Jika Tak Penuhi Syarat Ini, Pakar UI Siap Gugat Obat Covid Unair

Senin, 17/08/2020 15:09 WIB
Ilustrasi Virus Corona. (minews.id)

Ilustrasi Virus Corona. (minews.id)

Jakarta, law-justice.co - Tak hanya tentang hasil akhir, salah satu syarat terpenting dalam sebuah riset atau penelitian adalah soal prosedurnya yang jelas. Sehingga jika prosedurnya tidak jelas, maka hasil dari penelitian itu pantas atau wajar untuk digugat.

Hal itu disampaikan oleh Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono untuk merespon obat covid-19 hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI. Menurutnya, dia siap mengugat jika secara prosedural obat tersebut tak layak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Yang paling penting adalah prosesnya, apakah diikuti nggak standar prosedurnya. Itu yang paling penting. Makanya, saya berani bilang, jangan percaya. Karena itu berdasarkan kaidah standar, kalau itu udah dilanggar sama mereka, jangan dipercaya. Apalagi sampai didaftarkan oleh Badan POM, dan Badan POM menerima, saya gugat," kata Pandu seperti dilansir dari sindonews.

Pandu menegaskan bahwa untuk semua penelitian yang bersifat nasional apakah itu obat atau vaksin, harus di-review oleh Komite Etik Balitbangkes. Selain me-review, Balitbangkes juga akan memonitor setiap proses penelitian tersebut. Obat Covid-19 ini tidak sesuai standar prosedur yang seharusnya.

"Saya menggugatnya bukan ke TNI atau BIN, tapi ke akademis Unairnya, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan. Mereka tahu itu, tidak ada jalan pintas untuk pengembangan ilmu," jelasnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, semua tahu bahwa covid-19 adalah bencana dunia, tetapi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pun membuat Clinical International Trial, di mana ada multi center study terkait obat-obatan yang semuanya mengikuti prosedur. Di Indonesia pun, Balitbangkes berperan sebagai motornya. Semua harus patuh terhadap regulasi karena hasilnya nanti digunakan masyarakat.

"Buat apa mengobati kalau tidak ada manfaatnya. Seperti Hydrochloroquine, hasil studi dunia di beberapa negara sudah mengomunikasikan bahwa tidak ada manfaatnya. Di Amerika sudah dicabut sebagai obat untuk pengobatan Covid, di Indonesia belum dicabut. Apakah masih mau diberikan Covidkarena ada efek sampingnya yang sampai meninggal. Di daerah ada kematian, dia meninggal karena ada obat yang tidak perlu diberikan," ungkapnya.

Karena itu, Pandu mempertanyakan kenapa Unair tidak bekerja sama dengan lembaga penelitian lainnya agar ada saling koreksi dan justru bekerja sama dengan BIN dan TNI.

"Kok Unair tidak kerja sama dengan lembaga penelitian lain dan malah kerja sama dengan lembaga militer. Unpad Bandung misalnya, Unpad juga kuat kok clinical trial-nya, kerja sama akademik itu diperlukan untuk saling koreksi," tutupnya.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar