Pemerintah Disebut Siap Bayar Rp3,7 T untuk Korban Kerusuhan Maluku

Rabu, 23/09/2020 07:08 WIB
Direktur LBH Buton La Ode Nur sekaligus tim hukum eks pengungsi Maluku di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (22/9). (CNN Indonesia/Ryan Hadi Suhendra)

Direktur LBH Buton La Ode Nur sekaligus tim hukum eks pengungsi Maluku di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (22/9). (CNN Indonesia/Ryan Hadi Suhendra)

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah korban kerusuhan Maluku pada 1999 lalu melayangkan gugatan class action atau gugatan kelompok warga terhadap pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Direktur LBH Buton Raya, La Ode Syarifuddin selaku kuasa hukum eks pengungsi Maluku mengatakan, pemerintah selaku tergugat disebut siap membayar ganti rugi sesuai putusan pengadilan sebesar Rp3,7 triliun.

Dalam sidang hari Selasa 22 September 2020, mengagendakan pertemuan antara penggugat dengan tergugat untuk pelaksanaan eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai pencairan ganti rugi sebesar Rp3,7 triliun.

Jumlah uang tersebut terdiri dari bahan bangunan rumah (BBR) sejumlah Rp15 juta dan uang tunai Rp3,5 juta untuk masing-masing pengungsi sebanyak 213.217 kepala keluarga.

Pemberian ganti rugi dikecualikan bagi mereka yang memilih keluar (option out) dari proses gugatan kelompok ini.

"Di dalam agenda pertemuan tadi sudah disampaikan melalui panitera, semuanya siap untuk melaksanakan isi putusan," kata La Ode seperti melansir cnnindonesia.com, Rabu 24 September 2020.

Syarifuddin mengatakan akan dibentuk Tim Panel untuk memvalidasi data masyarakat yang menerima ganti rugi berikut besaran jumlahnya.

Hal itu dilakukan karena ada perubahan data seperti 7 kepala keluarga yang memilih keluar dari gugatan kelompok.

"Di dalam tim ini ditentukan bahwa masyarakat mana yang akan mendapat berapa," ujarnya.

Syarifuddin menjelaskan Tim Panel terdiri Kementerian Sosial yang menjadi koordinator. Kemudian pihak gubernur Maluku, gubernur Maluku Utara dan gubernur Sulawesi Tenggara serta pihak kuasa hukum perwakilan dari masyarakat eks pengungsi Maluku dan Maluku Utara

"Untuk persoalan teknis kapan waktu pencairan dibentuk dulu Tim Panel. Jadi, Tim Panel yang akan menentukan kapan waktu pencairan," katanya.

Sebelumnya, gugatan para korban kerusuhan Maluku dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2012 silam. Dalam putusan tersebut, pemerintah dinilai lalai dalam menjalankan kewajiban memberi bantuan kepada korban kerusuhan.

Pemerintah pun diwajibkan membayar uang ganti rugi senilai Rp3,7 triliun. Pemerintah sebagai pihak tergugat kemudian melakukan upaya hukum banding. Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama.

Lalu, pemerintah mengajukan kasasi ke MA dengan nomor perkara 1950 K/PDT/2016. MA dalam putusannya tetap menolak dan menghukum pemerintah untuk tetap memberikan ganti rugi Rp3,7 triliun.

Tak terima, pemerintah mencoba upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Namun, langkah tersebut tidak mengubah keadaan. MA tetap menghukum pemerintah membayar ganti rugi Rp3,7 triliun.

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah mengatakan putusan PK tersebut bukan berarti mengharuskan pemerintah membayar ganti rugi secara tunai.

"Tentunya pemerintah tidak seperti membayar kembali barang, tetapi kan harus dianggarkan harus ada rencana ya. Jadi jangan diartikan membayar langsung tunai [Rp3,9 Triliun]" kata Abdullah di gedung MA, Jakarta Pusat, 19 Agustus 2019.

Ia menjelaskan eksekusi pemberian ganti rugi nantinya akan diserahkan pada pemerintah. Pihaknya tidak memerintahkan dan tidak membuat peraturan soal pemberian ganti rugi itu akan dilakukan.

Pihak tergugat dalam perkara ini antara lain Presiden RI, Menko Kesra, Mensos, Menko Perekonomian, Menteri Bappenas, Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Menko Polhukam, Menteri Keuangan, Gubernur Maluku, Gubernur Maluku Utara, dan perwakilan Pemda Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar