Kirim Surat Terbuka, Amnesty Desak Jokowi Bebaskan Puluhan Tapol Papua

Selasa, 11/08/2020 14:19 WIB
Kirim Surat Terbuka, Amnesty Desak Jokowi Bebaskan Puluhan Tapol Papua. (liputan6).

Kirim Surat Terbuka, Amnesty Desak Jokowi Bebaskan Puluhan Tapol Papua. (liputan6).

Jakarta, law-justice.co - LSM pemerhati HAM, Amnesty International Indonesia (AII) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera membebaskan puluhan tahanan politik disejumlah daerah khususnya di tanah Papua.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, saat ini setidaknya terdapat 23 orang dipenjara di Fak-Fak, 11 orang di Sorong, 10 orang di Ambon, dan satu orang lagi berkewarganegaraan Polandia bernama Jakub Skrzypski yang dipenjara di Wamena.

Kata dia, mereka rata-rata divonis hukuman kurungan dengan tuduhan makar berdasarkan Pasal 106 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Berikut pernyataan lengkap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam surat terbukanya terhadap Jokowi yang diterima redaksi Law-Justice:

Kepada Yth.
Ir. H. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Sekretariat Negara
Jl. Veteran No. 17-18
Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta
Indonesia (10110)

Dengan hormat,

Teriring salam semoga Bapak beserta jajaran dalam keadaan sehat wal afiat. Melalui surat ini, perkenankan kami Amnesty International hendak menyampaikan keprihatinan atas masih adanya sejumlah orang di Papua dan Maluku yang dihukum semata-mata karena menjalankan hak asasinya secara damai. Kami mencatat, saat ini setidaknya terdapat 23 orang dipenjara di Fak-Fak, 11 orang di Sorong, 10 orang di Ambon, dan satu orang lagi berkewarganegaraan Polandia bernama Jakub Skrzypski yang dipenjara di Wamena.

Mereka rata-rata divonis hukuman kurungan dengan tuduhan makar berdasarkan Pasal 106 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kami menilai, aparat penegak hukum kerap menerapkan pasal-pasal makar tersebut di luar yang diizinkan hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

Merujuk kaidah tersebut, mereka tidak seharusnya dihukum sejak awal karena mereka hanya menjalankan haknya untuk berpendapat, berekspresi dan berkumpul secara damai. Bahkan di masa lalu, pemerintah Indonesia telah memberikan amnesti, yaitu pembebasan tanpa syarat, kepada mereka yang dihukum atas tuduhan serupa.

Pemberian amnesti pernah diberikan oleh hampir seluruh Presiden Republik Indonesia, dari Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH. Abdurrahman Wahid, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Di tahun 1959, Presiden Soekarno membebaskan orang-orang yang terlibat pemberontakan Daud Bereueh di Aceh melalui Amnesti (Keppres No 180 tahun 1959 tentang Pemberian Amnesti dan Abolisi). Di tahun yang sama, Presiden Soekarno juga memberikan amnesti dan abolisi bagi mereka yang terlibat pemberontakan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (Keppres No 303 Tahun 1959).

Pada 1977 Presiden Soeharto memberi amnesti dan abolisi bagi anggota Fretilin Timor Timur agar mereka bisa terlibat dalam pembangunan (Keppres No 63 tahun 1977). Lalu Presiden Habibie memberikan amnesti (Keppres No 80 tahun1998) kepada Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan, hingga Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Kuawamba yang masing-masing terkait isu separatisme di Timor Timur, Aceh dan Papua.

Presiden Abdurrahman Wahid memberikan amnesti bagi setidaknya 95 tahanan politik Timor Timur dan mereka yang dihukum untuk Tragedi 1965 (Keppres No 157 hingga 160 Tahun 1999). Dan terakhir, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono juga memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat Gerakan Aceh Merdeka (Keppres No 22 tahun 2005). Sebagai tambahan, pemberian amnesti tersebut rata-rata diberikan pada momen-momen Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itulah, menjelang momen HUT Kemerdekaan Indonesia pada tahun 2020, kami meminta secara khusus kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk membebaskan seluruh tahanan hati nurani di Papua dan Maluku, termasuk Jakub.

Dengan merujuk pengalaman tersebut, Amnesty International secara khusus meminta kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk:

1. Menggunakan wewenang konstitusional Presiden untuk membebaskan semua tahanan nurani Papua, Maluku, termasuk Jakub Skrzypski tanpa syarat, sesuai kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945;
2. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengamandemen Pasal 106 dan 110 KUHP atau mencabutnya, agar tidak dapat lagi digunakan untuk mempidanakan kebebasan berekspresi melampaui batas yang diizinkan oleh hukum internasional hak asasi manusia; dan
3. Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menghapuskan pasal makar dari RKUHP dan rancangan undang-undang lainnya.

Sebagai penutup, perlu kami tegaskan bahwa Amnesty International tidak memiliki sikap apa pun atas posisi politik provinsi mana pun di Indonesia, termasuk seruan kemerdekaan. Tapi kami meyakini bahwa negara wajib menjunjung tinggi penghormatan kebebasan berekspresi, yang dijamin dalam hukum hak-hak asasi manusia internasional maupun nasional, termasuk hak untuk menyatakan keinginan untuk kemerdekaan secara damai. Demikian surat ini disampaikan. Atas segala perhatian Bapak Presiden, kami ucapkan terima kasih.

Hormat kami

 

Usman Hamid
Direktur Eksekutif
Amnesty International Indonesia

Tembusan:
1. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
2. Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
3. Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia
4. Ketua Komnas HAM Repubik Indonesia
5. Ketua Komnas Perempuan Republik Indonesia
6. Arsip.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar