Desmond J.Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI:

Saat Menggonggong Pada Penguasa Berbuah Bintang Mahaputera Nararya

Sabtu, 15/08/2020 05:25 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, H.Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, H.Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Menjelang peringatan hari ulang tahun (HUT) Republik Indonesia yang ke 75, Presiden Joko Widodo memberikan tanda kehormatan kepada 53 tokoh nasional termasuk mantan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah yang selama ini dikenal suka kritis alias menggonggong penguasa.

Penyerahan Tanda Kehormatan Republik Indonesia  berlangsung di Istana Negara, Jakarta Pusat,  Kamis (13/8/2020) pukul 10.00 WIB dengan protokol kesehatan COVID-19. Jokowi mengatakan, pemberian penghargaan kepada duo Fadli-Fahri (duo FF) dan sejumlah tokoh nasional lainnya telah melewati pertimbangan yang matang oleh Dewan Tanda Gelar dan Jasa. Apalagi, pemberian bintang tanda jasa kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon telah dipertimbangkan secara matang dan seksama. Ia juga menuturkan, penghargaan diberikan kepada Fadli dan Fahri karena keduanya tetap menjaga demokrasi di Indonesia.

Fahri mengapresiasi pemberian bintang tanda jasa kepadanya. Ia menilai hal tersebut menunjukkan Presiden sebagai Kepala Negara yang mengayomi semua pihak dengan menghargai kritik yang ditujukan kepadanya. Ia pun mengatakan, semestinya semua pihak juga menghormati setiap kritik, sebagai wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia.

"Dan tadi juga disampaikan Presiden menghormati kritik. Jadi ini juga pelajaran bagi semua orang di dalam pemerintahan supaya menghormati krtik. Kalau Presiden saja menghormati kritik harusnya yang lain juga menghormati kritik," ucap politisi Partai Gelora itu.

Pada bagian lain  Fadli Zon menuturkan, penyematan bintang jasa dari Jokowi ini sebagai bagian dari penghargaan kepada rakyat Indonesia. Menurut dia, dengan adanya penghargaan tersebut, ia harus tetap menjaga demokrasi di Indonesia ke depannya."Jadi kami ucapkan terima kasih atas pengakuan terhadap demokrasi kita, dengan tadi berbagai perbedaan itu, sebenarnya adalah potensi kita untuk maju dan tetap kuat melakukan check and balances," ungkap politikus Partai Gerindra itu di lokasi yang sama.

Penghargaan terhadap tokoh yang selama ini dikenal sebagai tukang gonggong pemerintah ini tentu saja menimbulkan polemik pro dan kontra. Lalu apa sebenarnya keistimewaan mendapatkan Bintang Mahaputera Nararya ?, Paradok apa yang mewarnai pemberian penghargaan itu pada “duo FF” yang selama ini kencang mengkritik penguasa ?. Apa makna  dibalik pemberian penghargaan kepada “duo FF” itu bagi perjalanan kehidupan ketatanegaraan kita ?.

Menimbulkan Pro Kontra

Pemberian penghargaan oleh kepala negara kepada tokoh tokoh bangsa yang dianggap berjasa menjelang HUT kemerdekaan Indonesia sudah menjadi peristiwa biasa. Namun pemberian bintang tanda jasa pada peringatan HUT RI ke 75 kali ini memang terasa istimewa karena ada dua sosok yang selama ini dianggap “oposan” ikut mendapatkannya.

Tentu saja peristiwa ini memantik pendapat pro dan kontra di masyarakat kita. Ada kecewa dan menentangnya tapi ad apula yang sepakat sepakat saja dan tidak mempermasalahkannya.  Diantara mereka yang kecewa adalah  Aktivis 98, Immanuel Ebenezer yang  menyesalkan keputusan pemberian Bintang Mahaputera Nararya kepada Fadli Zon dan Fahri Hamzah oleh Presiden Joko Widodo.

Menurut Ketua Jokowi Mania (Joman) ini, pemberian penghargaan itu menjadi aib bagi demokrasi, kemanusiaan, dan aib sebagai bangsa. Ditegaskan Noel, sapaan akrabnya, masih banyak tokoh yang layak mendapat penghargaan daripada dua politisi tersebut. "Ada veteran perang, ada aktivis reformasi yang cacat. Ada banyak guru, pekerja sosial yang lebih layak dari mereka berdua," tegasnya.

Rasa kecewa atas pemberian penghargaan tersebut juga diungkapkan oleh pendukung Presiden Jokowi yang lainnya  diantaranya Denny Siregar hingga Seword dan kawan kawannya. Dalam tulisannya yang berjudul “Nyinyir Doang Eh Dapet Bintang” di media sosial, Denny mempertanyakan mengapa Mahfud MD dengan bangga mengumumkan bintang tanda jasa kepada “Duo F” tersebut.

Penolakan pemberian penghargaan kepada “duo FF” ternyata bukan hanya disuarakan oleh para pendukung Presiden Jokowi tetapi juga mereka yang selama berseberangan dengan pemerintah seperti Persaudaraan Alumni (PA) 212. Mereka  meminta Fadli Zon dan Fahri Hamzah menolak Bintang Mahaputera Nararya.  Apalagi selama ini keduanya dikenal sebagai pihak yang kerap mengkritik pemerintahan Jokowi sehingga pemberian bintang tersebut bisa dianggap untuk membungkam sikap kritisnya.

"Jika beliau (Fadli dan Fahri) istikamah (konsisten) dalam barisan perjuangan bersama imam besar Habib Rizieq Syihab, harusnya menolak (pemberian Bintang Mahaputera Nararya)," kata Ketua Umum PA 212 Ustadz Slamet Maarif di Jakarta,  seperti dikutip harian terbit.com Selasa (11/8/2020).

Namun pemberian penghargaan itu oleh sebagian orang dianggap sebagai hal yang biasa biasa saja dan tidak perlu dipermasalahkan adanya. Menurut penilaian Maruar Sirait, pemberian penghargaan itu karena Presiden ingin mengajarkan dan menjalankan demokrasi  di Indonesia."Pak Jokowi sedang mengajarkan dan menjalankan demokrasi. Inilah bukti nyata negara demokrasi," kata Ara, demikian ia sering disapa.

Ara menekankan bahwa dalam negara demokratis, perbedaan pandangan dan sikap politik merupakan hal biasa.Apalagi bila perbedaan itu sama-sama diniatkan demi kemajuan dan keutuhan bangsa dan negara."Justru Pak Jokowi salah kalau tak memberi anugerah karena perbedaan sikap dan politik. Itu salah. Nah Pak Jokowi sudah benar, dan itu artinnya beliau seorang presiden yang negarawan," ungkapnya sebagaimana dikutip tribunnews.com 13/08/20.

Akhirnya seperti yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD bahwa setiap menteri dan pimpinan lembaga negara yang purna tugas satu periode akan mendapat bintang jasa. Dua orang Wakil Ketua DPR RI periode 2014 sampai 2019 Fahri Hamzah dan Fadli Zon amendapatkan bintang Mahaputra Nararya karena jasa jasa dan perjuangan mereka. "Rakyat `dianggap` mendapat manfaat atas perjuangan dan jasa mereka. Setiap menteri dan pimpinan lembaga negara yang purna tugas satu periode mendapat bintang tersebut," katanya.

Keistimewaan Bintang Mahaputera Nararya

Penghargaan Bintang Mahaputera Nararya adalah tanda kehormatan yang diberikan oleh Presiden atas jasa yang diberikan kepada bangsa dan negara. Bintang Mahaputera Nararya merupakan salah satu kelas tanda kehormatan Bintang Mahaputera.

Menurut Undang – Undang No. 20 Tahun 2009 Pasal 8 Ayat 2, tanda kehormatan Bintang Mahaputera terdiri atas 5 (lima) kelas yaitu:

  • Bintang Mahaputera Adipurna;
  • Bintang Mahaputera Adipradana;
  • Bintang Mahaputera Utama;
  • Bintang Mahaputera Pratama; dan
  • Bintang Mahaputera Nararya

Penghargaan yang diberikan kepada Fahri Hamzah dan Fadli Zon merupakan kelas nomor 5 (lima) yang ada di tanda kehormatan bintang mahaputera. Bintang Mahaputera ini berpita selempang untuk semua Adipurna dan Adipradana. Sementara, untuk Utama, Pratama, dan Nararya, berpita kalung

Tanda kehormatan tersebut dilengkapi dengan Patra, yang dipakai di dada sebelah kiri pada saku baju di bawah kancing. Selain itu, Bintang Mahaputera dilengkapi dengan miniatur.Miniatur ini dipakai pada lidah baju atau pakaian resmi dan disusun hanya satu deretan berjajar atau berhimpit dari kanan ke kiri dengan ukuran panjang tidak melebihi 13 cm. Ahli waris tidak berhak memakai tanda kehormatan ini, tetapi hanya boleh menyimpannya.

Selain syarat yang sifatnya umum, menurut Undang – Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang berhak menerima penghargaan Bintang Mahaputera Nararya adalah mereka yang (1) berjasa luar biasa di berbagai bidang yang bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa dan negara; (2) pengabdian dan pengorbanan di bidang sosial, politik, hukum, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan beberapa bidang lain yang besar manfaatnya bagi bangsa dan negara; dan/ atau (3) darmabakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional.

Terkait dengan pemberian penghargaan kepada “duo FF” ini Iwan Fals mengaku penasaran dengan bentuk penghargaan yang didapat Fahri Hamzah dan Fadli Zon melalui akun Twitter miliknya."Itu penghargaan buat Pak Fahri dan Pak Fadli, berupa piagam, piala, medali atau apa gitu, sstt ada ci cis nya nggak," tulis Iwan Fals dalam akunnya @iwanfals, Kamis (13/8/2020).

Mengenai ada tidaknya “cis cisnya” seperti dipertanyakan oleh Iwan Fals agaknya hal itu bisa dilihat pada hak dan kewajiban bagi para penerima penghargaan bintang tanda jasanya.

Menurut Pasal 33 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, setiap penerima gelar, tanda jasa, dan/atau tanda kehormatan berhak atas penghormatan dan penghargaan dari negara.Penghormatan dan penghargaan untuk penerima tanda jasa dan tanda kehormatan yang masih hidup dapat berupa: pengangkatan atau kenaikan pangkat secara istimewa, pemberian sejumlah uang sekaligus atau berkala serta hak protokol dalam acara resmi dan acara kenegaraan.

Sementara, penghormatan dan penghargaan untuk penerima tanda jasa dan tanda kehormatan yang telah meninggal dunia dapat berupa: pengangkatan atau kenaikan pangkat secara anumerta, pemakaman dengan upacara kebesaran militer,  pemakaman atau sebutan lain dengan biaya negara, pemakaman di taman makam pahlawan nasional serta pemberian sejumlah uang sekaligus atau berkala kepada ahli warisnya

Adapun kewajiban dari penerima tanda jasa dan/atau tanda kehormatan yang masih hidup adalah: menjaga nama baik diri dan jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan negara, menjaga dan memelihara simbol dan/atau lencana tanda jasa dan/atau tanda kehormatan serta memberikan keteladanan dan menumbuhkan semangat masyarakat untuk berjuang dan berbakti kepada bangsa dan negara.

Paradoks

Bintang Mahaputera Nararya, penghargaan yang diberikan warga sipil yang dianggap berjasa, telah diberikan pada dua mantan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Fahri Hamzah, pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-75. Jasa yang telah ditorehkan oleh keduanya kepada negara menurut pemerintah karena keduanya dianggap mampu menjaga demokrasi di Indonesia. Kritik kritik tajamnya kepada pemerintah dianggap sebagai bentuk upaya menjaga demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

"Bahwa misalnya ada pertanyaan mengenai Pak Fahri Hamzah, kemudian Pak Fadli Zon, ya berlawanan dalam politik, berbeda dalam politik ini bukan berarti kita bermusuhan dalam berbangsa dan bernegara," kata Presiden Jokowi melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (13/8/2020). "Inilah yang namanya negara demokrasi," lanjut dia.

Namun alasan Presiden memberikan penghargaan kepada “duo FF” karena dianggap telah berjasa sebagai penjaga demokrasi melalui gonggongan-gonggongannya, kiranya terkesan dipaksakan dan mengada ada. Karena selama ini pemerintah Jokowi di kenal sebagai pemerintah yang anti kritik dan terkesan otoriter sehingga banyak orang yang dikirim ke penjara karena perbedaan pendapat atau yang melawan pemerintah yang penguasa.

Sejauh ini era Presiden Joko Widodo dikenal sebagai  masa suram penyalahgunaan pasal karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal ini terus dimanfaatkan  oleh para pelapor, dari politisi hingga warga sipil biasa untuk membela penguasa.

Berdasarkan data yang dihimpun Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), sebuah organisasi nirlaba yang mendorong kebebasan berekspresi dan berpendapat, pada  periode pertama pemerintah  Jokowi lebih 150-an laporan pidana UU ITE ke kepolisian. Dalam satu bulan minimal ada dua laporan kepolisian, maksimal 15 laporan.

Indeks demokrasi Indonesia menurun pada 2016, berada pada 70,9 persen dari 72,82 persen tahun sebelumnya. Indikator penurunan berbasis kalkulasi kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Kelompok aktivis yang paling rentan dipidana adalah aktivis antikorupsi, aktivis lingkungan, dan jurnalis. Postingan melalui media sosial dari para aktivis yang dibungkam lewat UU ITE ini merupakan pernyataan berbasis fakta dan data.

Postingan tersebut tak jarang menyertakan sumber kutipan. Maka, Safenet menganggap persoalan yang dihadapi aktivis-aktivis ini bukanlah menyebarkan kabar bohong yang menimbulkan kebencian—basis pasal karet UU ITE, melainkan mereka adalah korban pemelintiran hukum oleh pelapor yang umumnya demi membela penguasa.

Tujuannya untuk membungkam fakta dan data. Salah satu kasus itu, misalnya, menimpa Dandhy Dwi Laksono, videomaker dari WatchDoc, lewat akun Facebook. Dandhy dilaporkan oleh Abdi Edison, Ketua Dewan Pengurus Daerah Relawan Perjuangan Demokrasi (DPD Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDI Perjuangan.

Selain Dandhy, ada juga Jonru Ginting, yang dijerat ujaran kebencian, begitu juga Ravio Patra dan yang lain lainya. Kalau disebutkan kasus kasus pembungkaman karena dianggap mengkritik atau menghina presiden akan sangat panjang. Selain nama nama yang disebutkan diatas ada nama seperti Ringgo yang ditangkap umat 18 Agustus 2017 di Medan Timur, Medan karena dianggap menghina presiden.

Jamil Adil karena menghina Presiden dan Kapolri. Dia ditangkap pada 29 Desember 2016, pukul 08.30 WIB . atas tindakannya tersebut. JA sendiri merupakan warga Bantaeng, Jalan Kebon Baru, Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara (Jakut).

Ropi Yatsman (36). Ropi ditangkap di Padang, Sumatera Barat, Senin 27 Februari 2017.Dia ditangkap karena diduga mengunggah dan menyebarkan sejumlah konten gambar hasil editan dan tulisan di media sosial bernada ujaran kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah, di antaranya Presiden Joko Widodo.Nama nama lain yang ditangkap seperti  Yulianus Paonganan pemilik akun @ypaonganan, Muhammad Arsyad Assegaf (24), Sri Rahayu, M Said, Faizal Muhamad Tonong dan sebagainya.

Adanya penangkapan penangkapan itu pernah membuat gusar Fadli Zon ketika masih menjabat sebagai Wakil Ketua DPR sehingga dia menyebut sesudah lebih dari dua dekade perjalanan Indonesia berdemokrasi sepertinya justru malah mengalami kemunduran. Selama lebih  lima tahun berada di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadli Zon mencatat ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan sipil, justru kian meningkat.

"Ini tentu saja bukan penilaian personal. Kita bisa mengacu data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia memang terus mengalami kemunduran," ujar Wakil Ketua DPR saat itu.

Selama lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi terhadap aktivis dan ulama yang kritis terhadap Pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar.

"Jadi, sesudah dua puluh tahun Reformasi, kini kita sedang berada di titik balik otoritarianisme. Bedanya, dulu otoritarianisme disokong oleh militer, maka kini disokong oleh polisi," paparnya.Dia berpandangan, akhir-akhir ini ancaman terhadap kebebasan berpendapat serta kebebasan berekspresi memang kian menguat. Demokrasi, lanjut dia, tiba-tiba saja jadi mengharamkan demonstrasi.

Hak rakyat untuk menyatakan pendapat, misalnya memprotes kecurangan pemilu, bahkan bukan hanya telah dihalang-halangi tapi mengalami intimidasi sedemikian rupa. Ancaman itu, menurut dia, selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian.

Alhasil kalau penghargaan tanda jasa yang diberikan kepada “duo FF” karena alasan keduanya telah berhasil menjaga demokrasi di Indonesia melalui kritik kritik pedasnya maka sesungguhnya lebih banyak tokoh bangsa yang kritikannya lebih pedas dan malah berakhir di penjara bukan dihargai sebagaimana mestinya

Kalau syaratnya karena sering nyinyirin atau menyindir pemerintah, maka penghargaan tersebut paling pantas diterima oleh Habib Rizieq Shibab yang sekarang terlunta-lunta di mancanegara. Oleh karena itu lebih tepat kiranya kalau pemerintah berkata jujur bahwa penghargaan itu diberikan kepada “duo FF” sebenarnya bukan karena yang bersangkutan telah berjasa menjaga kehidupan demokrasi di Indonesia tetapi karena keduanya telah berjasa sebagai pejabat negara yaitu wakil Ketua DPR periode sebelumnya.

Jadi tidak perlu dikait kaitkan alasannya dengan keberhasilannya menjaga kehidupan demokrasi segala karena akan menjadi kelihatan lucu sebab nyatanya masih banyak tokoh lain yang lebi berjasa menjaga demokrasi jika kritikan kritikan pedas sebagai ukurannya.Lagi pula kalau kritikan pedas dianggap sebagai penjaga demokrasi maka orang orang yang selama ini bersuara keras harusnya tidak persoalkan apalagi sampai di kirim kepenjara. Seharusnya mereka mereka justru harus mendapatkan tanda jasa karena gonggongan gonggongannya.

Seribu Makna

Di  beberapa media, para pengamat memberikan opininya yang beraneka ragam terkait dengan pemberian penghargaan kepada “duo FF” dalam rangka HUT RI ke 75 . Ada yang memandangnya dari kacamata politik bahwa Jokowi menganut politik `merangkul` untuk tujuan mengurangi resistensi dari pihak-pihak yang selama ini dianggap berseberangan dengannya.

Ada pula yang menganggap bahwa pemberian penghargaan itu sebagai sebuah upaya mengurangi residu perpecahan menjelang pilkada, dan sebagai upaya membungkam lawan politik supaya tidak lagi banyak bicara.

Sebagaimana diketahui munculnya pencalonan anak Jokowi di Solo dan menantunya di Medan telah memunculkan gelombang protes dari pengamt karena dianggap menghidupkan politik dinasti yang merugikan demokrasi di Indonesia.

Ada juga yang memandang bahwa penghargaan itu sebagai simbol rekonsiliasi dan konsolidasi kepentingan antara kubu Jokowi dan Prabowo menuju koalisi permanen Pilpres 2024 yang telah dimulai prosesnya dari sekarang yaitu momen pilkada yang sebentar lagi akan tiba.

Beragam dugaan memang bisa muncul terkait dengan pemberian penghargaan itu namun bagi pihak yang memberikan penghargaan dalam hal ini penguasa telah mendapatkan point tersendiri karena keputusannya. Sekurang kurangnya saat ini dimata publik timbul kesan bahwa Presiden telah menampilkan sosoknya sebagai pemimpin yang demokratis karena berani memberikan penghargaan kepada orang yang berseberangan dengannya.

Penghargaan itu sebagai bentuk perlakuan menghormati dan menghargai, menempatkan seseorang dalam tempat terhormat, karena dianggap memberikan konstribusi dan peran penting dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika dalam sudut pandang ini, maka pernyataan Mahfud MD dalam akun twitternya yang mengatakan bahwa pemberian penghargaan kepada dua tokoh vokal ini sudah sesuai aturan perundang-undangan, maka tidak ada yang salah dan aneh dengan penghargaan kepada keduanya.

Sebagai konsekuensi dari adanya pemberian penghargaan kepada orang orang yang berseberangan dengan penguasa, maka untuk selanjutnya hal ini berimplikasi pada langkah kebijakan pemerintah ke depannya. Bahwa sebagai wujud konsistensi penghargaan kepada nilai demokrasi dan kebebasan pendapat, tidak akan ada lagi pembungkaman pembungkaman atau seseorang diseret kepenjara karena berbeda pendapat dengan penguasa.

Justru mereka yang senang mengkritik penguasa harus mendapatkan penghargaan seperti halnya penguasa memberikan penghargaan kepada “duo FF” yang dianggap sebagai penjaga demokrasi di Indonesia. Tetapi kalau setelah pemberian penghargaan itu ternyata masih ada upaya pembungkaman aspirasi masyarakat maka berarti penghargaan itu hanya omong kosong belaka karena tidak ada nilai plusnya bagi perbaikan kehidupan demokrasi di Indonesia.

Bagi si penerima penghargaan dalam hal ini “duo FF”, penghargaan itu tak ubahnya sebuah bentuk ujian untuk konsisten dalam perjuangan menjaga demokrasi di Indonesia. Kiranya perlu di ingat bahwa penghargaan itu lahir karena keduanya dianggap berjasa menjaga demokrasi lewat kritik kritik pedasnya kepada penguasa. Jika setelah mendapatkan penghargaan itu lalu keduanya menjadi “jinak” tak lagi bersuara maka sama artinya mengingkari hakekat penghargaan yang diterimanya. Karena bukankah penghargaan itu didapat karena jasa jasanya menggonggong penguasa ?.

Jika kemudian keduanya diam setelah mendapatkan penghargaan maka hakekatnya keduanya telah “membunuh” karakternya sendiri yang telah dibangun bertahun tahun lamanya. Bahwa kritikan kritikannya selama ini dilakukan hanya sekedar meluapkan nafsu dan emosinya belaka karena belum berhasil masuk ke gerbong kekuasaan yang menjadi impiannya. Jika ini terjadi maka keduanya bisa menjadi “badut” politik yang menjadi bahan tertawaan orang dimana mana.

Tetapi kita berprasangka baik bahwa keduanya akan konsisten mengkritik keras  penguasa seperti yang telah disampaikannya. Bahwa penghargaan itu tidak menghalanginya untuk tetap terus bersuara. Kita semua warga bangsa tentu akan selalu melihat dan memonitor sejauhmana realisasinya. Sebab jika keduanya sampai berubah menjadi barisan “jinak” dihadapan penguasa maka akan menjadi kerugian karena hilangnya bagian kekuatan “oposisi” yang akhir akhhir ini sudah mulai melemah kekuatannya.

Pada hal kritik dan suara keras adalah vitamin demokrasi yang selalu diperlukan eksistensinya demi menjaga keseimbangan, chek and balance supaya pemerintah yang berkuasa tidak bertindak semena mena karena merasa tidak ada yang mengawasinya.

Akan halnya munculnya tanda tanya kenapa Presiden Jokowi yang tidak memberikan penghargaan bergengsi itu kepada loyalis pendukungnya, barangkali hal ini menjadi pelajaran juga bagi mereka. Bisa jadi bagi Presiden Jokowi, merasa tidak ada untungnya memberikan penghargaan kepada mereka yang selalu AJS (Asal Jokowi Senang) sesuai platform yang dianutnya.

Boleh jadi penghargaan terhadap “duo FF” merupakan pesan simbolik dari Jokowi, kalau kalian menjadi loyalis dan pendukung setia, jadilah pendukung yang rasional dan konstruktif, tidak hanya membabi buta menjadi mendukung dengan segala puja pujinya, atau mendukung dalam kerangka ikatan emosional belaka, pamrih saja maunya. Namun jadilah pendukung yang juga mau mengingatkan kalau yang didukung salah alias tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kiranya pemberian penghargaan kepada “doa FF” itu akan bernilai positif baik bagi pemberi maupun penerimanya jika para pihak bijak dalam menyikapinya. Akan bernilai positif juga bagi pendukung fanatik presiden jika mau mengambil pembelajaran ke depannya. Bahwa menjadi pendukung setia itu tidak harus selalu melantunkan puji puja tapi juga harus memberikan kritikan untuk kebaikan bersama.

Jika masing masing pihak mau mengambil pembelajaran terhadap pemberian penghargaan itu maka akan berkontribusi positif bagi kehidupan demokrasi di Indonesia yang saling menghargai satu sama lainnya. Terbangunnya demokrasi yang konstruktif dan substansial akan berkontribusi bagi upaya untuk mewujudkan tujuan kita berbangsa dan bernegara yaitu masyarakat yang adil makmur sejahtera.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar