Sebut Presiden Benda Mati, Refly Harun: Tidak Boleh Tersinggung!

Rabu, 19/08/2020 11:22 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun (Repelita.com)

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun (Repelita.com)

Jakarta, law-justice.co - Masalah kebebasan berpendapat di Indonesia yang dikeluhkan banyak orang saat ini disoroti oleh Pakar Hukum Tata Negara, Rafly Harun.

Selain itu, dia juga menyoroti peran buzzer yang kerjanya hanya mengkritik orang yang mengkritik pemerintah.

Dia menjelaskan, kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara sebenarnya sudah diatur UUD 1945. Pasal 28 E ayat 3 menyebutkan, setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat.

Selanjutnya kata dia, kebebasan berpendapat diatur dalam pasal 28 I ayat 1 yang menyebut, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

“Saya pernah bikin tweet, saya bilang yang namanya intelektual itu ya kerjanya mengkritik pemerintah, akademisi juga begitu. Tapi kalau kerjanya mengkritik pengkritik pemerintah, itu namanya buzzer,” katanya dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa 18 Agustus 2020 malam.

Gara-gara tweet itu, dia mengaku dibully dan dihujat habis-habisan di media sosial.

“Kenapa kita harus keep on eye (mengawasi) mereka yang tidak berkuasa? Harusnya kan kita harus kritis kepada mereka yang berkuasa, mereka yang diberikan amanah, mereka yang diberikan senjata, mereka yang diberikan financial resources,” kisahnya.

Menurut dia, kelompok seperti KAMI merupakan moral movement, moral force. Mereka tidak memiliki kekuatan apa-apa, kecuali ide.

Seharusnya kata dia, rakyat harus keep on eye atau mengawasi kekuasaan. Dan kekuasaan tidak boleh memecah belah.

“Kalau Anda berkuasa, walaupun Anda paling jagoan karena menguasai segala resources negara ini, ya Anda harus tetap memelihara demokrasi. Anda jangan lupa bahwa Indonesia ini adalah negara kedaulatan rakyat dan negara kedaulatan hukum," jelasnya lagi.

Dia kemudian menegaskan kembali kalau kebebasan berpendapat telah diatur dalam undang-undang. Jika itu tidak ditegakkan, maka pemerintah sama saja mengkhianati konstitusi

“Jadi kalau misalnya hari ini, ketika saya mengkritik pemerintah atau mengkritik negara dan saya merasa takut, dan kemudian kekhawatiran tersebut takut diadukan, takut takut diproses dan lain sebagainya maka sesungguhnya kita semua, terutama negara, terutama pemerintah telah mengkhianati pasal konstitusi,” tegasnya.

Dia menambahkan, setiap orang seharusnya bebas mengungkapkan hati nurani dan pikirannya sepanjang tidak menyinggung pribadi-pribadi orang lain. Sebab hal itu dijamin konstitusi.

“Tapi hari ini tidak, saya harus berhati-hati untuk memilih kata agar kemudian tidak ada pemerintah yang tersinggung,” tuturnya.

Dia memastikan bahwa pemerintah adalah benda mati. Karena itu, presiden sebagai institusi negara tidak boleh tersinggung kepada rakyat.

“Pemerintah dalam konsep hukum tata negara adalah benda mati. Yang benda hidup itu orangnya, yang punya hati, punya otak, punya pikiran. Yang punya rasa tersinggung itu adalah Jokowi. Tapi presiden tidak boleh punya rasa keteringgungan kepada rakyatnya, karena presiden itu adalah institusi negara,” ujarnya.

“Tapi kita tidak bisa membedakan mana presiden yang merupakan pribadi, mana presiden yang merupakan lembaga,” tambahnya.

Tentang filosofi hukum pencemaran nama baik, dia menyebutkan seharusnya yang pertama dilindungi adalah warga negara yang tidak memiliki instrumen kekuasaan.

“Mereka yang harus dilindungi dari kemungkinan pencemaran. Kalau kita tidak, filosofinya terbalik. Yang dilindungi pertama adalah mereka yang punya senjata, yang menguasai TNI, yang menguasai Polri, yang menguasai Kejaksaan. Padahal pesan konstitusi kita, lindungi dulu rakyat, bukan lindungi dulu pemerintah. Jadi sudah sangat melenceng" tutupnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar