Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Jelang Pilkada Tiba, Saatnya Beternak Penguasa

Jum'at, 25/09/2020 05:33 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Pilkada serentak 9 Desember 2020 memang belum tiba, tapi baunya sudah menyengat kemana-mana. Ramainya pembicaraan soal pilkada tidak lepas dari momentum pelaksanannya yang berbarengan dengan merebaknya virus corona. Karena wabah corona, banyak pihak yang menyarankan agar pilkada ditunda saja. Tapi rupanya pemerintah tetap ngotot supaya pilkada dilaksanakan sesuai jadwal yang telah direncanakan semula.

Seiring dengan semakin dekatnya jadwal pelaksanaan pilkada, kasak kusuk sudah mulai terasa untuk mendukung calon-calon yang akan maju di pilkada baik sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota. Diantara calon pendukung Gubernur, Bupati atau Walikota dalam pilkada adalah para cukong yang banyak duitnya. Para cukong itu bersemangat untuk menanamkan sahamnya kepada para calon penguasa karena ada sesuatu didalamnya.

Mengapa mereka begitu tertarik untuk mendukung salah satu calon kandidat dalam pilkada ? Isu cukong membiayai kandidat dalam pilkada itu ilusi atau fakta ? Apa bahayanya jika mereka menjadi sponsor atau investor  bagi kandidat Gubernur, Bupati atau Walikota  dalam pilkada?. Mengapa perselingkuhan antara kandidat dan cukong sukar dihilangkan dari praktek perpolitikan di Indonesia ? Akan Sampai kapan ?

Untungnya Beternak Penguasa

Menjelang pelaksanaan pilkada, para cukong seakan-akan berlomba-lomba, kasak kusuk untuk mendukung salah satu pasangan yang akan maju dalam kontestasi pilkada. Mereka sudah bisa membayangkan keuntungan besar yang bakal diraihnya manakala jago yang diusungnya menang dalam pilkada. Itulah sebabnya mereka tidak sayang untuk mengeluarkan uangnya guna memodali kandidat yang dijagokannya.

Keyakinan para cukong untuk mendukung salah satu kandidat dalam pilkada ibarat sebuah usaha investasi peternakan yang nantinya akan sukses besar karena hasil ternaknya akan mendatangkan keuntungan baginya jika masa panen tiba.

Bisa jadi keyakinan tersebut muncul karena para cukong terinspirasi oleh sebuah kisah di China  tentang seorang  Perdana Menteri Dinasty Qin bernama Lu Bu Wei yang menjadi peletak dasar menyatukan China. Lu Buwei (吕不韦-235 SM) adalah seorang negarawan sekaligus pengusaha pada awal berdirinya Dinasti Qin. Dia lahir di negara Wei (sekarang Puyang, provinsi Hebei) pada masa negara-negara berperang (453 SM-221 SM).

Ketika masih muda Lu diceritakan pernah berguru pada Gui Guzi, seorang yang sangat terpelajar pada masanya. Kepada Gui Guzi, Lu mempelajari ilmu meramal tentang kejadian masa depan. Awal dirinya terlibat dalam politik dimulai dari perbincangan dengan ayahnya. Suatu hari dia bertanya pada ayahnya.

“Ayah, berapa sih untungnya bertani ?” “Sepuluh kali masukannya” jawab ayahnya. “Bagaimana kalau berbisnis perhiasan ?” tanyanya lagi. “Seratus kalinya”. “Lalu bagaimana kalau kita membantu seseorang mewarisi tahta kerajaan dan mengontrol negara ?” Ayahnya menjawab sambil tersenyum, “Ribuan, puluhan ribu, bahkan mungkin tak terhitung”

Rupanya isi dialog  Lu Bu Wei dengan papanya pada abad ke 3 SM itu telah menginspirasi banyak pengusaha China yang menyebar ke seluruh dunia. Mereka membawa filosofi bisnis itu untuk mengepakkan sayap usahanya sehingga meraksasa.

Banyak pengusaha China yang di berbagai negara yang berhasil karena kemampuannya untuk “beternak penguasa”. Mereka rupanya tahu betul kalau beternak penguasa jauh lebih menguntungkan daripada bertani, berbisnis perhiasan atau bentuk bentuk bisnis yang lainnya.

Makanya kemudian lahir istilah Cu Kong ( asal kata Zhu artinya pemilik dan Gong artinya semacam Datuk atau gelar kehormatan. Panggilan kehormatan zaman dulu yang membiayai orang-orang tertentu menjadi penguasa (anggota Parlemen, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Polisi, Panglima Tentara dan yang lainnya). Jadi soal Cu Kong bukan hal baru dibelantara perpolitikan di  Indonesia.

Kebiasaan cukong beternak penguasa sudah terjadi pada zaman penjajahan Belanda. Dalam buku `Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia` jilid kedua, terbitan P.N Pradnja Paramita: 1970, Prof Dr. D.H. Burge dan Prof. Dr. Mr. Prajudi, menuturkan situasi pemilihan seorang lurah atau kepala Desa dan pejabat diatasnya pada zaman Belanda. Ia menuturkan bahwa seorang calon Lurah harus memiliki uang 700-1000 gulden.

Uang tersebut sejumlah 200 gulden `dipersembahkan` kepada Bupati, untuk Wedana 100 gulden, dan untuk Jurutulis Controleur 25 gulden. Sisanya untuk `mensejahterakan` eselon lainnya yang terkait dalam struktur kepangrehpradjaan.

Penyediaan dana dengan sistem uang semir dalam pengangkatan Lurah sampai Bupati pada zaman Belanda itu diadakan demi untuk menciptakan ketergantungan kalangan Pangreh Praja (Birokrasi/Pemerintah) terhadap pemilik dana.

Muncul pertanyaan darimana dana tersebut diperoleh? Jawabannya diperoleh dari pinjaman kepada Cina yang kala itu disebut Taokeh (Tauke). Seorang Taokeh pada masa itu dapat mendanai tiga atau empat Lurah. Setelah `Pilkada` di masa kolonial, `Taokeh` selalu menuntut balas jasa ke penguasa.Tentu dalam bentuk "proyek"  atau bentuk bentuk imbal jasa yang  lainnya.

Bentuk bentuk hubungan antara cukong dengan calon penguasa baik seorang calon lurah, Camat, wedana, atau Bupati di zaman Belanda sudah biasa. Hanya nilainya saja yang tentu saja berbeda. Kalau ingin menjadi lurah saja harus tersedia 700-1000 gulder bisa dibayangkan berapa nilainya kalau mau jadi seorang Camat, Bupati atau Wedana.

Beternak penguasa itu teorinya sangat sederhana: pegang ‘pemimpinnya’ kuasai lahan suburnya. Habisi rakyatnya bila diperlukan kalau mereka melawannya. Teori inilah yang  dulu dipraktikan kolonialisme Belanda untuk mengeruk kekayaan bangsa Indonesia.

Jadi hubungan "simbiosis mutualistik" antara pemilik modal dengan penguasa, antara Aseng dengan Asong sudah berakar begitu lama di tanah air kita. Hubungan seperti ini rupanya tetap dilestarikan setelah Indonesia merdeka khususnya begitu marak terjadi di zaman Orde Baru (Orba),sampai dengan masa pemerintahan yang sekarang berkuasa.

Para cukong begitu bersemangat untuk ikut serta dalam penghelatan pilkada karena terbayang keuntungan yang bakal diraihnya ketika jagoannya memenangi pilkada. Inilah bisnis yang sangat menguntungkan dibandingkan dengan jenis bisnis bisnis lainnya. Karena ada nilai gengsi dan dan kekuasaan disana. Betapa bangganya seorang cukong ketika dengan uangnya ia bisa menjadikan seorang pejabat menjadi boneka atau jongosnya.

Bukan Isapan Jempol

Musim pilkada yang menjadi momen cukong-cukong untuk beternak penguasa memang bukan isapan jempol belaka. Baru-baru ini Prof Mahfud MD, Menteri Kordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) menyatakan ada 92 persen calon-calon Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibiayai para cukong. Pernyataan ini disampaikan Mahfud MD dalam Webinar, Jumat 11 September 2020 di Padang Sumatera.

Dalam kesempatan itu juga Mahfud berkisah: KPK, KPU, Kemendagri, MK, dan Kemenko Polhukam pada tahun 2012 pernah mendiskusikannya. Dalam catatannya ada 12 kelemahan Pilkada Langsung seperti: pemalsuan surat-surat, teror terhadap pemilih, penyalahgunaan jabatan, suap oleh cukong, suap antar pejabat, suap para calon terhadap pemilih (politik uang).

Bak gayung bersambut, pernyataan Mafhud pun dibenarkan oleh salah satu pimpinan KPK Nurul Ghufron. Dalam kajian yang pernah dilakukan KPK, 82 persen calon Kepala Daerah memang didanai oleh sponsor.“Faktanya dalam kajian KPK sebelumnya ada 82 persen calon kepala daerah didanai oleh sponsor bukan menggunakan uang pribadinya. Kemungkinkan uang itu digunakan sebagai money politic, sehingga itu menunjukkan nanti akan ada aliran dana dari sponsor kepada calon kepala daerah.”

Bahwa pilkada banyak di danai oleh para cukong juga di sampaikan oleh ekonom senior Rizal Ramli saat mengajukan uji materi presidential threshold, di Kantor Mahkamah Konstitusi (MK).Dalam kesempatan itu, Rizal mengatakan proses pencalonan hingga pemilihan pemimpin terpilih yang ada di dalam struktural pemerintahan Indonesia, baik pusat maupun daerah sekarang ini disokong oleh cukong yang telah memodalinya.

Sebagai buktinya, RR mengaku telah membicarakan kebobrokan proses demokrasi diera Presiden Joko Widodo saat melakukan pertemuan dengan pimpinan KPK."Saya bersama teman berkunjung ke KPK, ketemu dengan dua komisioner dan dua direktur KPK. Saya minta, tolong KPK fokus sama money politic. Karena inilah yang merusak Indonesia skala yang paling besar," paparnya.

Kala itu, mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini mendapat jawaban teknis dari komisioner KPK, yang membuktikan adanya praktik korupsi di sektor politik sebagai dampak adanya cukong yang memodalinya.

"Komisioner KPK bilang, `Pak Ramli kebetulan seminggu yang lalu kita tangkap Bupati Kutai Timur dan istrinya Ketua DPRD. Dia mau maju jadi bupati lagi dia ngumpulin uang dari cukong Rp 18 miliar, tetapi kerugian negara, karena dia harus kasih konsesi utang tambang macam-macam (sampai) Rp 2 triliun`," terang Rizal Ramli  menirukan jawaban komisioner KPK yang tidak spesifik disebutkan namanya.

Berdasarkan pengakuan dari Mahfud MD maupun Rizal Ramli serta data data yang dimiliki oleh KPK maka sangat nyata bahwa pemilihan kepala daerah yang disokong oleh para cukong itu bukan isapan jempol belaka tetapi nyata adanya.

Biasanya daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah akan diperebutkan cukong besar baik lokal maupun nasional untuk membiayai segala kebutuhan kampenye kandidat yang akan maju di pilkada. Sebagai contoh Kabupaten Kutai Timur salah satu daerah yang memiliki kekayaan alam berlimpah dari pertambangan, Hutan dan perkebunan menjadi incaran para cukong yang ingin membekingi calon Bupatinya. Maka tidak bisa ditutup- tutupi lagi, pertarungan pilkada tidak sekedar pertarungan antar kandidat tetapi sudah melibatkan raksasa besar "bergigi" kepentingan yaitu para cukong yang banyak uangnya.

Besarnya potensi alam suatu daerah, konon bisa membuat para cukong berani pasang dua lokang atau lebih bahkan cukong tak segan memberikan modal pada semua pasangan tarung di pilkada. Maka siapapun yang terpilih, pemenangnya adalah cukong yang memodalinya. Sampai dimana kebenarannya silahkan bicara jujur para kandidat yang sudah pernah dan akan bertarung pada pilkada.

Bahaya Hasil Ternak Penguasa

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, pendanaan para cukong dalam pilkada akan melahirkan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota) yang merumuskan kebijakan sesuai pesanan dan kepentingan para cukongnya.

Mahfud pun mewanti-wanti bahwa korupsi kebijakan yang dihasilkan dari money politik di pilkada lebih berbahaya dari korupsi uang yang selama ini telah menjerat banyak pejabat sehingga menjadi pasien KPK. Jika korupsi uang, bisa dihitung tapi tidak untuk korupsi kebijakan. Karena korupsi kebijakan biasanya berupa lisensi penguasaan hutan, lisensi tambang, dan lisensi lainnya yang lebih merugikan masyarakat.

Mahfud seolah ingin mengatakan lebih berbahaya jatuh dari pesawat terbang daripada tenggelam ke dalam samudra, atau lebih bau tahi sapi daripada tahi ayam meskipun sama sama tahinya.Padahal, korupsi uang dan korupsi kebijakan adalah setali tiga uang. Sama-sama bermuara pada kerugian negara dan kemudaratan umat yang menjadi korbannya.

Para penguasa yang lahir dari hasil ternak para cukong juga sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Menurut Rizal Ramli, yang terjadi begitu seseorang terpilih menjadi pejabat, bupati, gubernur atau walikota maka ia akan lupa cita-citanya untuk  berbuat membela rakyat yangt telah memilihnya. Dia akan melupakan cita citanya untuk berjuang demi kepentingan nasional, bangsa dan negara. Mereka akan sibuk untuk  mengabdi sama cukong-cukongnya yang telah mendanainya sehingga bisa berkuasa.

Rizal Ramli mencontohkan kasus yang terjadi pada seorang Bupati Kutai Timur yang terkena OTT KPK.Menurut Rizal Ramli, nilai endorsement nyalon pilkada yang diberikan cukong kepada Bupati Kutai Timur tidak seberapa jika dibandingkan dengan keuntungan yang didapat cukong tersebut melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sang Bupati setelah berhasil menduduki kursinya.

"Uang sogokan dari cukong cuma 0,8 persen saja, dia ke Jakarta bawa deposito Rp 18 miliar itu, mau ketemu partai untuk mendapatkan perahu tapi keburu ditangkap sama KPK . Nah hampir semua pemilihan bupati di Indonesia kayak begini, mesti nyetor upeti, yang bayarin cukong “, katanya.

“Kalau di daerah kompensasi bisa berupa ijin-ijin tambang tapi kalau di kota-kota besar itu (timbal baliknya) biasanya hak izin IMB, konsesi utang dan lain-lain," tambahnya.

Oleh karena itu, mantan Menko Kemaritiman dan Sumber Daya ini berharap kepada KPK untuk mengusut tuntas persoalan korupsi di sektor politik sebagai implikasi keterlibatan cukong dalam pilkada.

"Karena yang memilih sebelumnya cukong-cukong, kemudian cukong membantu biaya survei. Cukongnya membantu buzzer influencer media. Ini yang membuat indonesia enggak akan pernah menjadi negara hebat kuat adil dan makmur karena pemimpin-pemimpinnya pada dasarnya itu mengabdi sama yang lain," katanya. "Saya minta KPK harus fokus hal begini karena harus hentikan ini," demikian Rizal Ramli menaruh harapannya.

Dampak dari adanya penguasa yang lahir dari hasil ternak para cukong memang sangat berbahaya. Muara dari itu mengarah pada korupsi kebijakan sebagaimana disinyalir oleh Mahfud MD. Pemiskinan sampai operasi membantai rakyat sendiri bisa terjadi, baik secara vulgar maupun teror psikologis demi tercapai tujuan cukong yang menyetir penguasa bonekanya. Kepala daerah tidak bisa berbuat apa apa karena sudah merasa tersandera sebagai imbal jasa yang telah diperolehnya.

Maka kita sering menyaksikan bersama operasi operasi penggusuran tanah rakyat tanpa ganti rugi yang wajar sesuai harga yang seharusnya. Salah satu contoh terjadi di Kecamatan Sanggar Tambora Kabupaten Bima oleh PT. Sanggar Agro Karya Persada. Gubernur dan Bupati disana  tidak berdaya mengatasinya. Baik dengan rakyatnya, lebih-lebih pihak perusahaan yang menguasai dua HGU yang menguasai ribuan tanah sejak 1996 .

Setelah 6 tahun berjuang justru, masyarakat Sanggar dan Tambora semakin memperpelik keadaan. Inilah bukti, pemerintah kita lemah tak berdaya dihadapan perusahaan  yang diduga milik pengusaha yang telah berjasa pada penguasa.

Sering juga kita saksikan dimana ketika rakyat berhadapan dengan cukong selalu saja alat negara diterjunkan untuk mengamankan pihak pengusaha atau cukongnya. Bahkan terlibat sampai jauh meneror, menganiaya, menembak, dan membunuh rakyat karena dituduh mengusik kepentingan para cukong yang telah berjasa pada penguasa hasil peliharaannya.

Semua itu terjadi karena penguasa yang terpilih adalah hasil ternak cukong yang telah memodalinya. Cukong cukong telah banyak mengeluarkan uangnya untuk mendanai kampanye di pilkada. Tetapi semua itu tidak gratis dan masuk hitunggan dagang sapi, karena para pengusaha tersebut akan memperoleh balasannya berupa pemberian proyek-proyek yang jumlahnya berlipat-lipat, bila kandidatnya sudah menjadi penguasa.

Pembayaran bisa melalui bagi bagi proyek pemerintah yang ada di daerah maupun pusat, jual beli jabatan, direksi dan kepala kepala dinas, staff ahli dan lain lainnya. Mata para cukong nantinya akan tertuju pada anggaran APBD, APBN maupun anggaran anggaran lainnya, semua disikat tak bersisa. Anggaran pembangunan dikunyah, anggaran bencana alam dan bantuan sosial dihisap, demikian pula dengan anggaran anggaran lainnya ditelan tak bersisa, rakyat terabaikan, ekonomi rakyat semakin lemah tak berdaya.

Fenomena politik yang berkembang dalam bursa demokrasi terkini di republik ini menunjukkan bahwa Pilkada sudah menjadi “industri politik” yang membutuhkan banyak dana. Konsekuensi dari semua itu adalah hanya individu atau kelompok pemilik modal banyak berpeluang bermain dan menjadi pemenang dalam industri politik Pilkada.Kondisi inilah yang dimanfaatkan para cukong untuk menjadi mitra politisi lokal dalam memburu rente melalui Pilkada.

Pilkada berbiaya sangat tinggi mendapat justivikasi dari Thomas Koten yang mengutip Diamond (1995) yang mengatakan bahwa “kehidupan politik demokratik hanya sebagai ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatan produktif. Kekuatan uanglah yang bermain di ladang demokrasi. Maka kekuatan uang yang dimotori semangat kapitalis telah melumpuhkan kekuatan lain.

Orang-orang berkantung tebal adalah pemilik demokrasi, merekalah penguasa lahan-lahan komunikasi publik”.Tidak terelakkan lagi kita sudah masuk dalam “Pusaran Demokrasi Uang” dan sulit lagi untuk keluar dari pusaran itu.

Mengapa Sukar Dihilangkan ?

Fenomena adanya perselingkuhan antara pengusaha (cukong) dengan calon penguasa dalam pilkada memang sudah berlangsung lama tapi nyatanya sulit diberantas keberadaannya. Sepertinya ia sudah menjadi penyakit kronis sehingga ada yang menganggapnya sebagai hal yang wajar wajar saja selama masih ada demokrasi langsung lewat pilkada. Praktek para cukong memelihara calon penguasa akhirnya dianggap sebagai hal yang biasa.

Maraknya praktek cukong memelihara calon penguasa tidak terlepas dari adanya faktor faktor yang ikut menunjangnya, antara lain :

Pertama, ongkos politik yang kian mahal, seperti belanja logistik kampanye, mendanai mesin parpol, tim suskes, relawan, konsultan politik, dan lembaga survey dan sebagainya. Paket pemenangan semacam inilah yang memaksa kandidat kerja keras mencari sponsor untuk bisa membiayainya. Secara tak langsung, para calon mengundang cukong menjadi bagian penting pemenangannya. Sekali lagi, ini soal tebal tipisnya iman politik saja. Bagi kandidat yang tipis imannya tentu akan dengan mudah mencari peluang siapa saja yang mau membiayainya meskipun nantinya harus dibayar mahal dengan mengorbankan kepentingan rakyatnya.

Kedua, budaya mahar politik ‘membeli’ perahu parpol untuk bisa ikut kontestasi di pilkada. Soal mahar politik ini termasuk perkara rumit karena parpol kadang kadang mematok harga selangit untuk bisa mengeluarkan kartu dukungannya. Apalagi calon berhasrat menyapu bersih semua dukungan parpol, tentunya membutuhkan dana yang lumayan besarnya. Sepanjang gelaran pilkada berlangsung, praktik mahar politik sepertinya tidak pernah dapat diungkap Bawaslu, mungkin karena sulit pembuktiannya atau kemauan tidak ada.

Ketiga, dari segi cukong yang berkepentingan mengamankan jejaring ekonominya. Dengan mendukung kepala daerah terpilih, sangat mudah mengintervensi regulasi yang menguntungkan dirinya. Efeknya akan lahir kebijakan yang korup atau korupsi kebijakan menurut istilah Mahfud MD. Termasuk pula kemudahan terlibat dalam pemberian ijin, pengadaan barang dan jasa serta proyek pemda lainnya. Pada tahap inilah pilkada tak ubahnya ajang berburu rente bagi pihak yang terlibat didalamnya. Tempat para petualang mencari kepentingan ekonomi dengan mendanai calon yang kemungkinan besar menang dalam pilkada.

Keempat, praktek politik uang. Meski dilarang, praktik politik haram ini hampir selalu dilakukan oleh para kandidat dalam pilkada. Modusnya bisa macam macam mulai bagi sembako, dalam bentuk uang maupun janji janji untuk mendapatkan suara. Sudah banyak kasus, temuan penelitian, jurnal, maupun buku yang mengungkap jual-beli suara dalam praktek pemilu di Indonesia. Namun penegakan hukumnya terkesan lemah sehingga tidak menimbulkan efek jera. Selain lemah pada level eksekusi, aturan main soal money politic cukup longgar, hanya dicantumkan dalam pasal larangan dalam kampanye saja.

Jika pelakunya tertangkap biasanya diselesaikan secara politik karena saat ini politik memang menjadi panglima. Penegakan hukum masih berada di level kedua.Kondisi inilah yang menyebabkan cukong merasa bisa bermain dengan aman aman saja.

Kelima, sikap pragmatisme masyarakat dalam pilkada. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pilkada identik dengan pesta lima tahunan yang bisa mendatangakan rejeki meski tidak seberapa. Masyarakat yang prakmatis ini biasanya menentukan pilihanya berdasarkan nilai yang diterimanya. Jika pada hari H tidak ada apa apanya maka jangan harap kandidat akan mendapatkan suara.

Fenomena inilah  yang dimanfaatkan oleh para cukong untuk mendapatkan suara bagi calon yang di dukungnya. Mereka memetakan daerah daera suara pemilihnya bisa dibeli dengan uang yang telah disediakannya. Kalau kebanyakan masyarakat punya kecenderungan pragmatis seperti ini maka akan lebih mudah bagi cukong untuk memenangkan jagoannya.

Bahkan belakangan ini disinyalir  cukong bukan lagi serupa sapi perah atau ‘ATM berjalan’ di setiap pilkada, melainkan sudah mulai berani tampil ke permukaan menjadi bagian dari tim suksesnya. Turut serta berjibaku menjadi bagian penting tim pemenangan kandidat yang di usugnya.

Semua dipaksa menerima kenyataan gurita pemodal, cukong, atau apa pun istilahnya yang menjadi faktor determinan pemenangan pilkada. Demokrasi yang terkonsolidasi nyatanya tak mampu memutus ketergantungan pada cukong dan para kandidat  belum merdeka seutuhnya.

Sampai Kapan ?

Jika benar pernyataan Mahfud MD yang menyatakan ada  92 persen pilkada didanai cukong maka itu sama saja artinya dengan adanya fakta 92 pemimpin yang dipilih hasil pilkada adalah pemimpin boneka. Yaitu bonekanya para cukong yang telah mengantarkannya menjadi seorang penguasa pada saat pilkada.

Negara seharusnya malu mengungkap fenomena ini karena menunjukkan kegagalannya. Lalu buat apa melaksanakan pilkada yang telah menyedot banyak anggaran negara kalau akhirnya hasilnya cuma pemimpin boneka ?. Buat apa ada pilkada kalau yang menentukan pemimpin daerah pada akhirnya uang cukong juga ?

Dalam kaitan ini patut disesalkan juga peran negara yang  telah mendistorsi konsep demokrasi dalam kampanye ‘pesta rakyat’ karena tidak mampu mengendalikan sistem yang seharusnya dijalankannya. Tidak ada keadilan bagi seluruh rakyat bila seluruh proses-proses politik kita ditentukan oleh para cukong yang mendanainya.

Ini artinya negara telah  ikut merestui  demokrasi pancasila dipasung dan terkubur bersama kepongahan para cukong dengan kekuatan uangnya . Sepertinya KPU, Bawaslu (penyelenggara) TNI dan Polri (pengaman) tidak berdaya melawan pola permainan cukong dan gerombolannya

Alhasil  rakyat yang kelihatan memilih (kedaulatan), namun cara rakyat memilih ditentukan oleh cukong.Sehingga kedudukan rakyat itu hanya sebagai buruh politik belaka. Uang, sembako, piring, periuk permen diobral diruang-ruang publik untuk menggaet suara. Sedangkan teror, suap, penyalahgunaan jabatan, merongrong diruang tersembunyi yang dimainkan oleh cukong dan partner selingkuhnya yaitu penguasa atau calon penguasa.

Hal itu yang secara subtantif menegaskan, cukong berdaulat menentukan hasil akhir dari Pilkada. Sehingga secara substansial pilkada sebenarnya bukan pesta rakyat tapi pesta cukong karena menjadi momen baginya memelihara calon penguasa bonekanya.

Kiranya sampai kapan kita memilih jadi bandit dengan menghamba pada kepentingan cukong yang menjadi penentu hasil pilkada ?. Ibarat seorang dokter, sebenarnya tidak boleh berhenti sampai diagnosis semata. Setelah mengetahui jenis penyakit yang diderita pasien, maka dokter pun harus bertindak untuk bisa menyembuhkannya.

Mahfud MD pernah mengaku memiliki 12 catatan kelemahan-kelemahan pilkada langsung.Antara lain pemalsuan surat-surat, teror terhadap pemilih, penyalahgunaan jabatan, penyuapan antar pejabat, penyuapan dari cukong, penyuapan dari calon kepada pemilih yang kita kenal politik uang, dan sebagainya. Pada waktu itu dianggap sudah sangat merusak," tuturnya.

Dengan demikian ibarat seorang dokter pak Mahfud sudah mendiagnosa sehingga tahu persis apa penyakitnya. Maka pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sistem pilkada negeri ini yang sekarang disetir oleh cukong sebagai pemodalnya ?. Apakah pemerintah mau mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat DPRD seperti era Orba ? Atau meninjau ulang ambang batas yang menjadi ganjalan kandidat potensial yang tidak memiliki relasi dengan parpol ? Lalu apakah ketika ketentuan parlemen threshold dihilangkan, bisa menjamin tak ada lagi money politik selama pilkada ?.

Kiranya banyak sekali pertanyaan pertanyaan yang harus mendapatkan jawaban segera karena menyangkut nasib rakyat Indonesia kedepannya. Sebab selama pilkada di kuasai oleh para culong maka tujuan negara yaitu mengsejaterakan rakyatnya hanya akan menjadi utopia. Negara Indonesia yang adil makmur bagi seluruh warga bangsa juga akan menjadi mimpi belaka.

Jika jawaban itu tidak ada karena ketidakmampuan untuk menjawabnya. Apa tidak sebaiknya pemerintah melambaikan bendera putih atau lempar handuk sebagai tanda ketidakmampuannya ?. Jangan sampai rakyat digantung nasibnya oleh sebuah otoritas kekuasaan yang tidak jelas kinerjanya. Karena ketidakpastian itu sendiri akan menyiksa rakyat yang telah memilihnya.

 

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar