Ada Kejanggalan dalam Penanganan Kasus Jaksa Pinangki oleh Kejagung

Minggu, 30/08/2020 22:57 WIB
Pinangki Kenakan Rompi Pink Kejagung (pikiran-rakyat)

Pinangki Kenakan Rompi Pink Kejagung (pikiran-rakyat)

Jakarta, law-justice.co - Kasus dugaan suap yang melibatkan Jaksa Sirna Malasari terus bergulir di Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, berbagai pihak menilai penanganan kasus dugaan suap ini sarat akan konflik kepentingan, lantaran Kejagung merupakan institusi tempat Jaksa Pinangki bekerja.

Jaksa Pinangki diduga menerima suap sebesar 500.000 dollar AS atau setara dengan Rp 7,4 miliar dan berperan dalam memuluskan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Djoko Tjandra.

Peneliti di Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Beni Kurnia Ilahi melihat sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus Jaksa Pinangki.

Pertama, Kejagung tiba-tiba mengeluarkan pedoman tentang pengusutan kasus yang melibatkan institusi tersebut. Dengan dikeluarkannya pedoman itu, semua pengusutan terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari Jaksa Agung.

"Salah satu kejanggalannya adalah tiba-tiba kejagung mengeluarkan pedoman untuk mengusut kasus-kasus yang berkenaan dengan internal Kejagung harus seizin jaksa agung terlebih dahulu," ujar Beni, dikutip dari Kompas.com, Minggu (30/8/2020).

Kedua, belum terlihat sinergitas antara Kejagung dengan Komisi Kejaksaan (Komjak) dalam penanganan kasus ini. Padahal, dalam Perpres tentang Komjak disebutkan bahwa Komjak berhak untuk memberikan rekomendasi dan saran serta harus didengarkan oleh Kejagung.

"Justru paling lucunya adalah Komisi Kejaksaan sebagai aparatur yang mengawasi kinerja dari jaksa-jaksa tersebut tidak dilibatkan," katanya.

"Bahkan masukan dan rekomendasi dari Komjak tidak didengarkan oleh Kejagung," imbuhnya.

Ketiga, Beni menilai penanganan kasus tersebut tidak dilakukan secara transparan atau terkesan ditutup-tutupi. Buktinya, Kejagung sampai saat ini belum pernah menampilkan Jaksa Pinampi di muka publik serta mengumumkan sejauh mana proses pengungkapan kasus ini.

"Kalau di KPK kan jelas, ketika penyelenggara diduga melakukan tindak pidana korupsi, itu kan dibuka secara publik dan diumumkan. Ini kan tidak," tutur Beni.

Keempat, KPK tidak dilibatkan sedikit pun dalam penanganan kasus ini. Untuk itu, Beni berharap agar Kejagung melimpahkan kasus Jaksa Pinangki secara arif kepada KPK, sebagaimana amanat Undang-Undang. Selain khawatir akan terjadi konflik kepentingan, penanganan kasus itu juga berpotensi menghilangkan keindependensian lembaga.
"Sederhana saja, kalau kemudian kasus jaksa ditangani juga oleh Kejagung, ini kan sama saja artinya ibarat orang tua menghukum anaknya, tentu tidak akan muncul keindependensian lembaga," tutupnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan tidak ada istilah inisiatif menyerahkan kasus. Sejauh ini, pihaknya sudah melakukan koordinasi dan supervisi dengan KPK untuk kasus Pinangki.

"Jadi tidak ada yang tadi dikatakan ada inisiatif menyerahkan, tapi mari kita kembali kepada aturan, kita sudah melakukan koordinasi dan supervisi," ujarnya sebagaimana diberitakan Kompas.com, Kamis (27/8/2020).

Menurutnya, masing-masing institusi penegak hukum memiliki kewenangan dan sudah seharusnya saling mendukung. Selain itu, pihaknya berjanji akan transparan dalam pengusutan kasus Pinangki.

"Kami harap semua masyarakat mengawal penanganan perkara ini. Kami akan transparan memberitahukan kepada publik," katanya.

 

(Hendrik S\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar