Status Orangtua Tunggal di Mata Hukum

Minggu, 16/08/2020 20:30 WIB
Ilustrasi Ibu. (Liputan6).

Ilustrasi Ibu. (Liputan6).

law-justice.co - Dalam beberapa kejadian, kita pasti pernah menemukan seorang Ibu yang menjadi orangtua tunggal atau mempunyai anak tanpa seorang suami. Dengan suatu alasan sang Ibu tidak menikah dengan seorang pria yang dianggap tidak siap menjadi kepala rumah tangga. Lalu bagaimana kekuatan atau status hukum Ibu tersebut jika akan menjadi ibu tunggal mulai dari kehamilan dan dalam membesarkan anak?

Dilansir dari Hukumonline.com ketentuan perundang-undangan tidak menjelaskan secara khusus mengenai kedudukan hukum orang tua tunggal atau seorang ibu yang memiliki anak luar kawin untuk merawat dan membesarkan anaknya sejak dalam kandungan.

Status Orang Tua Tunggal

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) dan UU 35/2014 terdapat beberapa pengaturan mengenai kedudukan orang tua dalam hukum.

Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak mengatur bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.

Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014 kemudian menegaskan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

a. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak;
b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak; dan
d. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Pasal 45 ayat (1) UU 35/2014 mengatur bahwa orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat anak sejak dalam kandungan.

Selain ketentuan di atas, terdapat putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk mengetahui kedudukan hukum seorang ibu yang menjadi orang tua tunggal.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 menyatakan bahwa mengenai perwalian anak, patokannya adalah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriteria, kecuali terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anaknya.

Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Merujuk pada ketentuan dan putusan pengadilan di atas, ibu yang melahirkan anak luar kawin memiliki kedudukan hukum sebagai orang tua yang bertanggung jawab untuk menjaga anak dan merawat anak sejak dalam kandungan untuk selanjutnya mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak hingga dewasa.

Meskipun memang terdapat pengecualian, yaitu ketika ada alasan dan ketentuan yang sah demi kepentingan terbaik anak dan merupakan pertimbangan terakhir, anak dapat diasuh oleh bukan orang tuanya.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU 35/2014:

Setiap Anak berhak untuk diasuh oleh Orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi Anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Dalam Penjelasan Pasal 14 ayat (1) UU 35/2014, yang dimaksud dengan “pemisahan”, antara lain, pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan anak dengan kedua orang tuanya, seperti anak yang ditinggal orang tuanya ke luar negeri untuk bekerja, anak yang orang tuanya ditahan atau dipenjara.

Akta Kelahiran Anak Luar Kawin

Untuk mengurus akta kelahiran anak yang lahir tanpa nama ayah, berikut adalah syarat dan tahapannya:

Persyaratan untuk membuat akta kelahiran pada umumnya adalah sebagai berikut

a. surat keterangan kelahiran;
b. buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah;
c. Kartu Keluarga; dan
d. Kartu Tanda Penduduk elektronik.

Pasal 48 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Permendagri 108/2019”) menegaskan bahwa dalam hal pencatatan kelahiran tidak dapat memenuhi persyaratan berupa buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah dan status hubungan dalam keluarga pada Kartu Keluarga tidak menunjukkan status hubungan perkawinan sebagai suami istri, maka dicatat dalam register akta kelahiran dan kutipan akta kelahiran sebagai anak seorang ibu.

Maka, berdasarkan ketentuan di atas, pencatatan kelahiran tetap dapat dilaksanakan, meski tidak ada buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah.

Tata caranya, apabila pencatatan hendak dilakukan di tempat domisili ibu si anak, pemohon mengisi dan menandatangani formulir dengan menunjukkan persyaratan-persyaratan di atas kepada petugas Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil atau petugas registrasi pencatatan kelahiran.

Kemudian, dilakukan verifikasi dan validasi terhadap formulir pelaporan dan persyaratan. Perekaman data dalam basis data kependudukan akan dilakukan dan pejabat pencatatan sipil pada Disdukcapil Kabupaten/Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota mencatat dalam register akta kelahiran dan menerbitkan kutipan akta kelahiran yang akan disampaikan kepada sang ibu.

(Bona Ricki Jeferson Siahaan\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar