Warga & Tokoh Adat Nabire Galang Penolakan Otsus Papua Jilid II

Jum'at, 25/09/2020 09:39 WIB
Aksi massa menolak Otsus Papua Jilid II di Nabire, Kamis (24/9/2020) - Jubi/Titus Ruban.

Aksi massa menolak Otsus Papua Jilid II di Nabire, Kamis (24/9/2020) - Jubi/Titus Ruban.

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah tokoh adat Nabire mendukung gerakan penolakan terhadap rencana pemberlakuan kembali otonomi khusus di Papua.

Pernyataan itu disampaikan Kepala Suku Dani Damal Dougwa dan Nayak, Ayub Wenda saat berorasi pada unjuk rasa di Polres Nabire, Kamis (24/9/2020).

“Otsus Jilid I sudah almarhum, jadi tidak ada (lagi) Otsus Jilid II. Kami mendukung penyampaian aspirasi (penolakan perpanjangan otsus) yang tidak anarkistis,” kata Wenda seperti melansir jubi.co.id, Kamis 24 September 2020.

Massa berunjuk rasa untuk menolak pemberlakukan kembali otonomi khusus (otsus) di Papua. Mereka berdatangan dari Kalibobo, Karang Tumaritus, dan Siriwini serta wilayah di sekitarnya.

“Apa yang Rakyat Papua dapat dari Otsus? Intimidasi, pembunuhan, kekerasan, pemerkosaan. Itu ‘kah yang (harus) kami dapat? (Karena itu), kami menolak otsus dan menginginkan referendum (penentuan kedaulatan Papua),” kata Koordinator aksi Aden Dimi dalam orasinya.

Massa menyampaikan delapan tuntutan dalam petisi penolakan terhadap pemberlakuan kembali otsus di Papua. Tuntutan itu, di antaranya menolak pemberlakukan kembali otsus dalam bentuk apa pun di Papua. Mereka juga menolak kompromi sepihak dalam memutuskan agenda mengenai masa depan Papua.

Selain itu, mendesak pengembalian penuh kedaulatan Rakyat Papua dalam menentukan nasib sendiri, dan mendukung gerakan Petisi Rakyat Papua 2017.

Kemudian, menolak rapat dengar pendapat Majelis Rakyat Papua untuk meloloskan otsus plus. Massa mengancam mengelar mogok massal apabila tuntutan mereka tidak digubris pemerintah.

“Kami juga meminta (kekuatan) militer ditarik dan menghentikan penyisiran (terhadap warga sipil) di Intan Jaya, Nduga, dan serta seluruh Tanah Papua. Kepada Rakyat Nabire, kami mengimbau untuk golput (tidak menggunakan hak suara) pada Pilkada 2020,” kata Dimi.

Aksi massa tersebut sempat ricuh karena polisi menghalangi bahkan menangkap sejumlah peserta aksi. Alasannya, mereka tidak pernah mengizinkan aksi yang melibatkan ribuan orang.

“Aparat hanya membolehkan 20 orang (sebagai) perwakilan (massa) untuk menyampaikan petisi. Kami menolak dan menginginkan semuanya hadir. Setelah bernegosiasi, kami diberi waktu untuk menyampaikan petisi,” kata Juru Bicara Petisi Rakyat Papua (PRP) Nabire Jefri Wenda.

Massa pun akhirnya diterima jajaran Polres dan DPRD serta Pemerintah Kabupaten Nabire. Mereka berjanji memerhatikan aspirasi tersebut.

“Mereka telah menyerahkan aspirasi (petisi) kepada kami. Kami akan lanjutkan (sampaikan) kepada pimpinan daerah,” kata Sekretaris Daerah Nabire Daniel Maipon.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar