Sekolah Swasta Menjerit di Tengah Pandemi Covid-19

Kamis, 06/08/2020 23:36 WIB
Ilustrasi sekolah. (Ilustrasi foto: kumparan)

Ilustrasi sekolah. (Ilustrasi foto: kumparan)

Jakarta, law-justice.co - Sekolah swasta di Indonesia menjerit mengeluhkan sulitnya menutupi kebutuhan operasional sekolah hingga membayar gaji guru-gurunya karena dampak pandemi yang dirasakan semakin berat. Pasalnya, selama ini mayoritas sekolah swasta berjuang memenuhi operasionalnya secara swadaya dengan mengandalkan pemasukan dari SPP.

"Banyak guru sekolah di lembaga pendidikan swasta mulai terhambat memperoleh gaji, bahkan beberapa sekolah swasta juga terancam tutup karena kekurangan murid," ujar anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah di Kota Bandung, dikutip Sindonews.com, Kamis (6/8/2020).

Di lain sisi, Ledia menjelaskan saat ini banyak orang tua siswa yang tidak mampu membayar SPP akibat terdampak pandemi. Ia menambahkan jumlah sekolah swasta mulai dari SD hingga SMA/SMK di Indonesia sangat besar, yakni sekitar 50.000 sekolah dari total sekitar 200.000 sekolah.

Bahkan, untuk level pendidikan SMA/SMK, jumlahnya lebih banyak. Tercatat 50,23% SMA swasta dan 74,56% SMK swasta pada tahun ajaran 2018/2019.

"Persoalan yang kini semakin terasa berat dihadapi oleh lembaga pendidikan swasta adalah persoalan biaya operasional sekolah, penggajian guru, hingga kekurangan murid," katanya.

Berdasarkan masukan dari beberapa kepala sekolah, guru, serta pengurus yayasan sekolah swasta di Kota Bandung dan Kota Cimahi, lanjut Ledia, kesulitan yang mereka hadapi sebenarnya sudah terasa saat sebelum pandemi melanda, namun kondisinya kini menjadi semakin berat.

"Persoalan SPP misalnya, yang menjadi andalan bagi sekolah swasta untuk membiayai kebutuhan operasionalnya kini banyak terkoreksi karena orang tua banyak yang tidak mampu membayar. Pada akhirnya, hal ini juga berujung pada persoalan kesejahteraan guru dan pegawai di lingkup lembaga pendidikan swasta yang ikut terkoreksi," bebernya.

Adapun program relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang memungkinkan penggunaan BOS untuk gaji guru honorer sampai lebih dari 50% pada kenyataannya belum memadai.

"Dana BOS yang ada bila digunakan untuk menutup biaya operasional sekolah plus honor guru dan tenaga kependidikan lain tentu menjadi kurang memadai," imbuhnya.

Apalagi, lanjut Ledia, besaran dana BOS yang diterima sekolah mengacu pada jumlah murid. Padahal, mayoritas sekolah swasta justru tengah menghadapi persoalan kekurangan murid.

"Semua mengeluhkan hal yang sama, sedang mengalami persoalan kekurangan murid," katanya.

Ledia menambahkan, berdasarkan masukan dari pihak sekolah, kondisi kekurangan murid tak lepas dari kebijakan pembukaan sekolah yang tidak sesuai peraturan, di antaranya pembukaan kelas dengan rombongan belajar (rombel) yang tidak sesuai atau membuka sekolah baru meski belum mengantongi izin lengkap.

Kondisi tersebut juga mengakibatkan guru honorer kesulitan mendapatkan tunjangan karena tak bisa memenuhi aturan terkait jam mengajar dan rombel karena mayoritas sekolah swasta pun kini menghadapi persoalan minimnya rombel.

"Semua masukan dan keluhan ini akan saya sampaikan kepada pihak terkait. Semoga akan ada jalan keluar terbaik demi peningkatan mutu pendidikan Indonesia," tandasnya.

(Hendrik S\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar