Kawin Kontrak Marak,Jokowi Harus Hentikan Pengiriman Imigran ke Puncak

Selasa, 11/08/2020 15:06 WIB
Pelaku kawin kontrak di Kampung Arab Puncak, Bogor, Jawa Barat (netralnews)

Pelaku kawin kontrak di Kampung Arab Puncak, Bogor, Jawa Barat (netralnews)

Bogor, Jabar, law-justice.co - Kawin kontrak antara imigran dengan orang Indonesia di Puncak Bogor, Jawa Barat begitu marak terjadi. Oleh karena itu, Bupati Bogor Ade Yasin meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menghentikan pengiriman imigran ke Puncak, Bogor.

Meski terjadi di wilayah Bogor, Ade Yasin menegaskan warga yang terlibat dalam aktivitas kawin kontrak di Kampung Arab kawasan Puncak, Cisarua bukan perempuan asal Bogor. Soal nama Kampung Arab juga hanyalah sebuah istilah di masyarakat dan tidak diresmikan pemerintah daerah, nama aslinya kampung Sampay atau Warung Kaleng.

Selain itu, kawasan Warungkaleng berada di desa tugu selatan dan tugu utara, mulai terisi sekitar tahun 80-an.

Melansir pikiran rakyat, terkait bertambahnya jumlah wisatawan Timur Tengah ke kawasan Puncak terdengar istilah kawin kontrak antara pendatang tersebut dengan wanita lokal dan melakukan kawin kontrak atau nikah mut`ah dengan wanita setempat. Kawin kontrak menjadi sangat terkenal.

Dulu yang melakukan kawin kontrak adalah gadis-gadis setempat dengan alasan kebutuhan ekonomi. Namun saat ini yang melakukan kawin kontrak bukanlah gadis setempat melainkan wanita tuna susila dan yang menjajakan di kawasan Puncak

Ade Yasin menyebut, wanita-wanita pelaku kawin kontrak tersebut bukan berasal dari Cisarua melainkan dari Cianjur, Sukabumi dan daerah lain.

"Kami kerap melakukan razia bersama Timpora (pemda, aparat dan Imiigrasi). Yang ditemukan saat ini, pelaku tuna susila berdomisili di Cianjur, Sukabumi, bahkan Jakarta dan luar Jawa Barat," kata Ade Yasin.

Sementara terkait para pencari suaka dan pengunjung saat ini jumlahnya terus bertambah. Pada 2018 terdata 1.672 orang, lalu melonjak pada 2020 menjadi 2.245 orang yang sebagian besar berasal dari Afganistan, Irak dan Pakistan.

"Kami selaku pemerintah di daerah mempertanyakan bagaimana pengendalian terhadap para pencari suaka yang dengan mudah masuk Indonesia dan jumlahnya terus bertambah setiap tahunnya," jelas Ade Yasin.

Kata Ade Yasin, pengawasan terhadap imigran pada awalnya ditampung terpusat, namun saat ini dengan bermodal uang jaminan yang diberikan lembaga internasional, para imigran secara mandiri mengontrak rumah sehingga sulit dalam aspek pendataan dan pengawasan. Terlebih ada gap secara budaya, komunikasi dengan imigran silit dalam faktor bahasa.

"Pemda telah memberikan opsi kepada Internasional organisasi of immigration (IMO) terkait pemusatan imigran tidak lagi di Puncak melainkan di Parungpanjang, Kabupaten Bogor," jelasnya.

Dia mengajukan opsi tersebut karena tak ingin menimbulkan stigma negatif terhadap kawasan Puncak yang saat ini sebagai kawasan strategi pariwisata nasional.

Permintaan Ade Yasin kepada Jokowi bermula dari penemuan Ombudsman RI yang menyatakan ada
potensi maladministrasi pada penataan kawasan Kampung Arab di Puncak Bogor yakni tindakan pembiaran dan pengabaian kewajiban hukum.

Hal itu berdasarkan investigasi inisiatif Ombudsman yang menghasilkan temuan di antaranya tidak adanya data mengenai jumlah imigran, pekerjaan informal yang dilakukan oleh warga negara asing (WNA). Termasuk status kepemilikan aset tanah, izin mendirikan bangunan dan tempat usaha yang tidak sesuai, serta status dan administrasi anak hasil perkawinan campuran.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar