Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Beragam Versi Tafsir Peristiwa G30S PKI, Anda Pilih Versi yang Mana?

Kamis, 01/10/2020 05:25 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Setiap kali memasuki akhir bulan September dan memasuki  awal bulan Oktober, bangsa Indonesia selalu diwanti-wanti agar mewaspadai kebangkitan PKI.  Kebetulan diujung bulan September dan awal Oktober ada dua peristiwa penting bagi sejarah perjalanan bangsa ini yaitu gerakan pengkhianatan PKI dan peringatan Hari Kesaktian Pancasila atau Pancasila Sakti.

Dua peristiwa tersebut selalu diperingati oleh bangsa Indonesia setiap tahunnya untuk mewaspadai betapa bahayanya PKI yang dianggap sebagai pengkhianat negeri. Meskipun peristiwa pemberontakan PKI itu sudah lama kita peringati, namun sampai kini peristiwa itu sendiri masih multitafsir dan sejarah mencatatnya dalam berbagai versi.

Sekurang kurangnya ada tiga versi sejarah yang mengiringi sejarah pemberontakan PKI yang hingga kini masih belum tersingkap dengan jelas versi mana yang kiranya sesuai dengan fakta yang benar-benar terjadi. Masing-masing pihak mengklaim  versi yang diyakini sebagai yang paling benar dan karenanya harus dijadikan acuan dalam memahami fenomena pemberontakan PKI di negeri ini. Seperti apa versi-versi yang berkembang saat ini terkait dengan peristiwa gerakan pemberontakan PKI?.  

Versi Orde Baru

Sejarah pemberontakan PKI di Indonesia yang kita kenal selama ini adalah disebut-sebut sebagai sejarah pemberontakan PKI versi Orba. Menurut versi ini, G30S/PKI  merupakan gerakan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dan mengubah negara komunis  Indonesia. Gerakan ini dipimpin oleh DN Aidit yang saat itu merupakan ketua dari PKI (Partai Komunis Indonesia).

Gerakan 30S/PKI diwarnai oleh suatu peristiwa penculikan tujuh jendral pada 1 Oktober dini hari. Penculikan itu juga disebut-sebut sebagai upaya PKI untuk mengganti dasar negara (Pancasila) dan UUD 1945. Adapun ketujuh jendral tersebut adalah Jendral TNI Anumerta Ahmad Yani, Letjen TNI Anumerta MT Haryono, Letjen TNI Anumerta S Parman, Letjen TNI Anumerta Suprapto. (Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen TNI Anumerta DI Panjaitan, Kapten Czi Anumerta Pierre Tendean.

Sementara itu, Panglima TNI, AH Nasution yang menjadi target utama berhasil meloloskan diri sehingga terselamatkan nyawanya. Tapi, putrinya Ade Irma Nasution tewas tertembak dan ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean diculik dan ditembak di Lubang Buaya. Keenam jenderal di atas beserta Lettu Pierre Tendean kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Sejak berlakunya UU Nomor 20 tahun 2009, gelar ini juga diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Selain itu, beberapa orang lainnya juga menjadi korban pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta. Mereka adalah:Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit Tubun, Kolonel Katamso Darmokusumo dan Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto.

Setelah peristiwa G30S/PKI rakyat menuntut Presiden Sukarno untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia. Sukarno kemudian memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto untuk membersihkan semua unsur pemerintahan dari pengaruh PKI dan antek-anteknya.

Soeharto bergerak dengan cepat. PKI dinyatakan sebagai penggerak kudeta dan para tokohnya diburu dan ditangkap, termasuk DN Aidit yang sempat kabur ke Jawa Tengah tapi kemudian berhasil ditangkap. Anggota organisasi yang dianggap simpatisan atau terkait dengan PKI juga ditangkapi. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia dan lain-lain.

Berbagai kelompok masyarakat juga menghancurkan markas PKI yang ada di berbagai daerah. Mereka juga menyerang lembaga, toko, kantor dan universitas yang dituding terkait PKI. Pada akhir 1965, diperkirakan sekitar 500.000 hingga satu juta anggota dan pendukung PKI diduga menjadi korban pembunuhan massal. Sedangkan ratusan ribu lainnya diasingkan di kamp konsentrasi.

Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, G30S/PKI selalu diperingati setiap tanggal 30 September. Selain itu, pada tanggal 1 Oktober juga diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Untuk mengenang jasa ketujuh Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa ini, Soeharto juga menggagas dibangunnya Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Selain itu pada tahun 1984, film dokudrama propaganda tentang peristiwa ini yang berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dirilis. Film ini diproduksi oleh Pusat Produksi Film Negara yang saat itu dimpimpin Brigjen G. Dwipayana yang juga staf kepresidenan Soeharto dan menelan biaya Rp 800 juta.

Berdasarkan catatan sejarah “versi Orba” ini maka Soeharto dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam menumpas pemberontakan PKI di Indonesia. Sehingga peringatan tanggal 30 september dan 1 oktober setiap tahunnya dinilai penting untuk mengenang jasa jasa pemimpin Orba Soeharto yang telah berhasil menyelamatkan bangsa Indonesia dari paham komunis yang hampir saja berhasil mengganti ideologi Pancasila.

Soeharto dianggap berjasa karena langkah paling penting yang ditempuhnya yaitu membubarkan PKI dan antek anteknya. Langkah pembubaran PKI di kemudian hari ditindaklanjuti dengan keluarnya TAP MPRS No 25 Tahun 1966. Inti dari TAP MPRS itu adalah tidak memberi ruang kepada paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme hidup di Indonesia. Di masa Orde Baru, PKI benar-benar menjadi musuh bersama.

Kiranya tanpa Soeharto yang dengan sangat tegas dan disiplin menjaga Pancasila dari ancaman PKI selama 32 tahun masa kekuasaannya, bisa saja komunis kembali berkuasa di  Indonesia. Rasanya kesimpulan ini tidak terlalu berlebihan jika mengingat PKI pernah menjadi partai besar, punya kekuatan sosial dan dukungan internasional, serta memiliki pendukung yang solid dan militan pula. 

Versi Non Orba

Versi lain yang umumnya disuarakan oleh mereka yang anti Orba menyebutkan bahwa pemberontakan G30S/PKI justru menyatakan Soeharto sebagai orang yang terlibat didalamnya. Adapun bentuk keterlibatan itu bukan dalam gerakan tersebut, melainkan dengan membiarkan peristiwa itu  terjadi, meskipun saat itu TNI AD memiliki peluang untuk mencegah gerakan tersebut. Hal itu disebabkan lantaran TNI memiliki kepentingan lain yaitu merebut pemerintahan yang saat itu dipegang oleh tiga kekuatan besar yaitu Soekarno bersama jenderal pendukungnya, TNI AD, dan PKI sebagai pemenang pemilu tahun 1955.

Atas dasar fenomena tersebut, Soeharto disebut-sebut sebagai dalang terjadinya pemberontakan G30S/PKI. Dikutip dari jurnal Kesaksianku tentang G30S (2000) karya Soebandrio, sejumlah pihak menduga bahwa Soeharto sempat bertemu dengan Latief dan Letkol Untung, pemimpin aksi penculikan perwira militer.

Dalam pertemuan itu, Latief mengungkap rencana kudeta pada Soeharto, namun dirinya tidak menggagalkan rencana kudeta tersebut. Ia juga tidak melaporkan kudeta pada AH Nasution. Hal inilah yang membuat Soeharto diduga sebagai dalang dari G30 S PKI.

Teori tersebut juga diperkuat oleh buku bertajuk Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S oleh Abdul Latief. Dalam buku tersebut, Latief menyebutkan bahwa dia sempat melaporkan G30S kepada Soeharto. Respons Soeharto saat itu disebut tak melarang atau mencegahnya. Dengan tidak melarang atau tidak mencegah ditafsirkan bahwa Soeharto merestuinya.

Setelah gerakan tersebut terlaksana, momen itu dimanfaatkan oleh TNI AD untuk menuduh PKI melakukan perbuatan kejam dan usaha kudeta. Ditambah lagi, dengan terbunuhnya jendral-jendral pro Soekarno, kekuatan TNI AD semakin meluas sehingga dapat menekan PKI yang waktu itu juga dilindungi Soekarno melalui NASAKOM (Nasionalis Agama Komunis). Hal itu juga yang selanjutnya dimanfaatkan Soeharto menjadi propaganda pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur PKI, hingga PKI sebagai ancaman konstitusi.

Setelah PKI menjadi tersangka, dalam kurun waktu tahun  1965-1966, juga tahun-tahun setelahnya, telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang yang dianggap PKI atau antek-anteknya. Mereka yang dituding terkait dengan komunis, kendati tanpa bukti yang kuat dan tanpa proses pengadilan dihabisi nyawanya.

Keseluruhan jumlah korban pembantaian itu masih menjadi misterik tidak diketahui berapa jumlah persisnya. Dikutip dari The Indonesian Killings of 1965-1966 (1990) karya Robert Cribb, Angkatan Bersenjata RI memperkirakan jumlah yang dibantai mencapai sekitar satu juta. Sedangkan menurut orang-orang komunis yang selamat dari pembantaian dan mengalami trauma, tulis Theodore Friend dalam Indonesian Destinies (2003), perkiraan awal jumlah korban pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan komunis tidak kurang dari dua juta manusia.

Sebagian sejarawan menyepakati setidaknya setengah juta orang telah menemui ajalnya. Oleh M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c.1300 (1991), jumlah ini disebut lebih banyak ketimbang peristiwa apa pun dalam sejarah Indonesia. 

Setelah Orde Baru runtuh, investigasi untuk menguak tragedi pembantaian 1965-1966 mulai diupayakan, kendati tetap saja menemui banyak kendala. Pada 23 Juli 2012, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa pembantaian orang-orang yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM berat karena mereka dibunuh tanpa melalui proses peradilan sebagaimana mestinya. 

Keterlibatan CIA

Selain  dua versi tersebut, terdapat versi lain yang menyebutkan keterlibatan Amerika melalui Central Inteligence Agency (CIA). Berdasarkan versi tersebut, disebutkan bahwa tidak ada satu pun orang Indonesia yang mampu merancang aksi semacam itu. Ditambah lagi dengan kekhawatiran blok Barat terkait penyebaran paham Komunis, Amerika pun diduga turut mengambil andil dalam perancangan kudeta tersebut. Disamping itu, orang yang diduga mendalangi aksi tersebut bernama Marshal Green, mantan Dubes Amerika yang juga pernah bertugas di Vietnam.

Versi lainnnya dikutip dari jurnal Mengkritisi Peristiwa G30S 1965: Dominasi Wacana Sejarah Orde Baru dalam Sorotan, Peter Dale Scott menyebut CIA sebagai dalang G 30S PKI. PD Scott berpendapat bahwa AS tidak senang dengan tindakan Soekarno yang meminta bantuan Uni Soviet untuk pembebasan Irian Barat, membentuk poros Jakarta-Peking-Pyongyang dan melakukan konfrontasi dengan Malaysia.

Sebagai bentuk ketidaksenangan, AS mendukung pemberontak PRRI di Sumatera dan PERMESTA di Sulawesi yang berusaha menentang Soekarno. Selain itu, AS juga memberi bantuan logistik, senjata, pendidikan, dan latihan fisik secara rahasia pada perwira AD. Tindakan AS inilah yang akhirnya memicu spekulasi CIA sebagai dalang G30 S PKI.

Kabarnya, jatuhnya Bung Karno dan naiknya Jenderal Suharto dirayakan dengan penuh suka cita oleh Washington. Bahkan Presiden Nixon menyebutnya sebagai “Hadiah terbesar dari Asia Tenggara”. Satu negeri dengan wilayah yang sangat strategis, kaya raya dengan sumber daya alam, segenap bahan tambang, dan sebagainya ini telah berhasil dikuasai dan dalam waktu singkat akan dijadikan ‘sapi perahan’ bagi kejayaan imperialisme Barat.

Modus ini seperti ini kabarnya memang sering dipraktekkan  oleh negeri adikuasa itu di belahan dunia lainnya misalnya di Timur Tengah dengan agenda adu dombanya. Ujung ujungnya adalah keinginan untuk menguasai sumberdaya alam juga terutama emas hitam yang sangat strategis nilainya.

Keyakinan bahwa Amerika berada dibalik peristiwa G30S/PKI tahun 1965 terlihat setelah berakhirnya peristiwa tersebut. Setelah Soeharto berhasil naik ke tampuk kepemimpinan nasional ia kemudian mengirim satu tim ekonomi yang terdiri dari Prof. Sadli, Prof. Soemitro Djoyohadikusumo, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS-sebab itu tim ekonomi ini juga disebut sebagai ‘Berkeley Mafia’-ke Swiss. Mereka hendak menggelar pertemuan dengan sejumlah konglomerat Yahudi dunia yang dipimpin Rockefeller.

Di Swiss, sebagaimana bisa dilihat dari film dokumenter karya John Pilger berjudul “The New Ruler of the World’ yang bisa didownload di situs youtube, tim ekonomi suruhan Jenderal Suharto ini “menggadaikan” seluruh kekayaan alam negeri ini ke hadapan Rockefeler cs. 

Mereka mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha Yahudi tersebut. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon, dan sebagainya. Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967 pun dirancang di Swiss, menuruti kehendak para pengusaha Yahudi tersebut.

Akibat penguasaan sumberdaya alam oleh asing itu angka kemiskinan di negeri ini kian membengkak, kian banyak anak putus sekolah, kian banyak anak-anak kecil berkeliaran di jalan-jalan raya, kian banyak orangtua putus asa dan bunuh diri, kian banyak orang gila berkeliaran di kampung-kampung, kian banyak kriminalitas, kian banyak kasus-kasus korupsi, dan sederet lagi fakta-fakta tak terbantahkan jika negeri ini tengah meluncur ke jurang kehancuran. Suharto dianggap sebagai biangkeladi dari semua ini.

Cara cara CIA melengserkan Soekarno di Indonesia ini belakangan telah dijadikan sebagai “acuan” bagi Amerika untuk menyingkirkan pemimpin pemimpin dunia yang tidak sejalan dengan kepentingan politiknya. 

Sebagai contoh  Pada 11 September 1973, Salvador Allende, presiden sosialis Chili yang terpilih secara demokratis, digulingkan dalam sebuah kudeta militer sayap kanan. Ribuan pendukungnya dipenjara, dihilangkan, dan dibunuh. Pimpinan kudeta Augusto Pinochet menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata telah “bertindak menyelamatkan negara dari kekacauan besar” yang diciptakan pemerintahan Marxis Salvador Allende”. 

Menjelang kudeta, santer terdengar rumor bahwa “Jakarta akan datang” ke Chili. Kudeta Allende memiliki pola yang sama dengan penggulingan Sukarno di Indonesia pada pertengahan 1960-an. Kedua presiden didukung partai komunis. Keduanya disikat kaum kanan yang disokong Paman Sam. 

Sejak pembantaian massal 1965-66, “Jakarta” memang menjadi metafor dan kode untuk pemberantasan kaum komunis dan penggulingan pemerintahan kiri populis di seluruh dunia. Buku The Jakarta Method: Washington`s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World karya Vincent Bevins menguak asal-usul metafor tersebut. 

Demikianlah versi-versi yang berkembang seputar peristiwa G30S/PKI yang sampai sekarang masih menjadi tanda tanya,  versi mana yang mendekati fakta yang sebenarnya. Apakah versi versi mengenai sejarah G30S/PKI ini akan terus dibiarkan berkembang secara liar tanpa ada upaya untuk meluruskan sejarah yang sebenarnya ?. Anda percaya versi yang mana ?

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar