Beda Sikap Tiga Negara Kuat Ini Jelang Pilpres AS 2020

Senin, 10/08/2020 18:53 WIB
Persaingan Donald Trump dan Joe Biden makin panas jelang Pilpres AS (Kompas.com).

Persaingan Donald Trump dan Joe Biden makin panas jelang Pilpres AS (Kompas.com).

Jakarta, law-justice.co - Persaingan antara Donald Trump dengan Joe Biden semakin panas jelang Pilpres AS pada tanggal 3 November 2020. Tak hanya karena dukungan dari dalam negeri, dukungan dari luar negeri juga semakin meningkatkan tensi Pilpres 2020.

Menurut laporan intelijen AS, Rusia tengah mencoba untuk menggagalkan pencalonan Biden. Sementara China dan Iran menentang pemilihan kembali Presiden Donald Trump.

Hal ini dimuat dalam laporan Pusat Kontra Intelijen dan Keamanan Nasional, Jumat (7/8/2020). Informasi dirilis untuk membantu orang AS menjaga pemilu di negeri itu.

"Meski banyak aktor asing memiliki pandangan tentang siapa yang harus memimpin Gedung Putih, Kami terutama prihatin tentang aktivitas yang sedang berlangsung dan potensial oleh China, Rusia, dan Iran," kata William Evanina, Direktur Pusat Kontra Intelijen dan Keamanan Nasional seperti dilansir dari cnbcindonesia, Senin (10/8/2020).

Lebih lanjut, Evanina mengatakan bahwa negara asing akan terus menggunakan langkah-langkah pengaruh terselubung dan terbuka dalam upaya mereka untuk mempengaruhi preferensi dan perspektif pemilih AS, mengubah kebijakan AS, meningkatkan perselisihan di Amerika Serikat, dan merusak kepercayaan rakyat Amerika dalam proses demokrasi menuju pemilihan 3 November.

"Kami semua bersama-sama sebagai orang Amerika," kata Evanina dalam pernyataan itu. "Pemilihan kita harus menjadi milik kita sendiri. Upaya asing untuk memengaruhi atau mengganggu pemilu kita adalah ancaman langsung bagi struktur demokrasi kita."

Trump sendiri telah memberi tanggapan atas laporan intelijen tersebut pada konferensi pers Jumat malam.

"Bisa jadi," kata Trump ketika seorang reporter bertanya apakah dia percaya laporan mengenai Rusia yang berusaha mencampuri pemilunya melawan Biden. "Saya pikir orang terakhir yang ingin dilihat Rusia di kantor adalah Donald Trump."

Namun demikian, saat reporter menyebut bahwa pernyataan dari intelijen AS justru mengatakan sebaliknya, Trump mengatakan tidak peduli atas hal itu. "Saya tidak peduli apa yang dikatakan orang."

"Tak seorang pun dengan akal sehat akan mengatakan bahwa Rusia ingin dia menang," kata Trump lagi, sebelum menambahkan bahwa ia akan mengamati dengan seksama kemungkinan gangguan yang ada.

Terkait alasan dukungan pada tiap calon presiden AS, Evanina mengatakan hal itu ada hubungannya dengan sikap Trump sebagai presiden selama ini. Di mana China dan Iran menentang kemenangannya karena Trump telah banyak meluncurkan serangan pada kedua negara sejak menjabat pada 2016 lalu.

Sebagaimana diketahui, hampir dalam setiap pidatonya belakangan ini, Trump selalu menyempatkan mengkritik China. Mulai dari soal penanganannya terhadap virus corona, yang pertama kali muncul di kota Wuhan di China, sampai soal Hong Kong dan Muslim Uighur.

Pada Iran, Trump juga terkenal frontal. Bahkan di bawah pemerintahannya, Iran telah kembali dijatuhi sanksi oleh AS. Akibat itu, Iran berusaha untuk merusak institusi demokrasi AS, Presiden Trump, dan untuk memecah belah negara itu sebelum pemilu 2020, kata Evanina.

"China telah memperluas upaya pengaruhnya menjelang November 2020 untuk membentuk lingkungan kebijakan di Amerika Serikat, menekan tokoh politik yang dipandangnya bertentangan dengan kepentingan China, dan menangkis serta melawan kritik terhadap China," katanya.

"Motivasi Teheran untuk melakukan kegiatan semacam itu, sebagian didorong oleh persepsi bahwa terpilihnya kembali Presiden Trump akan mengakibatkan berlanjutnya tekanan AS terhadap Iran dalam upaya untuk mendorong perubahan rezim," kata Evanina.

Di sisi lain, Biden justru lebih frontal mengkritik hubungan Trump dengan Rusia. Biden telah mengecam Trump karena gagal mengatasi ancaman Rusia di luar negeri dan kampanyenya. Hal yang sama juga kembali ditekankan oleh penasihat lama Biden, Tony Blinken.

"Donald Trump telah secara terbuka dan berulang kali mengundang, memberanikan diri, dan bahkan mencoba untuk memaksa campur tangan asing dalam pemilihan Amerika," kata Blinken dalam tanggapannya.

Menanggapi penilaian intelijen itu, juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Ullyot mengatakan AS tidak akan mentolerir campur tangan asing dalam proses pemilunya dan akan menanggapi ancaman asing yang berbahaya yang menargetkan lembaga demokrasi AS.

"Amerika Serikat sedang bekerja untuk mengidentifikasi dan mencegah upaya pengaruh asing yang menargetkan sistem politik kami, termasuk upaya yang dirancang untuk menekan jumlah pemilih atau merusak kepercayaan publik dalam integritas pemilu kami," kata Ullyot.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar