FITRA: BLT Rp600 Ribu Rentan Salah Sasaran

Minggu, 09/08/2020 15:54 WIB
Menkeu Sri Mulyani dan Presiden Jokowi (berkabar.id)

Menkeu Sri Mulyani dan Presiden Jokowi (berkabar.id)

Jakarta, law-justice.co - Sekjen Fitra, Misbah Hasan mendesak pemerintah untuk berhati-hati dalam menjalankan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) Rp600 ribu bagi pekerja. Kata dia, masalah program ini terletak pada data yang menjadi dasar pemberian bantuan.

Rencananya, pemerintah menggunakan basis data kepesertaan BPJS ketenagakerjaan. Faktanya kata dia, hingga saat ini masih banyak perusahaan belum mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta BPJS ketenagakerjaan.

”Sebenarnya ini kebijakan yang bagus, tapi sangat rentan terhadap ketidaktepatan sasaran dan kecemburuan sosial,” ujarnya seperti melansir sindonews.com, Minggu 9 Agustus 2020.

Misbah sebenarnya menilai kebijakan ini bagus untuk melindungi para pekerja sekaligus membantu perusahaan tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Meskipun anggaran Rp33,1 triliun yang disiapkan terbilang relatif kecil, yaitu hanya 0,01% dari total APBN 2020, program semacam ini bisa menjadi terobosan di tengah kebingungan pemerintah melakukan percepatan penyerapan anggaran, ketimbang untuk perjalanan dinas.

Hanya saja, ada kemungkinan bantuan tersebut tidak tepat sasaran. ”Jadi ada potensi banyak pekerja yang mestinya harus menerima tapi justru tidak menjadi sasaran program karena tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan (exclution error data),” katanya.

Dia menambahkan, selama ini umum diketahui adanya praktik perusahaan yang melaporkan gaji karyawan di bawah angka sebenarnya. Tujuannya jelas, untuk mengurangi nilai premi atau iuran BPJS Ketenagakerjaan yang mesti dibayarkan. Artinya, ada potensi penerima bantuan ini justru mereka yang pendapatannya sebenarnya sudah tinggi (di atas Rp5 juta).

Kerentanan lain, lanjutnya, yang memperoleh dukungan anggaran pemerintah ini adalah pekerja-pekerja perusahaan besar yang biasa mengemplang pajak, atau perusahaan yang dengan skema PEN juga mendapatkan keringanan pajak, dana talangan, dan sebagainya.

”Jadi mereka untung dobel. Lobi-lobi pengusaha besar juga bisa terjadi agar pekerjanya diprioritaskan mendapat support dana ini,” katanya.

Mengingat besarnya potensi salah sasaran terkait validitas data tersebut, Fitra menyarankan agar pemerintah bisa mencari cara untuk memperoleh data yang lebih mendekati kondisi sebenarnya.

Data BPJS Ketenagakerjaan yang menyebutkan jumlah pekerja bergaji di bawah Rp5 juta sebanyak 13,8 juta orang, perlu diverifikasi dan validasi ke perusahaan-perusahaan.

”Atau cara lain, membuka peluang bagi perusahaan untuk melaporkan data pekerja mereka yang pendapatannya di bawah Rp5 juta,” ujar Misbah.

Langkah lain yang adalah membangun komunikasi dengan serikat pekerja/serikat buruh untuk pendataan/pengaduan/pengawasan pekerja yang berhak namun belum masuk daftar penerima.

Berikutnya, harus ada posko (centra) pengaduan bagi pekerja formal/informal yang dirugikan, yang seharusnya masuk daftar tapi tidak terdaftar atau sebaliknya.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar