Ridwan al-Makassary: The Nexus, antara Veronica Koman, LPDP dan Papua

Kamis, 13/08/2020 09:01 WIB
Ridwan al-Makassary (Dok.Pribadi/Facebook)

Ridwan al-Makassary (Dok.Pribadi/Facebook)

law-justice.co - Veronica Koman (selanjutnya disebut VK) kembali naik daun. Seperti tahun lalu, ketika isu rasisme yang “membakar Papua” (Jayapura dan Wamena berdarah tahun 2019), yang perihnya masih membekas di rerimbun ingatan; nama VK kembali menjadi buah bibir yang ditanggapi secara berbeda oleh pendukung dan pembencinya.

Pendukungnya menilai VK sebagai pejuang “self determination” Papua, sedangkan pembencinya menganggap VK tak lebih dari seorang traitor, pengkhianat bangsa dan negara. Sejak tahun lalu, pemerintah Indonesia telah menetapkannya sebagai penyebar hoaks dan provokator atas isu rasis di Papua dan telah menjadi DPO (Tempo, 4 September 2019).

Saat ini, VK dan suaminya bermukim di Australia dan tampaknya asyik menikmati popularitasnya sebagai pengacara Hak Asasi Manusia Internasional, yang sering berkicau tentang isu Papua merdeka. 

Kemarin hingga detik saya menulis opini ini, isu VK kembali menarik perhatian publik, tidak terkecuali para penerima beasiswa dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Selain menjadi trending di Twitter, perbincangan tentang VK mewarnai beberapa media daring, grup WhatssApp (WA) hingga milist LPDP Republik Indonesia.

Penulis menduga, VK secara sengaja memanfaatkan momen bulan Agustus, di mana ada hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 2020). Untuk internasionalisasi isu Papua, melalui akunnya di Facebook,  VK dengan sengaja memberitahu ke publik bahwa dirinya diminta mengembalikan dana beasiswa LPDP dari pemerintah Republik Indonesia yang berjumlah lebih dari 700 juta rupiah, ketika menempuh pendidikan S2 Hukum di Australian National University.

Sontak unggahan itu diberitakan oleh berbagai media daring, dan viral di beberapa grup WA. Kontroversi akhirnya merebak, yang menempatkan VK sebagai subjek yang didiskusikan terutama kasusnya dengan LPDP dan isu HAM Papua yang digelutinya.

Tulisan singkat ini ingin memproblematisasi hal tersebut dan melihatnya dari sebuah perspektif yang lebih luas. Penulis berargumen bahwa VK dengan sengaja telah memainkan isu pengembalian beasiswa LPDP untuk internasionalisasi isu Papua agar membuat dirinya tetap relevan di tengah isu Papua yang berkutat pada diskusi tentang otonomi khusus (otsus) Papua.

Pertama tulisan ini ingin mengungkap siapa VK secara singkat, kedua, apakah tuntutan agar VK melakukan pengembalian beasiswa murni menyalahi kontrak LPDP atau ada unsur politis di belakang itu, ketiga, bagaimana memahami peran VK dalam internasionalisasi Papua, apakah murni untuk keadilan dengan cara-cara yang benar atau alasan pragmatis dengan cara-cara hoaks. Tulisan diakhiri dengan kesimpulan.

Veronika Koman lahir di Medan, 14 Juni 1988. Ia menyelesaikan kuliah di Universitas Pelita Harapan Jakarta dengan spesalisasi Hukum Internasional (2006-2011). Pada tahun 2017 dia melanjutkan kuliah di Australian National Univesity melalui beasiswa LPDP (hal ini akan dijelaskan di bawah).

Pernah tercatat sebagai pengacara publik di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, yang membela isu minoritas dan kelompok rentan termasuk pencari suaka, pengungkapan kasus Munir, hingga aktivis Papua. Juga, pernah menolak pemidanaan kasus hukum Basuki Thajaya Purnama (Ahok), saat mantan Gubernur DKI itu dituntut penjara karena kasus penodaan agama.

Dia terkenal garang menyuarakan keadilan tentang Papua, beberapa kali membela aktivis Papua yang terlibat perkara hukum. Belakangan ia pernah tergabung dalam tim kuasa hukum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang membela sejumlah proses hukum makar. Ia juga pernah menyurati pelapor khusus PBB David Kaye dan Komisi Tinggi PBB untuk HAM (OHCHR) terkait pemblokiran internet di Papua. Bahkan paska penetapannya sebagai tersangka kasus rasis Papua, ia masih aktif menyoroti kasus Papua, termasuk penahanan 20 warga di Papua.

Saat ini ia lebih dikenal sebagai pengacara dan aktivis HAM. Karena pembelaannya terhadap isu pelanggaran HAM di Papua ia dianugrahi “Sr Ronald Wilson Human Rights Award” pada Oktober 2019. 

Apakah tuntutan pengembalian beasiswa LPDP yang telah diterima VK berbau politis, adalah isu yang trending saat ini. Berbagai media memberitakan tentang tuntutan pengembalian dana beasiswa yang telah digunakan VK saat menempuh kuliah di Australia.

LPDP berargumen bahwa VK tidak mematuhi ketentuan umum untuk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan masa studi. Jika dilihat dari panduan LPDP terdapat beberapa pasal yang membuktikan bahwa VK adalah contoh yang buruk sebagai penerima beasiswa LPDP.

Pertama, setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah. Kedua, menjaga nama baik Indonesia dan LPDP baik dalam perkataan maupun tindakan. Ketiga, menaati peraturan akademik termasuk ketentuan/kode etik yang ditetapkan perguruan tinggi tempat studi, dst.

Selain itu, ada kewajiban mengabdi di tanah air. Dari pemberitaan juga disebutkan bahwa pengurus LPDP menyatakan bahwa tuntutan pengembalian tidak hanya ditujukan kepada VK semata. Namun, sebagian publik, termasuk penerima beasiswa LPDP terpecah dalam menilai kebijakan LPDP dalam hal ini.

Sebagian melihat ada unsur politis sebagaimana juga VK memandang upaya pemerintah ini sebagai bagian dari kriminalisasi. Kesan politisasi pengembalian beasiswa ini cukup beralasan, karena sejauh ini memang LPDP tampaknya tidak begitu transparan dalam menjalankan aturan ini, dan diyakini masih banyak alumni LPDP yang melalaikan tanggung jawab purna menyelesaikan studi.

Karenanya, untuk menghapus kesan “tebang pilih” dan menjaga marwah serta independensi LPDP, maka perlu ada penelusuran terhadap seluruh alumni pelanggar kewajiban sebagai penerima beasiswa untuk dimintai tanggung jawab yang sama seperti VK, sehingga tidak terkesan LPDP digunakan sebagai alat politik untuk mendemoralisasi atau mengkriminalisasi PK.

Selain itu, isu pengembalian beasiswa yang menyeruak di tengah kasus politik yang menimpa VK dapat memperkuat dugaan publik, bahwa LPDP bersikap tebang pilih dalam meminta pertanggungjawaban atau pengembalian beasiswa bagi yang mangkir. Penulis masih percaya LPDP independen dalam hal ini, hanya momen yang kurang pas sehingga upaya LPDP terkesan politis bagi sebagian orang.

Isu Papua yang digeluti VK dinilai sebagian pihak sebagai bagian dari kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi. Saya menilai, tampaknya pemahaman Papua VK lebih banyak diwarnai oleh pergaulannya dengan KNPB dan ULMWP sehingga dalam mengadvokasi isu Papua tidak netral, namun ia lebih cenderung sebagai subjek untuk memprovokasi guna kepentingan internasionalisasi isu Papua.

Ini sangat disayangkan karena memperburuk dan dapat memancing kerusuhan. Cuitan VK di twitter tentang Papua lebih bersifat hoaks ketimbang menampilkan data yang sebenarnya. Dalam kasus rasis Papua 2019, hal tersebut terlihat jelas (lihat Tempo 4 September 2019; Tirto, 5 September 2019).

Kalau kita ikuti perkembagan saat itu, cuitan itu bernada hasutan dan hoaks, sehingga memicu terjadinya kerusuhan di Jayapura dan Wamena. Tujuan VK tampaknya sejalan dengan perjuangan KNPB dan ULMWP agar dunia internasional terpapar dengan framing pelanggaran HAM yang luar biasa di Papua sehingga mendorong terjadinya tekanan dari dunia internasional, dan pada saat yang sama mendorong terjadinya kerusuhan dan memaksa pemerintah untuk menyetujui tuntutan referemdum.

Dalam hal ini, posisi VK bukan lagi sekedar pengacara bagi aktivis Papua merdeka, tetapi juga sebagai pelaku yang posisinya sama dengan aktivis KNPB yang memperjuangkan Papua merdeka. Idealnya energi VK diarahkan untuk mencari solusi secara damai dan menjauhi provokasi guna penyelesaian yang lebih komprehensif bagi Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Oleh karena itu, saya berpandangan bahwa “perjuangan” VK lebih bersifat politik pragmatis guna melarikan dari dari tanggung jawab sebagai penerima beasiswa LPDP dan dapat perlindungan serta berbagai kemudahan sebagai aktivis dan pengacara HAM dengan cara mengumbar berita hoaks dan provokasi tentang Papua yang jauh dari fakta sebenarnya di lapangan.

Dari paparan di atas, penulis berpandangan bahwa VK sebaiknya bersikap elegan dengan mengembalikan dana beasiswa LPDP karena sudah terang benderang ia telah menyalahi kontrak dengan LPDP sebagaimana disebutkan di atas dan tidak berdalih ada alasan politis yang memboncengnya. Sementara persoalan perjuangannya untuk Papua merdeka dengan status tersangka adalah hal yang tidak harus dikaitkan dengan beasiswa LPDP yang diminta untuk dikembalikan.

Kalau VK berani mengembalikan dana LPDP dan terus berjuang dengan nilai dan keyakinan tentang Papua yang dia percayai, baru saya angkat topi. Tanpa itu, saya menilai ia tak lebih dan kurang hanya seorang “oportunistik yang mencari popularitas” dengan menggunakan isu Papua merdeka untuk kepentingan pribadi.

Ridwan al-Makassary adalah co-founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI), tulisan ini merupakan pandangan personal dan tidak mencerminkan sikap lembaga secara resmi.

 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar