Analisis Hukum Bancakan Dana Negara di PT Perusahaan Pengelola Aset

Kamis, 24/09/2020 10:45 WIB
Kantor Pusat Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Persero (Kontan)

Kantor Pusat Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Persero (Kontan)

Jakarta, law-justice.co - PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) adalah BUMN yang bergerak di bidang investasi, restrukturisasi/revitalisasi, dan pengelolaan aset-aset perusahaan BUMN lainnya yang sedang bermasalah. Perusahaan itu berdiri pada 27 Februari 2004 untuk menggantikan dan mengambil alih aset-aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2008, PT PPA diberi mandat untuk menyehatkan perusahaan BUMN dengan cara meningkatkan dan menyempurnakan berbagai aspek bisnis dan operasional perseroan. Dengan kata lain, PT PPA bertugas untuk membantu dalam mengamankan aset-aset negara yang dikelola oleh perusahaan BUMN. Jika terjadi masalah, dengan berbagai pertimbangan yang wajar, PT PPA bisa mengambil alih atau membantu memulihkan kondisi perusahaan tersebut.

Setidaknya ada 11 perusahaan yang pernah diambil alih oleh PT PPA untuk dilakukan restrukturisasi karena dinyatakan merugi dan tidak bisa memulihkan diri sendiri. Kesebelas perusahaan tersebut adalah PT Penataran Angkatan Laut (PT PAL); PT Dirgantara Indonesia; PT Nindya Karya; PT Boma Bisma Indra; PT Industri Kapal Indonesia; PT Survai Udara Penas; PT Industri Sandang Nusantara; PT Iglas; PT Kertas Leces; PT Kertas Kraft Aceh; dan PT Merpati Nusantara Airlines.

Dari 11 perseroan tersebut, empat di antaranya termasuk dalam kategori berat karena utangnya lebih besar ketimbang aset yang dimiliki. Keempat perusahaan plat merah tersebut adalah PT Industri Gelas (Iglas), PT Kertas Leces, PT Kertas Kraft Aceh, dan PT Merpati Nusantara Airlines.

Dalam dalam perjalanannya, PT PPA ini diduga banyak melakukan pelanggaran. Misalnya saja dalam hasil pemeriksaan BUMN dan Badan Lainnya IHPS II Tahun 2019 oleh BPK, ada catatan khusus soal kegiatan Investasi pada PT PPA.

Berdasarkan catatan law –justice.co, Permasalahan signifikan yang ditemukan berkaitan dengan kelemahan pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, di antaranya:

  1. Transaksi pembelian cessie piutang PT Bank Tabungan Negara/PT BTN kepada PT Batam Island Marina (dalam pailit)/PT BIM sebesar Rp243,00 miliar yang tidak wajar, mengakibatkan potensi kerugian keuangan bagi PT PPA atas pembelian cessie piutang PT BIM sebesar Rp243,00 miliar yang tidak didukung dengan agunan yang layak serta PT PPA menanggung cost of fund minimal sebesar Rp4,03 miliar. BPK telah merekomendasikan kepada Direktur Utama PT PPA agar meminta pertanggungjawaban kepada pihak-pihak terkait atas pembelian piutang PT BIM dari PT BTN yang tidak cermat menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan investasi, serta menyusun langkah langkah dalam rangka penyelesaian piutang PT BIM. Kasus ini ditangani Kejagung dan hingga kini tidak ada kejelasan.
  2. Fasilitas pembiayaan sementara kepada PT Lintas Samudra Sejahtera (PT LSS) untuk pembelian kapal Floating Storage Unit (FSU) sebesar Rp414,40 miliar yang tidak sesuai dengan ketentuan, seperti spesifikasi kapal yang dibeli tidak seluruhnya sesuai dengan persyaratan perjanjian, pembelian kapal FSU tidak sesuai dengan jadwal, serta transaksi pengeluaran Tranche B tidak wajar. Akibatnya, fasilitas pinjaman PT LSS kepada PT PPA minimal sebesar Rp414,40 miliar berpotensi merugikankeuangan PT PPA. Untuk itu BPK merekomendasikan Direktur Utama PT PPA agar meminta pertanggungjawaban pihak-pihak terkait PT PPA yang tidak memadai dalam melakukan pengendalian investasi, serta meminta pertanggungjawaban Direktur PT LSS atas dana pinjaman minimal sebesar Rp414,40 miliar.
  3. Penyelamatan piutang PT Super Makmur (PT SM) dan PT Super Eksim Sari (PT SES) dengan membentuk PT Sippa Kemasan International (PT SKI), tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian. Akibatnya, terdapat potensi kerugian keuangan PT PPAK sebagai induk perusahaan PT SKI sebesar Rp65,27 miliar, karena penurunan nilai bagian hasil lelang sebagai kreditur separatis, pemborosan keuangan atas pembelian mesin sebesar Rp15,25 miliar yang tidak dapat dimanfaatkan, serta PT SKI berpotensi menanggung biaya tambahan untuk rekondisi mesin minimal sebesar Rp22,75 miliar. 
  4. Pinjaman sebesar Rp40,10 miliar kepada PT Rejeki Intilogam Jaya (PT RILJ) dan pengambilalihan utang PT RILJ kepada PT Bank Mandiri sebesar Rp355,93 miliar tidak sesuai dengan ketentuan. Akibatnya, saldo modal PT RILJ sebesar Rp50,00 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya, utang pemegang saham sebesar Rp90,47 miliar membebani perusahaan, jaminan atas pinjaman modal kerja dan investasi yang tidak menutupi pinjaman dan berpotensi merugikan PT PPA, serta PT PPAK harus menanggung kewajiban pembayaran angsuran bunga dan pokok. 

Dengan adanya beberapa permasalahan tersebut muncul kecurigaan bahwa lembaga ini telah menjadi kepanjangan tangan mafia untuk menggerus keuangan negara yang bernilai triliunan rupiah, termasuk soal aset BLBI yang dulu dikuasai oleh BPPN yang kini berubah menjadi dikuasi oleh PT PPA.

Berbagai modus dilakukan diantaranya permainan untuk menjual murah aset bekas kasus BLBI atau aset negara yang berasal dari utang atau sitaan negara. Selain menjual murah aset aset negara, modus lainnya adalah mengambil alih masalah piutang cessie seperti yang terjadi pada Transaksi pembelian cessie piutang PT Bank Tabungan Negara/PT BTN kepada PT Batam Island Marina (dalam pailit)/PT BIM sebesar Rp243,00 miliar yang dinilai tidak wajar.

Modus lainnya cukup beragam seperti pemberian fasilitas pembiayaan yang tidak sesuai ketentuan, penyelamatan piutang yang tidak menerapkan prinsip kehati hatian dan sebagainya. Semuanya ini bermuara pada adanya kerugian bagi keuangan negara. 

Analisis Hukum

Apa yang terjadi pada PT. PPA dimana ada pejabat disana yang yang membentuk atau mengambil suatu kebijakan dan kebijakannya itu terindikasi korupsi maka orang yang membentuk itu harus diperiksa dan dibisa dikenakan indikasi korupsi kebijakan.

Korupsi kebijakan merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan yang mengarah pada tidak berjalannya fungsi kekuasaan sebagaimana mestinya. Misalnya, pembuatan kebijakan yang salah (atau sengaja dibuat salah), pelayanan yang tidak maksimal atau memalingkan fungsi kebijakan sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat menjadi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. 

Korupsi jenis ini seringkali sulit terdeteksi meski dampaknya sangat luas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Korupsi kekuasaan menjadi sumber lahirnya korupsi konvensional yang berkaitan dengan kejahatan keuangan. Menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, korupsi kebijakan ini lebih berbahaya daripada korupsi dalam bentuk uang.

Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla dalam acara lounching buku yang berjudul "Korupsi Mengorupsi Indonesia" (kumpulan dari bebagai tulisan dari tokoh dan penggiat anti korupsi mengenai korupsi dan cara pemberatasannya) di Universitas Paramadina tanggal 12 Januari 2010 yang lalu. Beliau menyatakan prihatin dengan korupsi di tingkat kebijakan . Dikatakan bahwa tindakan korupsi pada tahap kebijakan pemerintah lebih berbahaya dibanding korupsi pada tahap pelaksanaan di lapangan. Bahkan, menurutnya, korupsi yang mengatasnamakan kebijakan itu luar biasa berbahaya karena akibatnya merusak satu generasi.

Sementara itu menurut Robert Klitgaard yang pernah melakukan penelitian terhadap kasus-kasus korupsi diberbagai negara menyatakan korupsi kebijakan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang, yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau aturan pelaksanaan menyangkut tingkah laku pribadi. Perilaku korupsi dimana aktor yang bermain merupakan pejabat pemerintahan atau elit politik dikategorikan sebagai korupsi kebijakan.

Lebih jauh terkait korupsi kebijakan  didefinisikan Artidjo Alkostar sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh elit politik atau pejabat pemerintahan negara yang memiliki dampak terhadap keadaan politik dan ekonomi negara. Perbuatan ini biasanya dilakukan oleh orang-orang dan atau pihak-pihak yang memiliki jabatan atau posisi politik di pemerintahan. 

Korupsi kebijakan ini bisa dilakukan oleh presiden, kepala pemerintahan, para menteri suatu kabinet, anggota parlemen, pejabat negara lainnya yang menggunakan fasilitas negara. Fasilitas yang disalahgunakan tersebut pada dasarnya merupakan amanat atau kepercayaan yang diberikan oleh rakyat.

Kebijakan publik yang dibuat dan dijalankan dengan itikad baik atau tanpa dengan melawan hukum subjektif atau melawan hukum objektif, pastilah tidak dapat dikriminalisasikan. Sebaliknya kebijakan yang dibuat dan dijalankan dengan itikad buruk (melawan hukum subjektif maupun objektif) yang disadarinya membawa dampak merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sesungguhnya itulah korupsi kebijakan

Bahkan korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, tidak ada tandingannya. Karena apa? Sebabnya dari luar tidak nampak korupsi, karena dibalut oleh kebijakan, yang acapkali berbentuk peraturan, keputusan, penetapan dan lain-lain. Namun sesunggunya akibatnya sangat luas, merugikan perekonomian di berbagai sektor dan merugikan keuangan negara. Negara bisa bangkrut dibuatnya.

Menurut Adami Chazawi, dosen Univeritas Brawijaya, ada 4 syarat atau unsur dapatnya mengangkat suatu kebijakan keranah korupsi, yaitu :

  1. Kebijakan itu dikeluarkan dengan itikad buruk atau melwan hukum. Sejak semula si pejabat (tentunya orang-orang lainnya sekitarnya juga yang ikut terlibat, bawahannya: penyertaan) pembuat kebijakan telah berkehendak atau setidak-tidaknya sadar bahwa kebijakan yang akan diambilnya merupakan kebijakan yang tidak tepat. Masih ada bebarapa alternatif kebijakan yang patut diambil, namun tidak diambilnya. Artinya membuat kebijakan publik itu dari awalnya telah mengandung sifat tercela (melawan hukum). Sifat jahat disini, baik subjektif dan objektif. Sifat melawan hukum subjektif diarahkan pada 4 (empat) aspek, ialah:a. Bahwa kebijakan yang akan dikeluarkan disadarinya merupakan kebijakan yang tidak/kurang tepat, karena ada kebijakan lain yang secara objektif lebih baik dan lebih tepat.b. Bahwa kebijakan publik itu dikeluarkan dengan maksud/ tujuan atau kehendak utk menguntungkan/memperkaya sektor tertentu/pihak tertentu (misalnya partai politik, pribadi tertentu, pengusaha tertentu dsb.), dengan mengabaikan kepentingan umum yang dapat dirugikan dari kebijakan tersebuc. Bahwa kebijakan publik tersebut disadari dapat membawa dampak kerugian keuangan atau perekonomian.
  2. Disadarinya ada kebijakan publik yang lebih baik dan lebih tepat yang tidak membawa dampak kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, atau jika ada kerugian yang tidak dapat dihindari, namun tidak sebesar jika kebijakan alternatif yang lebih baik tadi dikeluarkan.
  3. Terdapatnya/adanya alternatif-alternatif kebijakan yang sesungguhnya lebih baik, yang secara objektif tidak akan berdampak merugikan negara, atau apabila kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak dapat dihindari, namun kerugian tersebut tidak sebesar atau sparah kerugian akibat dari kebijakan publik yang dikeluarkan. Secara ilmiah dapat dibuktikan alternatif kebijakan yang tidak diambil tersebut memang lebih baik dan lebih tepat (melalui kajian-kajian ilmiah dari keterangan para ahli).
  4. Ternyata dan terbukti benar bahwa dibalik kebijakan yang diambilnya tersebut ketika dilaksanakan ada pihak-pihak yang diuntungkan atau akan diuntungkan (baik secara ekonomi maupun secara politik), dan sebaliknya kepentingan umum/negara dirugikan atau terabaikan.

Untuk selesainya tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 atau 3 UUTPK, kerugian keuangan atau perekonomian negara secara objektif tidak merupakan keharusan sudah timbul. Namun cukuplah bahwa kebijakan publik tersebut dapat atau potensial merugikan keuangan atau perekonomian negara. Jika potenssi dari suatu kebiajakan publik ketika dikeluarkan sudah mengandung potensi merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka tindak pidana korupsi sesungguhnya sudah terjadi secara sempurna (voltooid) pada saat kebijakan publik tersebut dikeluarkan, sebelum kebijakan itu dilaksanakan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan atau 3 UUTPK, tindak pidana korupsi melalui kebijakan  tersebut, sudah terjadi sempurna ketika kebijakan itu sudah diambil secara sah, Misalnya peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan secara sah atau SK sudah ditandatangani oleh si pejabat yang bersangkutan. Meskipun belum dijalankan dan belum membawa dampak kerugian keuangan negara secara rieel.

Kedua pasal tersebut, merumuskan tindak pidana formil bukan materiil, meskipun dalam praktik jaksa selalu ingin menjadikannya sebagai delik materiil. Karena di dalam praktik JPU selalu membuktikan adanya kerugian negara secara rieel. Tentu saja sikap dan perilaku JPU yang seperti ini salah, dan sikap dan perilaku semcam ini dapat berdampak buruk pada pemberantasan korupsi. Terutama pengungkapan kasus korupsi melalui kebijakan publik.

Empat unsur tersebut harus dibuktikan jika suatu kebijakan akan diproses ke ranah hukum pidana khususnya korupsi. Berkaitan dengan kasus yang terjadi di PT. PPA yang merupakan BUMN dimana pejabat pejabatnya disana diduga telah mengambil kebijakan kebijakan yang merugikan keuangan negara maka patut diduga mereka telah melakukan korupsi kebijakan.

Karena bagaimanapun kebijakan yang menyalahi aturan bisa diproses secara hukum dan dikriminalkan. Hal ini sesuai dengan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Waspada Bancakan Berikutnya

Begitu juga kondisi BUMN lainnya yang saat ini tengah mengalami kondisi keuangan yang sulit, PT Asuransi Jiwasraya (Persero), PT Asabri dan PT Krakatau Steel Tbk. (KRAS) yang justru belum mendapatkan bantuan keuangan apapun dari pemerintah.

PPA menilai hingga saat ini dua perusahaan tersebut masih bisa ditangani langsung oleh pemegang saham yakni pemerintah, sehingga belum masuk daftar perusahaan yang harus ditangani olehnya.

Sebab untuk menangani perusahaan BUMN, PPA membutuhkan penunjukan langsung dari pemerintah melalui peraturan pemerintah. Belum lagi, pemerintah perlu memberikan kucuran dana.

Mungkin pemegang saham melihat Jiwasraya itu masih bisa diselamatkan dengan cara lain. Karena kalau dia masuk pasien PPA artinya mesti ada penyertaan modal negara (PMN) yang dialokasikan khusus, karena tidak mungkin PT PPA membiayai kalau PMN tidak ada.

Setiap proses pemberian PMN kepada suatu badan usaha milik negara, pasti melalui proses panjang dan persetujuan berbagai pihak termasuk DPR. Dalam proses inilah potensial terjadi penggarongan dan bancakan uang negara agar kebijakan PMN ini berlangsung mulus.

Tapi faktanya Menkeu dan Meneg BUMN sudah memutuskan untuk memberikan PMN kepada Jiwasraya. Pertanyaannya adalah kenapa setelah PMN sudah diberikan kepada Jiwasraya, tetapi BUMN ini kok masih belum masuk menjadi pasien PT PPA. Pasti ada sesuatu dibalik kebijakan yang tidak konsisten ini?

Selain itu diatur pula dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Merujuk pada Pasal 2 ayat (1) terdapat kalimat “……dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Frasa “dapat” artinya tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu suatu kejahatan dimana perbuatannya yang dilarang. Atau dengan kata lain adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Kita menunggu itikat baik pemerintah untuk  bisa melakukan penegakan hukum secara adil terhadap mereka yang diduga telah melakukan korupsi di PT. PPA. Mereka yang telah menjual aset aset negara dengan harga murah. Mereka yang telah memutuskan untuk membeli cessie piutang tanpa nilai agunan yang semestinya.Mereka yang telah menjalankan kebijakan kebijakannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku alias menyalahi peraturan yang ada.

Tujuan penegakan hukum ini sekaligus untuk menguak aroma kongkalingkong yang terjadi di lembaga itu dalam menggarong uang negara.  Jangan sampai lembaga ini dijadikan lahan bancakan untuk menggerus uang negara yang sudah menipis di tengah gempuran pandemi virus corona.

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar