Di Masa Pandemi, BPJS Ketenagakerjaan Harus Dikelola Profesional

Kamis, 17/09/2020 10:16 WIB
Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. (Foto: Okezone)

Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. (Foto: Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Koordinator Nasional Masyarakat Peduli Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (KORNAS MP BPJS) menyoroti pengelolaan BP Jamsostek di masa pandemi dan perspektif kepemimpinan masa depan.

Ketua Umum KORNAS MP BPJS, Hery Susanto mengatakan, hal itu dilakukan karena efek pandemi yang mendorong kasus PHK di mana-mana, sehingga menimbulkan lonjakan pengambilan klaim Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan atau disebut BP Jamsostek.

Kata dia, Lonjakan pengambilan klaim JHT terlihat antara lain di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah DIY dan Jawa Timur. Di mana kelima wilayah tersebut merupakan basis pekerja. Namun sayangnya menurut Hery, pengambilan klaim JHT banyak mempersulit pekerja dalam klaim JHT.

"Karena adanya kebijakan WFH di kantor BPJS, klaim JHT secara daring menjadi pilihan alternatif. Sayangnya cara daring ini tidak semua pekerja bisa mengurus sendiri karena banyak yang gagap teknologi," katanya lewat keterangan resmi yang diterima Law-Justice, Kamis 17 September 2020.

Dalam survei pihaknya menemukan 70 persen pekerja peserta BP Jamsostek menggunakan jasa calo. Itu pun tidak semua terpenuhi klaim JHT-nya. Karena adanya pembatasan kuota saat pandemi 50-100 orang per hari per cabang. Ini membuat situasi sulit bagi pekerja.

Hery juga mempertanyakan pengelolaan dana investasi BP Jamsostek yang distribusinya dianggap tidak adil selama ini terhadap beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang daerahnya menyetor relatif banyak iuran BP Jamsostek.

Menurutnya ada 7 daerah yang tidak menerima dana investasi BP Jamsostek misalnya Bank DKI. Padahal DKI Jakarta kontributor iuran terbesar nasional sekitar 43 persen.

"Dana investasi dari BP Jamsostek pada semester 1 tahun 2020 sama sekali nol rupiah, baru terdistribusi bulan Mei sebesar 400 miliar rupiah di Bank DKI. Sedangkan di Bank BJB sudah mencapai lebih dari 7 triliun rupiah. Pertimbangan terbesarnya pihak BP Jamsostek meminta bunga tinggi di atas 7% ke BPD, padahal dalam peraturan perundang-undangan itu tidak diatur mutlak faktor bunga tinggi," katanya.

Disisi lain, Priyono Tijptoherijanto selaku mantan Komisaris Utama Jamsostek juga menyoroti adanya ketimpangan penempatan dana Jamsostek di bank daerah, karena ada yang terlalu banyak dan ada pula bank daerah yang tidak dapat.

Menurutnya sejak dulu penempatan dana Jamsostek kerap menjadi persoalan, bukan hanya di bank tapi juga terutama di tempat yang berisiko di kemudian hari.

"Penempatan dana investasi ini biasanya ada kick back-nya, itu yang menjadikan terjadinya ketimpangan. Bukan hanya di bank, tapi secara keseluruhan. Dari dulu yang menjadi persoalan adalah penempatan dana yang di tempat berisiko, yang bisa bermasalah di kemudian hari," katanya.

Priyono juga menyoroti pergantian direksi dan dewas BP Jamsostek yang harusnya sudah bisa digelar September tahun ini dengan tim pansel yang dibentuk presiden RI. "Jangan sampai proses seleksi organ BPJS terlalu mepet waktunya hingga tergesa-gesa dan akan melahirkan kepemimpinan yang tidak profesional," katanya.

Joko Sungkono selaku mantan direksi PT Jamsostek, menyoroti buruknya kinerja BP Jamsostek saat ini. Menurutnya kinerja BP Jamsostek di tahun 2019 banyak yang tidak mencapai target, apalagi ditempa masa pandemi sekarang ini.

Di masa pandemi ini, menurutnya, BP Jamsostek berada dalam posisi sulit. Dari iuran banyak berkurang, investasi juga turun, kemudian isu potensial loss mencapai 48 triliun rupiah.

"Dengan demikian, kalau potensial loss sampai 48 triliun rupiah, sementara asetnya 430 an triliun, maka ada potensi sekitar 10 persen hilang. Padahal itu aset yang dikumpulkan bertahun-tahun," katanya.

Ia pun berharap kepemimpinan BP Jamsostek diisi oleh orang-orang yang memahami ilmu jaminan sosial, bukan hanya memahami keuangan. Selain juga mengutamakan profesionalitas, ketimbang politis.

"Kepemimpinan BP Jamsostek ke depan seharusnya mengutamakan profesionalitas yang mengerti ilmu jaminan sosial. Walau ada tarikan kepentingan politis, namun profesionalonalime lebih diutamakan," katanya.

Pembicara lainnya, Dedi Pramiadi selaku pensiunan BP Jamsostek, menyoroti perspektif kepemimpinan masa depan BP Jamsostek yang menurutnya harus mampu dan menguasai tupoksinya.

"Baik direksi maupun dewan pengawas (dewas) harus tahu masing-masing tupoksinya. Sehingga dapat menghindari konflik. Terjadinya konflik di kepemimpinan BP Jamsostek mungkin karena pemahaman tidak komprehensif tentang tupoksinya masing-masing,"katanya.

Sarman Simanjorang, yang mewakili kalangan pengusaha mengungkapkan bahwa dari segi kepesertaan BP Jamsostek masih belum maksimal, terutama para pelaku informal dan UMKM. Ia berharap ke depan perlu evaluasi bagaimana mempertinggi minat dunia usaha menjadi peserta.

"Sebenarnya ini kembali dari sejauh mana kehadiran BPJS bermanfaat bagi peserta. Seperti di masa pandemi ini, seharusnya BP Jamsostek harus proaktif kepada perusahaan yang berpotensi melakukan PHK, apa program dan bantuan yang diberikan saat pandemi ini," katanya.

Sedangkan pembicara lainnya, Ahmad Ansyori mantan anggota DJSN, menyoroti lima tahun transformasi BP Jamsostek yang bertujuan agar penyelengaraan jaminan sosial dapat melindungi seluruh pekerja di Indonesia dalam sistem jaminan sosial nasional. Namun menurutnya, tujuan transformasi tersebut belum bisa tercapai.

"Setelah dilakukan transformasi selama 5 tahun, tujuan belum tercapai. Dari sisi kepesertaan yang aktif hanya 19,1 juta pekerja, itu artinya kalau kita bandingkan dengan jumlah pekerja, baik formal maupun informal yang berjumlah 120 juta pekerja. Maka jauh sekali," terangnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar