KORNAS MPBPJS: Distribusi Dana Investasi BPJAMSOSTEK Tak Adil!

Jum'at, 28/08/2020 13:50 WIB
Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. (Foto: Okezone)

Ilustrasi BPJS Ketenagakerjaan. (Foto: Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Ketua Koordinator Nasional Masyarakat Peduli BPJS (KORNAS MPBPJS), Hery Susanto menyoroti distribusi pengelolaan dana BPJS Ketenagakerjaan atau disebut BPJAMSOSTEK.

Menurut dia, BPJS Ketenagakerjaan atau disebut BPJAMSOSTEK mengelola dana peserta ke instrumen investasi deposito dengan lebih memilih berinvestasi di Bank Pembangunan Daerah (BPD).

Hal ini terlihat dari kinerja BPJAMSOSTEK 2019. Sepanjang tahun lalu kata dia, mayoritas deposito mengalir ke BPD yakni Rp 31,03 triliun atau 65,23% dari total dana yang dikelola ke deposito.

Menyusul investasi ke bank BUMN sebesar Rp 14,51 triliun dan bank swasta Rp 1,31 triliun.

Kata dia, sepanjang 2019 saja, BPJAMSOSTEK mengelola dana hingga Rp 431,67 triliun. Dari jumlah tersebut, mayoritas ditaruh ke instrumen surat utang yakni 60% dari total dana kelolaan. Menyusul saham 19%, deposito 10,86%, reksadana 9,34%, dan sisanya investasi langsung.

"BPJS Ketenagakerjaan menempatkan deposito pada bank BPD untuk mendukung pertumbuhan perekonomian dan meningkatkan likuiditas di daerah serta mengoptimalkan hasil pengembangan untuk peserta dengan pertimbangan suku bunga dari bank BPD yang lebih besar dibandingkan suku bunga di Bank BUMN," ucapnya lewat keterangan resmi yang diterima Law-Justice, Jumat 28 Agustus 2020.


Sumber : BPJS Ketenagakerjaan (2020)

Menurut Hery Susanto berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan semester I tahun 2020 diperoleh informasi dari 26 Bank BPD se-Indonesia, ada 7 Bank BPD yang tidak mendapatkan alokasi penempatan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan.

Bank BPD tersebut yakni : Bank DKI, BPD Kaltim, BPD Papua, BPD Riau Kepri, BPD Sulteng, BPD Sumsel Babel dan BPD DIY. Bank BJB tertinggi sebesar Rp 7,57 trilyun (24,41%) dan terkecil BPD Sulteng Rp 433 milyar (1,4%).

Hery Susanto mengatakan sebaran dana investasi BPJS Ketenagakerjaan tidak berkeadilan dan proporsional sebab masih ada 7 bank BPD yang tidak mendapatkan dana investasi tersebut.

“Contohnya nilai investasi BPJS Ketenagakerjaan di Bank DKI sama sekali nol rupiah. Padahal DKI Jakarta di tahun 2019 telah membayar iuran peserta BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp 30 an triliun atau 43 % dari iuran nasional yakni sebesar Rp 70 triliun. Penempatan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan ini harus dievaluasi total,” ucapnya.

Dia mengatakan direksi BPJS yang menekankan pertimbangan suku bunga dari bank BPD yang lebih besar dibandingkan suku bunga di Bank BUMN sudah salah kaprah.

Pasal 11 UU No 24 Tahun 2011 menegaskan bahwa wewenang BPJS yakni menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai.

“Pertimbangan penempatan dana jaminan sosial itu harusnya bukan atas dasar pertimbangan bunga yang tinggi. Bunga deposito kan standarnya sudah ditentukan oleh BI, 3-4% sudah layak," kata Hery Susanto.

"Penempatan dana deposito BPJS Ketenagakerjaan sudah menerapkan standar tinggi di atas 4%. Implikasinya terhadap penerapan kredit perbankan tentu akan menjadi makin tinggi, mahal dan mencekik rakyat. Lagipula manfaat program tambahan dan tanggung jawab sosial BPJS bagi pesertanya masih terbilang rendah,” tambahnya. 

Menurut Hery Susanto terpenting BPJS Ketenagakerjaan harus menerapkan asas BPJS yakni asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jika hanya menekankan faktor bunga tinggi saja itu sudah melenceng dari asas BPJS. Direksi dan Dewas BPJS Ketenagakerjaan harus sadar posisinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Paradigma elite BPJS Ketenagakerjaan harus dirombak total, jangan seperti rentenir yang mau untung banyak untuk dirinya sendiri. Misalnya demi kenaikan gaji dan tunjangan direksi, dewas dan jajaran eselonnya namun tidak memikirkan ekosistem jaminan sosial yakni peserta, dunia usaha termasuk perbankan. Jelas paradigma elite BPJS Ketenagakerjaan ini jauh dari asas BPJS. Kedepan pemerintah harus mencari sosok negarawan untuk menjadi direksi maupun dewas BPJS,” pungkasnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar