Nestapa WNI di Kapal Ikan Asing (Tulisan-II)
Karut Marut Regulasi, ABK Mati Terkapar Urusan Siapa?
Nasib ABK asal WNI yang rentan kekerasan dan TPPO (Foto: KKP)
Jakarta, law-justice.co - Berbagai pihak sepakat bahwa persoalan ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing terletak di hulu, yakni regulasi dan sistem perekrutan yang kacau balau. Agen-agen nakal berkolaborasi dengan regulasi yang kacau, egosentris kementerian dan lembaga, dibantu oleh oknum-oknum yang memancing di air keruh.
Salah satu kasus yang menghebohkan publik Indonesia adalah ditemukannya ditemukan Jenazah ABK Indonesia, Hasan Afriandi, di dalam mesin pendingin kapal Lu Huang Yuan Yu 118. Rekan sekapal dengan Hasan, Zen Rahman, menceritakan bagaimana proses perekrutan di kapal berbendera China itu.
Zen, ABK asal Medan, Sumatera Utara, bercerita bahwa dia mendapat informasi tentang lowongan untuk bekerja di kapal asing dari seorang sahabatnya di Tegal, Jawa Tengah. Karena kebutuhan akan pekerjaan, dia memutuskan untuk nekat berangkat ke Tegal. Dia dijanjikan gaji per bulan sebesar 350 Dolar atau sekitar Rp 5,2 juta.
"Waktu itu saya masih sempat mikir-mikir benar tidak ya, tapi akhirnya berangkat juga. Saat itu kami kira-kira 5 orang yang bersamaan berangkat dari Medan turunnya di Terminal Tegal," ujar Zen, Jumat (14/8/2020).
Sesudah sampai di Tegal, mereka langsung dijemput oleh pihak perusahaan yaitu PT Mitra Tunggal Bahari (MTB) dan diantarkan ke kantor berlanjut ke mess perusahaan untuk beristirahat.
"Saat itu kita memang sempat diberitahu soal persyaratannya oleh PT MTB, misalnya pengurusan Sertifikat Basic Safety Training (BST), medical, buku pelaut dan pasport tapi masalah dokumen-dokumen tersebut pihak perusahaan yang urus dan semuanya gratis, kami tinggal terima jadi," katanya. Sesudah berada di mess dan dirasakan sudah siap dengan semua dokumen telah terurus, lanjut Zen, pihak perusahaan langsung mengarahkan mereka ke kontrak kerja atau Perjanjian Kerja Laut (PKL)."Jadi sudah siap semua tuh, dokumen sudah terurus, pada hari H nya kami berangkat pas PKL tersebut kok ternyata tidak sesuai perjanjian, katanya waktu itu kapal pro (besar) kok jadinya kapal cumi, termasuk soal gaji katanya 350 Dolar tapi kami terima cuma 310 Dolar," terang Zen.Saat itu, dia dan kawan-kawannya tidak bisa membatalkan kontrak karena terancam sanksi. Setelah menandatangani, semua dokumen-dokumen penting itu hanya dipegang oleh pihak agen."Sudah terlanjur Mas, kami bingung juga karena ada sanksinya. Berkas dan dokumen sudah terurus dan sesudah ditandatangani, PKL tersebut dan semua berkasnya langsung mereka pegang, kita tidak dikasih," katanya.
Dua WNI ABK Kapal Cina Nekat Terjun di Laut Karena Tak Tahan Diekspolitasi. (Foto: dok. istimewa/Detik)Di luar dugaan, bekerja di kapal asing tidak senikmat yang dijanjikan. Zen dan puluhan ABK Indonesia lainnya dieksploitasi dengan taraf kehidupan di atas kapal yang tidak layak. Selain itu, gaji yang dijanjikan juga tidak dibayarkan. Zen mengaku sudah 7 bulan tidak menerima gaji. Kini mereka sedang memperjuangkan haknya, tapi malah diancam sanksi karena dianggap memutus kontrak secara sepihak.
Mengenai soal jumlah ABK di kapal ikan ini sulit didapatkan dan kalau pun dapat, datanya berbeda-beda. Baik dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja hingga BP2MI.
Hal itu dikarenakan banyak ABK di kapal ikan milik negara lain berangkat tanpa melalui prosedur yang benar. Akhirnya, banyak dari mereka yang tidak terdeteksi keberadaanya sehingga rawan sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Buruh Migram Indonesia (SBMI) Hariyanto menyebut persoalan utama soal permasalahan karut marut ABK WNI di kapal ikan asing adalah soal penegakan aturan di hulu. Kata dia, banyak permasalahan seperti tumpang tindih lembaga dan ketidakjelasan aturan yang digunakan untuk memberangkatkan WNI sebagai pekerja di kapal ikan milik asing.Kata Hariyanto, proses perekrutan yang bermasalah tanpa memenuhi standar, hingga masalah pengawasan di tempat bekerja oleh agensi pemberi kerja menjadi faktor dominan karut marut persoalan ini."Kami sudah mengeluarkan beberapa laporan, beberapa investigasi kami, persoalan yang paling besar, hampir 62 persen itu di hulunya. Lebih kepada tata kelola migrasi penempatan, pengawasan terhadapa perusahaan agensi, masih carut marut. Hal ini, terkait dengan masih banyaknya pemalusan dokumen perekrutan yang tidak prosedural menjadi penyebab masalah di atas kapal," katanya kepada Law-Justice.
Data korban ABK Indonesia dari tahun 2014-2020 (Grafik:SBMI)"Pengawasan agen, karena di abk ini ada tiga perizinan kalau merujuk pada UU yang baru. Permenhub 84, itu SIUP ranahnya hubla. Merujuk pada kitab UU Dagang, itu visa perizin di dinas perdagangan. Hal inilah yang kemudian mengapa menjamurnya perusahaan agen yang menyalurkan karena izinnya sangat mudah sekali," tambah Hariyanto.
Banyaknya jalur untuk menyelundupkan WNI menjadi ABK di kapal ikan asing juga harus menjadi perhatian. Kementerian Luar Negeri, Kementerian Tenaga Kerja dan BP2MI juga masih mengeluhkan banyak celah untuk keluarnya pekerja ABK WNI ini.Ketua Umum Serikat Buruh Migram Indonesia (SBMI) Hariyanto menjelaskan, ada tiga lembaga yang memegang peranan penting soal permasalahan ABK di kapal ikan asing ini. Pertama Kemenhub, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Tenaga Kerja. Kata Hariyanto, tiga lembaga itu mengeluarkan syarat-syarat agar perusahaan bisa memberangkatkan WNI sebagai pekerja di kapal baik kapal niaga maupun kapal ikan."Kemenhub dan kementerian perdagangan, dan kemenaker. Jadi kami sudah mempertanyakan itu. mekanisme pengawasan dari kemenhub terhadap perusahaan yang ada SIUPPAK itu seperti apa. Kok masih ada penimpangan-penyimpangan dalam proses pemberangkatan. Dari banyaknya perizinan, sebetulnya sudha diatur oleh UU PPMI sudah mengatur agar satu pintu, enggak boleh lagi izinnya di siuppak dan di kementerian perdagangan," ungkapnya Hari.Menurut dia, tak soal penerbitan aturan yang diperketat tetapi juga pengawasannya di lapangan. Banyak perusahaan penyalur tenaga kerja yang memiliki syarat lengkap untuk memberangkatkan WNI sebagai ABK di kapal ikan maupun niaga. Namun, dalam perjalannya, mereka melakukan penyelewengan sehingga menimbulkan masalah terhadap ABK itu sendiri."Tapi kalau pengawasannya tidak diperketat, itu juga akan sama persoalannya. Ada 74 abk, ada lengkap datanya. Baik perusahaannya maupun ABK. Lengkap semua dokumennya dan sampai hari ini 3 perusahaan yang kami laporkan belum ditangkap. Mereka terdaftar," katanya.SBMI juga merilis adanya 44 agensi penyalur tenaga kerja yang masuk dalam daftar hitam dan terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang."Ada 44 agensi yang diduga kuat terlibat dalam proses perdagangan orang. Ada beberapa yang ilegal. Februari kemarin ada 2 yang ilegal. Siuppaknya enggak ada. Tapi masih punya siup di kemenkumham. Jadi kalau legalitas enggak kosong-kosong amat. Mereka punya izin secara bisnis," ujarnya.Untuk pengawasan ABK WNI di kapal ikan asing menurut Hariyanto membutuhkan perhatian dari semua pihak yang menjadi stake holder dalam masalah ini. Kata dia, aturan soal ABK kapal ikan ini seharusnya lebih ketat karena melibatkan aturan hukum internasional yang mengatur soal ketenagakerjaan berskala internasional."Sesuai denan uu ppmi, pengawasana da di bidang ketenagakerjaan. Dan pelaksanan legulatornya ada di BP2MI. Pengawasan boleh melibatkan peran serta masyarakat. Harusnya ada dewan pengawas, melibatkan serikat buruh, serikat pekerja. Ketika mengawasi di atas kapal, kalau diperketat di agensi, proses penempatan perekrutan pasti ada perjanjian kerja laut. Ada perjanjian penempatan. Antara calon abk dengan perusahaan di indoensia. Perjanjia kerja laut itu perjanjian abk dengan pemilik kapal," kata dia.
Data perusahaan penyalur tenaga kerja migran yang bermasalah (Grafik :SBMI)"Di negara asal kapal asing juga ada agensinya . ada perusahaan di Indonesia. pengawasan itu harus melibatkan perusahaan tersebut. Peraturan Menteri sudah jelas itu Permen tahun 2014, perusahaan penempatan TKI berhak melakukan pengawasan 3 bulan sekali secara berkala. Dilaporkan kepada Kemenaker dan badan pelaksananya. Faktanya itu tidak pernah ada. Dua-duanya salah. Perusahaan tidak pernah melapor, pemerintah tidak menagih. Pembenahannya memang tidak bisa setengah-setengah. Harus mengawasi agen yang menyalurkan abk ini, harus ditindak yang memiliki unsur TPPO," tambah dia.
Terkait dengan maraknya kasus kekerasan yang menimpa ABK Indonesia di kapal ikan asing akhir-akhir ini, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengaku tidak kaget. Dia mengatakan, kasus-kasus itu pada dasarnya sudah lama terjadi. Praktik penipuan, kekerasan, penggelapan gaji, bahkan pelarungan mayat ABK Indonesia bukan hal baru.“Kasus di kapal Long Xing bukan hal baru, tapi kita seolah-olah baru tersadarkan. Era Presiden SBY kasus pelarungan pernah terjadi. Begitu juga dengan eksploitasi secara umum misalnya kekerasan fisik, gaji yang tidak dibayar sesuai kontrak, kemudian makanan dan minuman yang dikonsumsi tidak layak, serta jam kerja juga yang diatas rata-rata,” kata dia saat dimintai keterangan oleh Law-Justice.co, Selasa (11/8/2020).Beberapa modus pemberangkatan ABK Indonesia di kapal asing, kata Benny, memanfaatkan kebutuhan akan pekerjaan dan ketidaktahuan para calon pekerja migran tentang regulasi dan tata cara bekerja secara legal. Setelah di atas kapal, para ABK Indonesia itu dibatasi dalam berkomunikasi, dokumen pribadi ditahan, lalu dieksploitasi oleh majikannya.
Personil Marinir menjaga ABK kapal ikan asing di Markas Komando (Mako) Lantamal IX Ambon, Maluku, Minggu (14/12). Ada 7 kapal ikan illegal yang diawaki 69 warga Tiongkok, 60 warga Thailand dan 11 warga Indonesia dengan memuat 578 ton ikan. (ANTARA/Izaac Mulyawan)“Bahkan saat kapal bersandar, mereka tidak diberikan penginapan yang layak. Mereka tetap harus tidur di atas kapal,” ujar dia.
“Masa transisi dua tahun itu terlalu lama. Kalau tidak dilaksanakan secara konsisten, pasti akan menimbulkan persoalan. Ini lah masalah kita, masing-masing punya kepentingan sendiri,” ujar Benny."Problem tumpang tindih terkait pekerja migran ini memang bukan persoalan baru. Urusan pekerja migran ini bagi pihak tertentu adalah bisnis menggiurkan sehingga masih menjadi tarik ulur antar instansi. Dengan adanya UU PPMI, semestinya pemerintah harus tegas soal karena yang korbannya adalah para pekerja migran," tambah anggota Komisi I DPR RI Sukamta.Sukamta tidak memungkiri jika persoalan ini terkait sindikat perdagangan orang yaitu dengan pengiriman PMI secara ilegal dan banyak perusahaan-perusahan nakal yang melakukannya. Ditambah lagi, para ABK memiliki kerentanan karena bekerja di tengah laut yang sulit dijangkau."Bisnis ini menggiurkan bagi para sindikat untuk melakukan usaha secara ilegal pengiriman tenaga kerja migran. Pemerintah perlu tegas menindak usaha pengiriman tenaga migran yang bermasalah, juga perlu memperkuat pengawasan soal ini. Kerjasama dengan interpol juga perlu dilakukan karena ini sudah masuk dalam extraordinary crime lintas negara," tegasnya.Kasubdit Perlindungan TKI, Direktorat Penempatan & Pelindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Tenaga Kerja M.Ridho Amrullah menjelaskan masalah perusahaan penyalur pekerja migran ini menjadi persoalan. Kementerian Tenaga Kerja pada tahun 2020, sudah mencabut 126 perusahaan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Beberapa perusahaan yang dicabut disebabkan pelanggaran imigrasi dan beberapa kasus pelanggaran penempatan.Kata dia, untuk penempatan ABK di kapal nelayan, tidak banyak P3MI yang melakukannya. Kata Ridho, dalam data P3MI hanya ada sekitar 2-3 perusahaan P3MI yang melakukan perekrutan dan penempatan sebagai ABK di kapal ikan."Dari data Kemenaker sendiri, ada data soal kasus ini ditahun 2019 tidak ada yang ditempatkan oleh P3MI. Ada satu tetapi kami telusuri, apakah ini PMI mandiri," ungkapnya.Kata dia, soal ABK kapal ini Kemenaker sudah menetapkan aturan dan regulasi soal tahapan yang harus dipenuhi perusahaan P3MI. Jika ada pelanggaran, Kemenaker bisa mencabut izinnya langsung.
Data perusahaan penyalur buruh migran yang dicabut izinnya oleh Kementerian Tenaga Kerja (Foto:Kemenaker)
Dia juga menceritakan perusahaan P3MI wajib mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam UU No.18 tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran tahun 2017 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran.
"Kalau misalkan P3MI kalau kita lihat ini pasti akan mengikuti prosedur UU No.18, Kepmen 9, mulai dari job order segala macam sampai dia berangkat itu harus dipenuhi. Bukan berarti ada kerjasama antara P3MI dengan Kemenaker atau BP2MI. Ketika dia dapat job order kan dari pemberi kerja itu harus diendorse oleh perwakilan, dari perwakilan turun ke Jakarta, nanti setelah turun BP2MI menerbitkan SIPPMI (Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia).Berdasarkan itulah pekerjaan P3MI merekrut PMI termasuk awak kapal. Setelah masa perekrutan, sudah dapat orang-orangnya Pekerja Migran Indonesia (PMI) dia melakukan proses-proses penempatan seperti pemeriksaan kesehatan, orientasi pra keberangkatan plus berangkat," ungkapnya."Kalau soal penyalur nanti akan dibahas dalam suatu rapat koordinasi antar kementerian ini, jenis pelanggarannya apa, masalah kita adalah masalah penempatan. Kalau ada unsur TPPO kita pakai UU No.21. Kalau ada unsur pidana, itu nanti kepolisian yang berperan. Kalau Kemenaker ini yang berperan adalah hak-haknya saja," tambahnya.Sementara itu, salah satu sektor sangat penting soal penerbitan buku pelaut di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan mengklaim sudah menerbitkan buku pelaut sesuai dengan aturan.Ditemui Law-justice di Wisma Antara, Senin, (10/8/2020) Kasubdit Kepelautan, Captain Jaja Suparman, M.M memaparkan berbagai dasar hukum yang digunakan Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub. Menurutnya selama ini pihaknya berpedoman pada dasar hukum UU nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran, PP nomor 27 tahun 2000 tentang kepelautan dan Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 9 tahun 2005 tentang pendidikan dan kepelatihan kemudian serta sertifikasi pelaut penangkap ikan."Jadi selama ini yang kami gunakan sebagai patokan adalah dasar-dasar hukum tersebut," ujarnya.Sementara itu di tempat yang sama Kasie Pengawakan Kapal dan Standarisasi Sertifikasi Pelaut Tingkat Manajerial, Amir Makbul, M.T., M.Mar menjelaskan proses pemberian sertifikasi kepelautan dan proses pelatihannya.Menurut Amir, di kepelautan sendiri pelaut ketika menaiki sebuah kapal diwajibkan untuk memiliki kompetensi dan juga harus disertai dokumen kelautan. "Di pemerintahan kita terkait pelaut perikanan itu di atur dalam KM 9 tahun 2005 tentang pendidikan dan kepelatihan kemudian serta sertifikasi pelaut penangkap ikan. Pendidikannya itu sendiri terdiri dari pelaut perikanan perwira dan selain/bukan perwira," jelas Amir.Lanjutnya untuk perwira sesuai peraturan KM 9 itu pendidikan dan pelatihannya diselenggarakan oleh lembaga pendidikan perikanan berbadan hukum di bawah kementerian kelautan dan perikanan. "Ada pembagian tugas di sini di kementerian perhubungan itu terkait kapal niaga sedangkan untuk kapal perikanan pendidikan dan kepelatihannya di kementerian Kelautan dan Perikanan," terang Amir.Untuk kapal niaga ini, kemudian setelah proses pendidikan selesai tentu akan ada pemberian sertifikasi yang tentu juga melalui proses ujian yang dilakukan oleh dewan penguji keahlian pelaut."Dewan penguji ini yang dibentuk Direktorat Jenderal Perhubungan Laut kemudian nanti diberikan sesuai program diklat dan tingkatnya," tambahnya.Dia juga menjelaskan bahwa untuk pengoperasian Kapal Penangkap Ikan masing-masing terdapat tiga tingkatan sertifikat keahlian/kompetensi yaitu untuk kepelautan bagian Dek, ada tiga tingkatan sertifikat dan juga kompetensi kepelautan bagian Mesin terdapat tiga sertifikasi juga."Untuk sertifikat Keahlian Pelaut Kapal Penangkap Ikan yang baru diterbitkan, langsung diberikan pengukuhan untuk jangka waktu lima tahun bersamaan dengan pemberian sertifikat yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal (Perhubungan Laut) atau pejabat yang ditunjuk," katanya.Ketika disinggung soal biaya dan jenjang kurikulum pendidikan, Amir mengklaim pihaknya tidak memungut biaya apapun alias gratis."Untuk kurikulum biasanya berlaku beberapa semester tergantung tingkat kompetensinya. Kami menjamin para peserta mengikuti prosedur dengan benar tetapi kalau di lapangan ternyata ada kasus maka tentu kita akan lakukan verifikasi itu pertama yang kita lakukan, selanjutnya jika terbukti tahapan yang paling akhir ya tentu akan ada tindakan pencabutan ijin dan jika kasusnya ternyata itu sertifikat palsu ya berarti bukan hasil dari penerbitan dari lembaga yang terakreditasi," tutupnya.Keberadaan Dua Agen Penyalur ABK Indonesia
Maraknya kasus kekerasan terhadap ABK Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri menimbulkan tanda tanya besar tentang bagaimana para pekerja ini bisa sampai ke negara penempatan untuk bekerja. Salah satu kasus yang bermasalah adalah penyaluran empat ABK Indonesia ke kapal ikan di Italia yakni Setio Aji Purbatama, Priyo Widodo, Muhammad Syaeful Mahfudin, dan Rendi Harsoyo.Law-Justice mencoba mendatangi salah satu agen penyalur, yakni PT Nurrahray Cahaya Gemilang yang beralamat di Jalan Kramat Kwitang I No. 11 RT 04 RW 07, Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.Kantor yang terletak di lantai dua gedung Wisma Seba tersebut terlihat sepi. Hanya ada penyedia jasa cat duco atau yang biasa dikenal ketok magic yang menjajakan jasanya di depan gedung tersebut.
Kantor penyalur ABK di kapal nelayan asing PT. Indomarino Maju (Kiri) dan PT. Nurrahray Cahaya Gemilang (Kanan) (Foto:Ulin Nuha & Bona Ricki Siahaan)Saat memasuki gedung Wisma Seba, Law-Justice.co berpapasan dengan seorang laki-laki yang merupakan pengurus gedung tersebut. Menurut dia, PT Nurrahray Cahaya Gemilang sudah beberapa bulan ini tidak beroperasi semenjak pandemi Covid-19.
Kontribusi Laporan : Bona Ricky Siahaan, Ricardo Ronald, Januardi Husin, Yudi Rachman
Komentar