Pengusaha: Buruh Tak Berani Mogok Nasional karena Takut Kena Sanksi!

Selasa, 06/10/2020 05:02 WIB
Demonstrasi Buruh (Tempo)

Demonstrasi Buruh (Tempo)

Jakarta, law-justice.co - Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Jakarta menyebut mogok nasional yang rencananya dilakukan oleh para buruh tidak akan berjalan efektif.

Pasalnya menurut Ketua Umum DPD HIPPI Jakarta, Sarman Simanjorang, buruh tidak berani ikut mogok maupun unjuk rasa karena hal itu merupakan perbuatan tidak sah.

Pernyataan ini disampaikan menyusul rencana 2 juta buruh di 10 provinsi yang akan melakukan mogok nasional.

Mogok dilakukan mulai Selasa hingga Jumat, 6 sampai 8 Oktober 2020, untuk menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja atau RUU Cipta Kerja.

"Takut mendapatkan sanksi," kata Sarman dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020.

Sarman yang juga anggota Lembaga Kerja Sama Tripartit (Pengusaha, Buruh, Pemerintah) Nasional ini mengatakan mogok kerja memang merupakan hak dasar buruh dalam UU Ketenagakerjaan.

Tapi, mogok dinyatakan sah bila perundingan antara buruh dan perusahaan gagal.

Dalam kondisi ini, serikat buruh wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada perusahaan dan dinas tenaga kerja setempat, tujuh hari sebelum mogok.

"Di luar ketentuan tersebut tidak sah," kata Sarman.

Jika buruh tetap melakukan mogok, maka pengusaha dapat memberikan sanksi.

Mogok ini pun dinilai akan semakin menunjukkan kepada calon investor bahwa tenaga kerja Indonesia kurang produktif dan kompeititif.

Untuk itu, Sarman mengatakan seharusnya dalam situasi seperti harus psikologis pengusaha harus dijaga.

"Agar jangan sampai melakukan PHK akibat dari isu mogok kerja," kata dia.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebelumnya menyampaikan tujuh alasan yang menjadi alasan mereka akan mengadakan mogok nasional pada 6 dan 8 Oktober 2020.

Ketujuh hal ini disebut telah disepakati pemerintah bersama DPR dalam rapat pada Sabtu malam, 3 Oktober 2020 yang memutuskan membawa RUU Omnibus Law Cipta Kerja ke sidang paripurna.

Salah satu yang dipersoalkan kalangan buruh adalah Upah Minimum Kabupaten (UMK) bersyarat dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK) dihapus.

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab, UMK tiap kabupaten atau kota berbeda nilainya.

“Tidak adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahaan baju atau perusahaan kerupuk," kata Said dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu, 3 Oktober 2020.

 

 

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar