F3 Strategic Concept:

Era Krisis Demokrasi Indonesia dalam Fenomena Pilkada dan Kotak Kosong

Sabtu, 03/10/2020 21:27 WIB
Ilustrasi Pilkada 2020. (Harian Momentum).

Ilustrasi Pilkada 2020. (Harian Momentum).

Jakarta, law-justice.co - Pilkada 2020 ini dimana ada 270 daerah Pemilihan Kepala Daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Dari pemilihan tersebut ada sedikitnya 21 pasangan calon (paslon) kepala daerah dipastikan akan melawan kotak kosong pada pilkada yang digelar  Desember 2020 dan tidak ada jaminan pasangan tersebut bisa mengalahkan kandidat bukan manusia tersebut.

Sehingga muncul sebutan Otak Kosong Melawan Kotak Kosong!. Dilihat dari perkembangan saat ini diperkirakan  akan ada 31 paslon yang akan melawan kotak kosong pada Pilkada 2020 ini. 21 daerah dengan paslon tunggal selain Kota Solo di antaranya Kota Semarang, Kota Kebumen, Blitar, Banyuwangi, Goa, Soppeng, Pematang Siantar, dan Balikpapan. Sedangkan daerah lainnya termasuk Kota Gunung Sitoli, Kabupaten Ogan Komilir Ulu Selatan, NGawi, dan Wonogiri.

Fenomena munculnya paslon tunggal antara lain disebabkan:
Pertama,  akibat partai politik tidak memiliki dana operasional untuk mendukung calon yang diusung partai.

Kedua, kurang sosialisasinya dari pihak terkait, sehingga tidak menimbulkan minat oleh masyarakat untuk ikut pilkada. Itu terjadi karena pilkada dipandang bukan sesuatu yang menarik, ditambah saat ini banyak kepala daerah tersangkut kasus hukum

Ketiga, karena kepala daerah petahana dipandang masyarakat masih layak melanjutkan masa kepemimpinannya.

Keempat terparah adalah, adanya Oligarki dari kekuasaan dan Keluarga Penguasa yg menguasai partai
Fenomena ini sebetulnya kurang baik dalam era demokrasi saat ini, walaupun ada jalur lain untuk mencalonkan kepala daerah dengan jalur independen. Namun persyarat yang cukup sulit untuk jalur independen ini.

Situasi ini menjadi bukti kemerosotan bagi demokrasi di Indonesia. Selain itu, calon tunggal bisa menjadi pertanda bahwa adanya kegagalan internal partai politik dalam mencetak figur atau calon untuk berani maju bersaing di pilkada atau adanya Kepentingan Jangka Pendek.

Dalam sejarah Demokrasi di Indonesia, Pilwakot Makassar tahun 2018, itu tercatat dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Indonesia, kotak kosong lebih unggul dari calon tunggal yang punya visi dan misi, ini sungguh menjadi hal yang miris.

Tingginya potensi calon tunggal di Pilkada 2020 ini juga tidak terlepas dari adanya syarat ambang batas 20 persen dalam Undang-Undang Pilkada. Pasal 40 ayat (1) menyebutkan, partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD, atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.

Namun hal itu sudah menjadi kesepakatan kita dalam menjalankan Demokrasi ini. Semoga kedepan Demokrasi kita akan menjadi lebih baik dengan ambang batas lebih rendah dan partai dapat mencetak kader kader yang mampu menjadi pemimpin untuk daerahnya dan tidak lagi perlu harus mendapat Surat Rekomendasi, yang menjadi ajang Jual Beli kepada Calon yang akan maju Pilkada.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar