Terus Dikubur, Kasus Pembunuhan Munir Terancam Ditutup

Senin, 07/09/2020 19:31 WIB
Munir Said Thalib (Netz)

Munir Said Thalib (Netz)

Jakarta, law-justice.co - Kematian Pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib yang ditangani dengan hukum pidana nasional memasuki masa kedaluwarsa pada 2022.

"Wajar apabila muncul semacam kekhawatiran bahwa kasus ini terancam tidak bisa dibuka kembali ketika memasuki masa daluwarsa yaitu 18 tahun," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dilansir dari CNNIndonesia.com, Senin (7/9/2020).

Usman mengatakan, penanganan hukum dalam kasus pembunuhan Munir memang ditangani dengan aturan hukum pidana nasional. Maka wajar jika dua tahun mendatang kasus ini akan ditutup dan tak akan bisa diusut lagi.

Hal berbeda akan terjadi jika kasus ini kemudian dibawa ke ranah hukum pidana internasional, di mana kasus tersebut tak akan mengalami masa daluwarsa dan bisa terus diusut hingga pelaku atau dalang pembunuh Munir benar-benar tertangkap.

"Dengan kata lain ketentuan masa daluwarsa ini tidak berlaku jika kasus ini digolongkan ke dalam tindak pidana luar biasa atau extraordinary crime," kata Usman.

Usman kemudian menaparkan syarat sebuah tindak kejahatan bisa digolongan ke dalam extraordinary crime dan bisa diusut dengan hukum pidana internasional. Hal ini kata dia antara lain pelanggaran HAM berat.

Pelanggaran HAM Berat ini kata dia, adalah pelanggaran hak paling dasar yang tidak bisa dicabut atau masuk dalam kejahatan paling serius, misalnya kejahatan melawan kemanusiaan.

"Nah kejahatan melawan kemanusiaan itu bisa terjadi hanya dalam salah satu bentuk pembunuhan. Makanya di dalam Undang-undang Pengadilan HAM disebut salah satu bentuknya yaitu juga adalah penyiksaan," kata dia.

Usman kemudian memaparkan korelasi antara syarat tersebut dengan kasus pembunuhan terhadap Munir. Pembunuhan terhadap Munir meski tidak tergolong dalam penyiksaan fisik, tetapi tergolong dalam penyiksaan yang juga masuk dalam kategori melawan kemanusiaan.

Racun arsenik yang dibubuhkan ke dalam minuman milik Munir telah menyebabkan pejuang HAM itu tersiksa selama penerbangan. Dia berulang kali merasa kesakitan hingga akhirnya tak sadarkan diri dan meninggal dunia.

"Kasus Munir juga bisa dikatakan penyiksaan, menimbulkan kesakitan mental, ketika dia bolak balik ke toilet dan muntah hingga akhirnya tak sadarkan diri dan meninggal dunia," kata Usman.

Lebih lanjut, Usman mengatakan, jika kasus ini bisa dibawa ke ranah pidana internasional, maka akan ada sejumlah keuntungan dalam menyingkap kasus ini.

Salah satunya Hukum Internasional ini tak mengenal istilah kedaluwarsa, sehingga kasus bisa ditangani sampai kapan pun. Hal lain kata Usman yakni orang atau terdakwa yang pernah diadili bisa kembali dipanggil dan diadili untuk kasus ini.

"Orang biasanya menghindari proses penuntutan karena biasanya merasa diadili untuk kasus sama. Nah untuk ini alasan itu tidak bisa digunakan sebagai alasan oleh pelaku untuk menolak diadili kemari," kata dia.

Lebih lanjut, Amnesty Internasional Indonesia bersama dengan LBH dan KontraS kata Usman akan menyerahkan legal opinion yang berisi dokumen terkait kasus Munir yang belum terungkap agar kasus bisa kembali ditangani.

"Kita akan menyerahkan semacam Legal opinion ke Komnas HAM. Bahwa kami ingin katakan bahwa pemufakatan jahat terjadi terhadap Munir. Dokumen ini menunjukkan ini bukan tindak pidana biasa," kata dia.

Dalam konferensi pers ini juga hadir Direktur LBH Jakarya Arif Maulana, Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

(Hendrik S\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar