ICW Desak Bongkar Jaringan Pinangki di MA Saat Urus Djoko Tjandra

Senin, 07/09/2020 18:01 WIB
Jaksa Pinangki yang diduga terima uang dari Djoko Tjandra melakukan operasi plastik di AS (tribunnews)

Jaksa Pinangki yang diduga terima uang dari Djoko Tjandra melakukan operasi plastik di AS (tribunnews)

Jakarta, law-justice.co - Jaksa Pinangki Sirna Malasari diduga punya jaringan di Mahkamah Agung (MA) saat mengurus kasus Djoko Tjandra. Hal itu disampaikan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana terkait rencana pengurusan fatwa Djoko Tjandra.

Hal itu menurut ICW perlu diselidiki lantaran Pinangki tidak mungkin mengambil risiko sejauh itu untuk membantu terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali tersebut.

"Lalu yang kedua, yang belum juga diungkap oleh penegak hukum adalah Pinangki itu kan menjanjikan kepada Djoko Tjandra untuk membantu pengurusan fatwa. Tentu kalau Pinangki berani mengklaim tersebut, dia berarti ada kenalan atau ada jaringan di Mahkamah Agung," katanya seperti dilansir dari detikcom, Senin (7/9/2020).

ICW mendesak agar penegak hukum yang menangani kasus jaksa Pinangki ini segera mengungkap siapa yang turut membantu memuluskan rencana Pinangki di MA. Kurnia menyebut jaringan ini tentu bisa membantu membebaskan Djoko Tjandra dari jeratan hukum.

"Maka dari itu kami juga mendesak agar penegakan hukum kita dapat mengungkap siapa sebenarnya jaringan Pinangki di Mahkamah Agung, yang diklaim bisa membantu pengurusan fatwa untuk dapat membebaskan Djoko Tjandra dari hukum, begitu," kata Kurnia.

Dari kecurigaan itu, aparat penegak hukum juga bisa menelisik perintah dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal peninjauan kembali (PK) yang dilakukan oleh Jaksa. Hal itu yang kemudian tidak sejalan dengan yang dilakukan Pinangki untuk mengurus sampai mengajukan fatwa di MA.

"Entah itu mempersoalkan perintah penahanan yang tidak ada di putusan, atau putusan MK soal jaksa tidak boleh PK. Itu kan apa yang dijadikan dasar pertimbangan untuk mengajukan fatwa," tuturnya.

Kurnia menegaskan penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) juga harus kritis mengenai keberanian Djoko Tjandra menyuap Pinangki yang notabene tidak mempunyai kewenangan besar. Menurut Kurnia, hal itu perlu diulik mengapa buron kelas kalap tersebut sampai menjanjikan sesuatu hal yang fantastis kepada jaksa cantik tersebut.

Aparat penegak hukum diminta menelisik harta kekayaan Pinangki, mulai dari mana asal harta itu, dan ke mana harta itu dibelanjakan. Atau, ada kemungkinan penitipan harta kepada Jaksa Pinangki.

"Yang harus digali lebih jauh adalah dari mana Pinangki mendapatkan uang sebanyak itu. Apa yang ia lakukan sehingga mempunyai harta sebanyak itu, apakah ada orang-orang yang sengaja menitipkan harta kekayaan kepada Pinangki dan harus digali lagi, siapa yang menitipkan uang tersebut," tandas Kurnia.

Diketahui, Kejagung menyebut dugaan suap yang diterima oleh Jaksa Pinangki Sirna Malasari mencapai USD 500 ribu atau sekitar Rp 7 miliar.

Kejagung mengungkap Rp 7 M adalah uang muka atau down payment (DP) yang diberikan Djoko Tjandra dalam kepengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA).

"Lebih lah (nominalnya) itu kan DP, uang muka makanya. Ketika uang muka dibayar ternyata Djoko Tjandra curiga, sehingga putus urusan fatwa (MA)," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah kepada wartawan di Gedung Bundar, Jl. Hasanuddin, Jakarta Selatan, Kamis (3/9).

Berkaitan dengan fatwa itu MA sudah pernah memberikan penjelasan. Juru bicara MA Andi Samsan Nganro pada Kamis, 27 Agustus 2020, menegaskan tidak pernah menerima permohonan fatwa Djoko Tjandra.

"Setelah kami cek untuk memastikan apakah benar ada permintaan fatwa hukum kepada MA terkait perkara Joko S.Tjandra, ternyata permintaan fatwa itu tidak ada. Maka bagaimana bisa mengaitkan dengan MA atau orang MA kalau permintaan fatwa itu sendiri tidak ada," kata Andi.

Andi menyatakan, kendati MA berwenang memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak, tetapi hanya kepada Lembaga Tinggi Negara (Pasal 37 UU MA).

"Jadi tentu ada surat permintaan resmi dari lembaga atau instansi yang berkepentingan kepada MA. Oleh karena itu MA tidak sembarangan mengeluarkan apakah itu namanya fatwa ataukah pendapat hukum," ujar Andi.

"Tegasnya, kami tidak pernah menerima surat permintaan fatwa dari siapa pun terkait perkara Djoko Tjandra," tutupnya.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar