Soal AMDAL Baru, Freeport Indonesia Disebut Lakukan Penipuan Publik

Jum'at, 21/08/2020 14:10 WIB
Karyawan PT Freeport (Foto: Tribun)

Karyawan PT Freeport (Foto: Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Freeport Indonesia (FI) diduga melakukan penipuan dan cara kotor dengan menyembunyikan informasi terhadap warga lingkar tambang di Kabupaten Mimika, Papua dalam proses penyusunan dokumen AMDAL yang baru.

Seperti diketahui, FI sedang berencana melakukan pengembangan dan optimalisasi tambang bawah tanah dan tambang terbuka di Kabupaten Mimika hingga kapasitas maksimum 300.000 ton bijih per hari. Atas rencana tersebut, FI harus melakukan penyesuaian dan pembaruan AMDAL atau Addendum.

"Proses penyusunan AMDAL baru inilah yang penuh kejanggalan, dilakukan dalam proses yang singkat, tidak transparan, menyembunyikan dokumen draf rencana AMDAL baru hingga terindikasi diduga untuk memanipulasi persetujuan warga," kata Adolfina Kuum, Ketua Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh (Lepemawi Timika) melalui siaran persnya, Jumat (21/8/2020).

Menurut dia, sebelumnya, melalui surat tertanggal 23 Juli 2020, FI mengundang perwakilan warga Kampung Ayuka, Tipuka, Nawaripi, Koperapoka, Nayaro, Aroanop,Waa/Banti, dan Tsinga untuk hadir dalam kegiatan pelatihan AMDAL yang dilaksanakan pada 27-28 Juli 2020.  Dalam surat menyatakan bahwa dasar kegiatannya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No. 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisa Dampak Lingkungan dan Izin Lingkungan.

Namun tidak lama berselang, hanya dua minggu, pada 5 Agustus 2020, datang kembali surat dari FI yang berisi undangan Konsultasi Publik yang akan dilaksanakan pada Jumat, 7 Agustus 2020. Setelah itu, datang kembali surat dari FI tertanggal 11 Agustus 2020 yang berisi perihal yang sama, undangan konsultasi publik dalam rangka penyusunan dokumen AMDAL yang akan dilaksanakan pada 13 Agustus 2020.

"Begitu cepat dan singkatnya proses Pelatihan AMDAL hingga proses Konsultasi Publik ini merupakan kejanggalan yang mengindikasikan upaya FI mengelabui warga dengan memanfaatkan percepatan pembahasan dan penyusunan AMDAL menunggangi masa pandemi Covid-19 saat ini," jelasnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, tak berhenti di situ, memanfaatkan situasi pandemi Covid-19, proses pelatihan AMDAL dan Konsultasi Publik dilakukan dengan tidak transparan dan tidak optimal. Dengan alasan protokol kesehatan, proses pemaparan dari akademisi Universitas Cendrawasih hanya dilakukan dengan metode webinar. Masyarakat yang diundang dan hadir pun marah, mereka melakukan protes.

“Kami kumpul di sana, tapi di depan meja hanya ada layar. Kami harus berbicara dengan siapa? Pelatihan ini diduga hanya formalitas dan tak dipersiapkan sungguh-sungguh, apalagi yang dilibatkan pun hanya elit-elit kampung, bukan masyarakat terdampak langsung," lanjutnya.

Terkait aktivitas baru yang akan dilakukan FI dalam pengembangan operasinya, mereka tertutup dan tidak transparan. Dalam kegiatan pelatihan AMDAL yang dilaksanakan pada 28 Juli lalu, FI menyebutkan ada 17 aktivitas atau kegiatan yang akan masuk dalam pembaruan AMDAL ini. Namun, ketika warga menanyakan lebih lanjut perihal 17 aktivitas baru ini, pihak FI berkilah dan mengatakan akan disampaikan dalam pertemuan selanjutnya.

Tidak hanya itu, dalam pelaksanaan konsultasi publik, FI juga diduga melakukan pemisahan warga berdasarkan kesukuannya, yakni Komoro dan Amungme.

“Dalam hal perpecahan warga itu memang Freeport jago lah. Jadi kita su tidak asing lagi dengan situasi begitu. Pasti kita dipisahkan lagi. Amungme harus sendiri, Komoro harus sendiri, begitu,” ujar Adolfina.

Adolfina menambahkan, seharusnya setelah proses Pelatihan AMDAL masih harus ada tahapan sosialisasi dan riset, baru kemudian Konsultasi Publik. Artinya, ada tahapan yang dilewati dalam proses penyusunan AMDAL ini.

“Kami diundang dalam konsultasi publik penyusunan AMDAL Freeport, tapi tidak ada satu pun dokumen yang kami terima. Apa yang mau dibahas?,” katanya.

Konsultasi publik tanpa menyertakan dokumen atau naskah kerangka acuan AMDAL adalah pembohongan; cara kotor menyembunyikan informasi dan tindak kejahatan untuk memanipulasi persetujuan warga. Masyarakat adat dan warga terdampak dari operasi FI telah dilindungi hak asasi-nya dari pembohongan dan tindak kejahatan manipulasi persetujuan, baik menurut konvensi internasional hingga konstitusi dan hukum-hukum yang berlaku.

Merah Johansyah, Koordinator JATAM Menyatakan dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pengakuan Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on Indigenous People Rights), mulai dari pasal 10, 11, 28, 29, hingga 32 memastikan masyarakat adat memiliki hak veto; hak untuk mengatakan tidak dan mendapatkan informasi lebih awal, lebih lengkap, setara dan tanpa paksaan.

Selain itu, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320 dan 1321, dituliskan bahwa tidak boleh ada paksaan dan manipulasi untuk memperoleh persetujuan dan kata sepakat, termasuk juga dalam hukum nasional lainnya, seperti UU Tentang Hak Asasi Manusia.

Begitu juga dengan warga yang berada di pesisir, dalam kasus pembuangan tailing FI, tailing tambang dibuang melalui Sungai Ajkwa. Pembuangan tailing merusak sungai, adanya sedimentasi racun dan logam berat hingga menutup muara Ajkwa yang berhadapan dengan laut dan perairan Arafura.

"Selama berpuluh-puluh tahun, warga mengalami penderitaan berlapis akibat kerusakan pesisir, lenyapnya ikan dan penghidupan, hingga beban ekonomi dan penderitaan sosial lainnya termasuk kelompok rentan anak-anak dan perempuan," ujar Merah.

"Kami protes keras, proses penyusunan dan Konsultasi AMDAL ini bahkan tidak melibatkan masyarakat yang ikut kena dampak pembuangan tailing dari wilayah Mimika Timur yang berada di hilir dan pesisir, seperti masyarakat Suku Sempan di Agimuga," tambahnya.

Menurut pasal 60 pada UU 1 Tahun 2014 jo UU 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, masyarakat adat atau warga terdampak memiliki hak memperoleh informasi, mengajukan laporan dan pengaduan hingga menyatakan keberatan terhadap segala rencana investasi dan kegiatan usaha di wilayahnya.

Perlu diketahui, sebelumnya FI juga pernah melakukan pelanggaran AMDAL dengan melakukan 22 aktivitas atau kegiatan yang tidak tercantum dalam AMDAL Tahun 1997. Pelanggaran tersebut berupa perluasan tambang, aktivitas tambang bawah tanah, pembuangan limbah, pembangunan tanggul barat dan timur di muara Sungai Ajkwa hingga penambangan melebihi kuota maksimum. Hingga kini, klaim 17 aktivitas atau kegiatan baru tidak bisa diketahui keseluruhan karena tidak transparan dan tidak terbuka pada publik bahkan warga.

Merah Johansyah mengatakan bahwa di tengah masa pandemi seperti ini, seharusnya FI menghentikan seluruh aktivitas pertambangannya, seperti yang telah didesak oleh Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP KEP SPSI) Kabupaten Mimika karena semakin banyaknya pekerja FI yang terpapar positif COVID-19. Namun, hal ini tidak ditanggapi oleh pihak FI, mereka justru memanfaatkan situasi untuk mengebut proses pembaruan AMDAL dan memanipulasi warga.

Konsultasi AMDAL dalam Kondisi “Teror” Aparat Keamanan

Pada pertemuan konsultasi AMDAL 14 Agustus 2020 lalu, terdapat banyak polisi untuk menjaga keamanan berlangsungnya konsultasi. Warga diawasi, saat masuk dan keluar, dan harus tunduk pada polisi-polisi yang bertugas menjaga FI.

Sejak Juli, ruang gerak masyarakat terganggu dan terintimidasi oleh keterlibatan Militer dan Aparat Keamanan Kepolisian dalam proses pelatihan, penyusunan hingga konsultasi AMDAL ini, apalagi di hotel tempat konsultasi AMDAL dilakukan, aparat menenteng senjata.

"Konsultasi publik macam apa yang dijaga dengan aparat bersenjata seperti itu?," ujar Adolfina.

Kejadian ini menunjukkan adanya paksaan bagi warga terdampak untuk menuruti aturan main FI setelah selama puluhan tahun FI menghasilkan krisis sosial-ekologi di Papua.

Mesti ada evaluasi atas seluruh operasi FI selama ini di wilayah masyarakat adat Komoro dan Amungme. Hak veto atau hak untuk mengatakan tidak atas rencana kelanjutan operasi FI melalui penyusunan dan konsultasi publik AMDAL baru harus ditegakkan dan diberikan, seluas-luas dan bebas pada masyarakat adat dan warga terdampak selama ini.

FI harus bertanggung jawab atas kerusakan alam, pelanggaran HAM dan kemanusiaan yang terjadi selama lebih dari 50 tahun operasi FI di Papua. Divestasi saham oleh pemerintah Indonesia ternyata justru membuat FI semakin tidak transparan, membahayakan lingkungan, melanggar hak-hak masyarakat adat dan hak asasi manusia.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar