digunakan Indonesia melalui Silvany adalah Vanuatu “berfantasi” menjadi bagian dari Papua.

Pertanyaannya, selain kesalahan ad hominem, jika kita merujuk semangat pendirian PBB, untuk apa didirikan PBB jika mengkritik dan mempertanyakan sikap Indonesia dalam penyelesaian HAM di Papua tidak boleh oleh negara lain sesama Asia Pasifik? Oke, anggap Vanuatu belum meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan diskriminasi rasial dan menandatangani perjanjian internasional, tetap kembali merujuk pada kesalahan logika ad hominem.

Seperti yang sudah dibahas di atas, pertanyaan Perdana Menteri Vanuatu adalah ranah ontologi, mempertanyakan substansi penyelesaian HAM di Papua. Namun, sayangnya Indonesia lagi-lagi melalui Silvany menjawabnya dalam ranah aksiologi, etika, atau kepantasan. Indonesia menjelaskan bahwa Vanuatu tidak pantas meributkan HAM di Papua sebab bukan bagian dari rakyat Papua.

Vanuatu juga dianggap tidak menjalani tugasnya dalam ratifikasi konvensi internasional soal diskriminasi rasial dan penandatanganan perjanjian internasional. Sehingga pertanyaan substantif (ontologis) soal HAM di Papua teralihkan ke hal-hal aksiologis. Itulah yang disebut kesalahan berpikir red herring, membawa topik yang tidak relevan dengan perdebatan demi mengalihkan pembicaraan.

Masih dalam pernyataan “Vanuatu bukan representasi dari Rakyat Papua, maka tidak berhak mempertanyakan penanganan HAM di Papua.” Apa yang tampak dalam pernyataan tersebut adalah kesalahan logika false dichotomy. Yakni kesalahan berlogika ketika kita menganggap bahwa hanya ada dua kemungkinan (hitam-putih) yang dapat terjadi, dan mengabaikan segala kemungkinan lain yang ada.

Jika benar Vanuatu memang bukan representasi rakyat Papua, dan itu diungkapkan dalam forum Persatuan Bangsa-Bangsa, lalu untuk apa keikutsertaan Vanuatu dan Indonesia sebagai anggota PBB? Sebuah kontradiksi. Selain kesalahan dalam tata logika, ia juga membuat prasangka terhadap bangsa lain sebagai pihak lawan.

Vanuatu bukan representasi rakyat Papua! Statement itu tergolong dalam kesalahan logika no true scotsman. Menganggap Vanuatu bukan bagian dari Indonesia khususnya Papua untuk menyerang argumentasi lawan adalah sebuah kesalahan berpikir untuk mempertahankan sebuah generalisasi. Kesalahan ini muncul ketika satu pihak menolak bentuk kritik valid yang ditujukan kepada satu kelompok. Fungsinya adalah untuk mementahkan segala bentuk bukti yang diajukan lawan bicara.

Terakhir adalah kesalahan logika yang disebut strawman. Strawman bermaksud memelintir argumentasi yang dibangun oleh lawan. Strawman menuduh kita melalui argumen kita sendiri. Artinya, pihak lawan sengaja memelintir argumen kita seolah-olah itu keluar dari argumen kita.

Indonesia menuduh apa yang dilakukan Vanuatu dalam kritiknya adalah palsu (artifisial), tujuannya tidak lain adalah mendukung separatisme dan memprovokasi pada isu Papua. Indonesia berupaya menerjemahkan argumen Vanuatu, lalu menyerang Vanuatu berdasarkan tafsirannya sendiri. Strawman sangat sulit dideteksi karena kita membutuhkan kejernihan argumentasi agar tidak terjebak dalam logika strawman.

Membangun argumen berdasarkan logika adalah sebuah seni. Upaya yang tidak hanya teknikal atau sekedar retorika, namun membutuhkan kecakapan dan pemahaman agar dialektika komunikasi menjadi lebih efektif. Selain itu perlu kiranya mempertimbangkan kegagalan menangkap makna dari proses dialektika tersebut, agar tidak tersulut dalam perdebatan alot yang dapat memicu keretakkan hubungan antarbangsa.

Pada akhirnya contoh kasus Indonesia dan Vanuatu dalam forum sidang PBB adalah momen kita memahami dan mempelajari isu yang lebih kompleks dan rumit, sehingga secara utuh dapat menghindari kesalahan berargumen juga menalar persoalan bangsa di mata dunia internasional.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar