Ini 4 Solusi Hadapi Klaster Keluarga, Cara Anies Dinilai Tak Efektif

Senin, 05/10/2020 11:41 WIB
Ilustrasi pasien isolasi mandiri (Tribunnews)

Ilustrasi pasien isolasi mandiri (Tribunnews)

Jakarta, law-justice.co - Langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ingin memberikan tanda berupa penempelan striker di setiap rumah pasien Covid-19 yang menjalankan isolasi mandiri dinilai tidak efektif. Pasalnya, pasien tersebut tak bisa dijamin bakal menjalani protokol kesehatan.

"Penyelamatan nyawa warga DKI Jakarta yang dilakukan Anies sudah tepat. Hal ini untuk melindungi semua warga DKI baik yang terpapar maupun yang belum terpapar. Tapi soal isolasi mandiri dan menempelkan stiker tidak efektif," Kata Ketua Nasional Relawan Kesehatan (Rekan) Indonesia, Agung Nugroho.

Apalagi saat ini kata Agung, klaster rumah tangga di Jakarta terus naik dan bisa dikatakan membludak.

"Kebijakan isolasi mandiri di rumah warga sangat riskan mengingat banyak rumah warga tidak memiliki sekat antara ruang tamu ke kamar tidur dan ke kamar mandi. Terutama rumah petak kawasan padat penduduk. Apalagi banyak rumah ditinggali lebih dari 1 atau 2 kepala keluarga," ungkapnya.

Diketahui, data Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI menyebutkan ada sekitar 2.560 klaster keluarga pada 4 Juni sampai dengan 14 september 2020. Dari jumlah tersebut sekitar 16.467 orang dinyatakan positif.

"Ruang isolasi yang disiapkan di GOR, wisma dan hotel lebih aman ketimbang di rumah. Kalau di rumah pastinya sulit disiplin. Karena, disiplin itu benar-benar berada dalam kamar dan tidak keluar atau saling kontak dengan anggota keluarga kecuali untuk buang air dan mandi," ucap Agung.

Aktivis 98 yang juga salah satu insiator Lingkar Aktivis Jakarta (LAJ)ini melanjutkan, parameter isolasi mandiri seharusnya bukan menggunakan ukuran rumah. Tapi paramenternya adalah kesiapan camat dan lurah dalam menyediakan ruang isolasi di wilayahnya dalam satu titik.

"Agar kedisiplinan warga yang diisolasi bisa terjamin dan tenaga medis di puskesmas mudah melakukan kontrol berkala. Karena isolasi dilakukan di satu titik bukan berpencar di masing-masing rumah warga yang melakukan isolasi mandiri," terangnya.

Terkait penempelan stiker di rumah warga OTG dan menjalankan isolasi mandiri lanjut Agung, tidak melindungi privacy dan bisa memicu stigma aib dan beban psikologis bagi warga serta berpotensi dikucilkan oleh lingkungannya.

"Jika ini terjadi maka Pemprov DKI Jakarta justru membuka ruang diskriminasi dan bisa membuat warga yang sedang melakukan isolasi mandiri menjadi setres," bebernya.

Agung menambahkan, Rekan Indonesia memberikan solusi empat poin. Pertama, penangangan bencana sebaiknya menggunakan paradigma penanggulangan kondisi terburuk. Sehingga jika suatu saat kondisi terburuk terjadi maka sudah siap.

"Kedua, pemprov sebaiknya fokus pada penambahan ruang isolasi sebanyak mungkin sebagai antisipasi jika angka pasien Corona terus meninggi atau jika suatu saat terjadi ledakan angka positif," bebernya.

Ketiga, pemprov harus meninggalkan spekulasi terhadap isolasi mandiri di rumah warga mengingat angka kluster rumah tangga atau keluarga cukup tinggi di DKI.

"Terakhir adalah mendorong dan membangun peran partisipasi aktif warga untuk ikut terlibat langsung dalam penanganan Corona di lingkungannya dalam bentuk gugus tugas relawan di tingkat RT sebagai tenaga penggerak dalam membangun kesadaran warga dan sebagai tenaga sosialisasi/kampanye 3 M, serta tenaga pemantau kedisiplinan warga yang sedang melakukan isolasi mandiri di GOR atau Hotel terdekat" tutupnya.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar