Dea Winnie:

Aku Ikhlas Tiga Anggota Keluarga Meninggal Karena Covid-19

Minggu, 09/08/2020 18:45 WIB
Dea Winnie, nomor dua dari kiri, bersama keluarga (Dok.Pribadi/law-justice.co)

Dea Winnie, nomor dua dari kiri, bersama keluarga (Dok.Pribadi/law-justice.co)

law-justice.co - Penularan virus corona yang masih terjadi di masyarakat membuat jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus bertambah. Tercatat hingga hari Sabtu (8/8/2020) kasus baru kembali dilaporkan dalam jumlah besar yaitu 2.277.

Penambahan itu menyebabkan total kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 123.503 orang, terhitung sejak pasien pertama terinfeksi virus corona diumumkan pada 2 Maret 2020.

Melihat kondisi itu, Dea Winnie Pertiwi warga Surabaya, Jawa Timur yang kehilangan tiga anggota keluarganya karena Covid-19,  menilai ada kesan meremehkan yang terjadi di masyarakat.

"Memang ada orang yang tetap mematuhi protokol kesehatan tetapi ada juga yang banyak beranggapan bahwa situasi new normal ini berarti sudah normal, padahal Covid-19 ini masih ada dan fatal," ujarnya kepada law-justice.co, Jumat, (7/8/2020).

Menurut Dea, situasi new normal yang diterapkan pemerintah harus ditanggapi dengan kepedulian terhadap diri sendiri termasuk cara berpikir. Ia heran karena masih ada masyarakat yang tidak peduli, tidak percaya, bersikap masa bodoh, dan cenderung menganggap enteng virus corona.

Padahal, kata Dea, sudah ada banyak bukti dan contoh kasus tentang orang-orang yang terinfeksi dan meninggal karena Covid-19, salah satunya adalah keluarganya sendiri. "Tergantung mindset kita bagaimana menghadapi new normal ini, karena kalau memang mindset-nya enggak percaya atau bahkan masa bodoh, enggak bakal masuk," kata Dea

Ia melanjutkan, bahwa yang terjadi pada keluarganya seharusnya bisa menjadi pembelajaran untuk masyarakat luas bahwa virus corona ini ada dan berbahaya. Bayangkan saja menurut Dea, virus corona tanpa pandang bulu telah merengut nyawa kedua orangtuanya, kakak pertamanya beserta anak yang sedang dikandungnya.

Selain itu virus ini juga menulari tiga anggota keluarga lainnya yaitu kakak nomor dua, kakak ipar, dan juga dirinya. "Jadi ceritanya aku beda rumah sama keluargaku. Dan yang pertama kali sakit itu adalah kakak iparku laki-laki. Sakitnya ini muncul setelah pulang dari mengantar kakak kontrol kandungan di rumah sakit," kisahDea.

Awalnya lanjut Dea, sakitnya itu terlihat biasa seperti flu dan meriang saja. "Obat yang dikonsumsi kakak iparku itu hanya obat biasa yang dijual bebas, karena kita tidak menyangka itu Covid-19 dan memang kami tidak ke dokter saat itu," tambahnya.

Setelah mengkonsumsi obat tersebut, tiga hari kemudian kakak iparnya mulai terlihat membaik. "Namun kakak aku yang nomor dua kemudian ikut sakit. Gejalanya demam tinggi sama batuk. Obat yang dikonsumsi saat itu juga obat biasa. dan kemudian dia mulai sembuh dan baikan," ujar Dea. "Selang berapa hari kemudian, flu menular ke kakak yang pertama yang sedang mengandung itu. Mereka ini semuanya satu rumah," tambah Dea.

Dea masih ingat betul, tanggal 19 Mei 2020, kakak pertamanya memberi tahu bahwa saat itu kondisi badannya panas. ``Saat itu mereka ke rumah sakit untuk periksa dan diantar kakak iparku (suaminya) yang saat itu sudah baikan. Ketika pulang dari rumah sakit, aku sempat bertanya bagaimana keadaannya. Katanya waktu itu tidak apa-apa hanya perlu minum obat biasa. Dan saat itu keduanya sempat di tes rapid dan non-reaktif. Jadi kita tidak menyangka itu Covid-19.”

Namun seiring berjalannya waktu, kondisi kakak pertama tidak kunjung membaik. "Justru yang mulai sembuhitu kakak ipar dan kakak nomor dua. Kakak pertama  batuknya semakin parah dan tidak bisa napas, sesak napas," kenang Dea.

Dengan kondisi satu orang semakin parah, sang ibu tiba-tiba mengalami gejala yang sama, merasa tidak enak badan, batuk dan juga sesak napas. Tanggal 24 Mei yang merupakan  hari raya pertama, ibunya langsung berobat ke rumah sakit. "Saat itu hanya diinfus dan diambil darahnya. Setelah infus ibu merasa enakan tapi besoknya dia minta balik lagi ke rumah sakit," kata Dea.

Karena kondisi ibu dan kakak yang sesak napas, Dea membeli tabung oksigen untuk membantu pernapasan mereka. Mereka masih belum mengira bahwa sesak napas itu adalah salah satu gejala Covid-19.

Saat di rumah sakit pihak keluarga sebenarnya sudah meminta rawat inap untuk ibu dan kakak Dea, namun pihak rumah sakit menyarankan rawat jalan karena pasien masih bisa jalan dan tidak ada ruang isolasi khusus ibu hamil di rumah sakit tersebut.

"Jadi ya sudah, akhirnya kami putuskan untuk pulang padahal kondisi kakak pertama dan ibu walaupun masih bisa jalan dan berinteraksi, namun napasnya masih sesak dan batuk yang benar-benar parah," kata Dea.

Pagi tanggal 26 Mei, Dea berinisiatif untuk tes rapid mandiri bersama Ibunya. "Hasilnya aku dinyatakan non-reaktif namun ibu reaktif. Aku bingung, dan masih belum tahu apakah itu Covid-19. Rumah sakit tidak langsung meminta tes swab, karena hari raya dan laboratorium tutup. Akhirnya kami memutuskan untuk isolasi mandiri saja.”

Tanggal 27 Mei saat isolasi mandiri, kakak Dea yang pertama dan sedang mengandung keadaannya drop. Ia merasa sudah tidak kuat dan terpaksa dibawa ke IGD. "Saat itulah terakhir kalinya aku melihat kakak. Dia di isolasi di IGD. Menurut pemeriksaan IGD saturasi oksigennya itu di bawah 50 dan dinyatakan gagal napas, kemudian dipasang ventilator. Bayi yang ada di dalam kandungannya itu akhirnya meninggal," kenang Dea.

Selang tiga hari kemudian, dokter baru berhasil mengeluarkan janinnya dan langsung dikuburkan sesuai protokol Covid-19. Kakak Dea dikembalikan ke ICU, meski kondisinya kritis namun sempat dikabarkan membaik. Sayang, dini hari tanggal 31 Mei, sang kakak kritis dan akhirnya meninggal pada pukul 02.00 WIB.

Dea mengatakan, sebelum kakak pertamanya diisolasi, ayahnya juga sudah tertular, tapi bertahan tidak mau ke rumah sakit. Tapi karena terus drop, di tanggal 28 Mei, selang sehari kakak pertama di isolasi, ibu dan ayah juga dilarikan ke rumah sakit. Keduanya dimasukan ke dalam satu ruangan isolasi. Ayah Dea meninggal lebih dulu, sedangkan kakaknya menyusul sehari kemudian.  Hasil tes rapid mereka reaktif dan hasil foto koreksi juga jelas paru-parunya di selimuti bercak putih.

Setelah dua orang meninggal, sang ibu masih terus berjuang. Keluhannya saat itu masih tetap sama, sesak napas padahal sudah dibantu oksigen.  "Sampai pada akhirnya tanggal 2 Juli, pukul 14.30 WIB ibu meninggal," kata Dea.

Dea mengaku percaya semuanya sudah diatur dan direncanakan Tuhan. "Papa meninggal di usia 68 tahun, Ibu 60 tahun, dan kakak 33 tahun. Aku hanya mengimani bahwa ini sudah takdir Allah. Aku ikhlas saja. Allah mungkin menganggap aku kuat dan bisa melalui ini, jadi ya ikhlas..”

Ia berharap, ke depannya dapat menjalankan hidupnya dengan lancar termasuk tidak adanya stigma buruk terhadap keluarga korban Covid-19. "Memang ada dukungan dari lingkungan sekitar, namun saat awal virus ini muncul, stigma negatif terhadap korban Covid-19 muncul di masyarakat. Belum lagi berita-berita hoaks yang tersebar yang mengatakan bahwa kakakku tertular  karena sering keluyuran dan suami kakak diisukan melarikan diri. Kabar bohong yang beredar ini justru membuat tetangga resah, padahal sebenarnya kami melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing, tidak ke mana-mana," tutupnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

(Ricardo Ronald\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar