Membongkar Aliran Dana Bansos, Siapa Saja yang Nikmati?

Selasa, 04/08/2020 11:00 WIB
Bansos Kemensos. (BBC)

Bansos Kemensos. (BBC)

Jakarta, law-justice.co - Ratusan triliun rupiah uang negara sudah digelontorkan untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19. Namun program bantuan sosial ini terkendala masalah data warga miskin yang karut-marut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencium bau tak sedap, bahwa telah terjadi manipulasi bantuan di tingkat paling bawah.

Tak tanggung-tanggung, dana triliunan rupiah itu diduga jatuh ke tangan yang salah akibat jutaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) amburadul hingga perilaku koruptif oknum pejabat di lapangan. Mulai dari proses pengadaan barang bantuan hingga ke tangan masyarakat, KPK dan BPK serta BPKP menelisik dugaan tangan jahil penilep duit rakyat.

Salah seorang warga Desa Wargajaya, Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Bogor berinisial S mengeluh dana bansos tunai yang diterimanya tak utuh. Tatapan matanya kosong, seolah khawatir menatap masa depan. Kehidupannya yang miskin membuat dia khawatir tidak bisa bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Dia mengatakan, dalam pembagian tiga tahap bantuan Covid-19 sebesar Rp. 1.800.000 pihaknya mengalami pemotongan dengan total sebesar Rp. 650.000 oleh staf desa dengan alasan uang tersebut akan diberikan kepada masyarakat yang tidak kebagian bantuan.

Namun S mengaku curiga dengan adanya kebijakan pemotongan Bansos tunai yang nilainya lumayan besar. Hal itu yang mendorong dia untuk melaporkan kejadian tersebut ke Jaga Bansos, satuan kerja yang dibentuk KPK beberapa bulan lalu khusus untuk mengawasi program bantuan pemerintah kepada masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19.

Dia memastikan di desa tempat tinggalnya mekanisme seperti mengumpulkan fotocopy KK maupun KTP sudah dia jalankan bersama warga lainnya.

"Saya itu bingung kenapa ya seperti ini, saya hubungi dan laporkan ke JAGA bansos minta penjelasannya apakah peraturannya memang seperti itu atau ada pelanggaran? ucap dia.

"Masih bersyukur ada yang dapat, sebagian warga malah gak dapat padahal waktu itu disuruh kumpulin fotocopy kk untuk dapat bansos covid, tapi kemarin saat dana cair hanya beberapa KK saja yang dapat. Saya coba tanya ke perangkat desa katanya sudah dari pusatnya begitu," tambahnya, Senin, (3/8/2020).

Cerita serupa diutarakan oleh seorang warga Desa Keraton, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Di sana, kata warga yang enggan disebutkan identitasnya itu, banyak warga miskin yang belum pernah ada bantuan sosial, baik tunai maupun non tunai. Dia sendiri mengaku tidak mengerti bagaimana teknis bantuan COVID-19 ini disalurkan kepada masyarakat terdampa

Warga lainnya yang berasal dari Desa Keraton, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon mengakui saat ini keluarga miskin di tempatnya belum pernah mendapatkan bantuan apapun baik dari pusat maupun daerah. Dia pun mengaku hingga saat ini warga tidak tahu bahkan tidak mengerti bagaimana teknis bantuan covid 19 ini di salurkan.

"Rt/Rw atau perangkat desa pun tidak pernah datang untuk mendata kami. kalaupun ada hanya orang-orang tertentu saja yang mereka datangi itu pun tidak jelas waktunya, begitu juga dalam penyaluran bantuan tunai Rp. 600.000 dari BLT dana Desa kami menduga ada penyimpangan. Kami itu takut ada kecemburuan sosial antara yang mendapatkan bantuan dan yang tidak memdapatkan bantuan karena kami sama-sama terdampak," ungkap dia.

Kepedihan lain yang dialami masyarakat soal dana bansos ini juga diutarakan oleh salah satu warga Jember. Dia mengaku menerima dana bantuan bansos berupa Bantuan Sosial Tunai (BST) namun dirinya belum pernah mendaftar sebelumya. Tak hanya itu, dana bantuan yang harusnya diterima untuk tiga bulan disunat menjadi satu bulan saja.

"Pada tanggal 28 Juli 2020, sekitar setelah maghrib, saya didatangi di rumah oleh petugas dari kantor pos yang mengantarkan BST. Saya bertanya kenapa saya bisa dapat padahal belum pernah mendaftar sebelumnya, dan seharusnya kalau memang saya menerima BST tersebut, seharusnya saya juga mendapatkannya untuk 3 bulan. Namun saya hanya menerima 1 bulan dan besarannya yang seharusnya 600rb, saya hanya menerima 500rb," ungkap dia.

Rentetan cerita masyarakat di atas merupakan contoh dari ribuan suara masyarakat yang mengeluhkan soal aliran dana bansos di Indonesia. Bahkan di Jakarta sendiri, ada ratusan penerima dana Bantuan Sosial Tunai yang kedapatan nilai uang di rekeningnya menguap atau nol. Padahal, mereka termasuk dalam daftar penerima Bantuan Sosial Tunai (BST).

Soal karut marut dana bantuan sosial ini menurut Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan disebabkan oleh persoalan mendasar soal data kependudukan. Tumpang tindihnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang sekian tahun tidak diperbaiki membuat kacau pendataan sistem penerima bansos dalam Data Penerima Kesejahteraan Sosial (DTKS). Kata Pahala, dari sini bermula kisruh pembagian dana bansos di Indonesia. Tak hanya di saat pandemi, namun di saat normal sebelumnya.

"Awalnya pengunaan NIK untuk berbagai sektor, yang terpilih pertama waktu itu kemensos. Itu dampaknya panjang, di satu tahun setengah kita bekerja sama dengan Dukcapil dan BPJS. Dari 96 juta, ada 19 juta yang belum ada NIK nya. Kita terpaksa harus mengakui sebenarnya, kalau kita kerjakan cepat, yang ada di DTKS, pemadananan yang tereliminasi kedua, ada tumpang tindih NIK nya," ungkap Pahala dalam diskusi webinar soal bansos.

"Belum mulai bansosnya kita menduga ada keributan, karena DTKSnya tidak beres. Yang menikmati itu awalnya di BPJS. Ada 30 juta tidak ada NIK nya. Sekarang sudah dibetulkan tinggal 16 juta. Jadi Bansos itu, soal data dulu, manusianya ada tidak, itu NIK bener tidak ada manusianya. Miskin atau tidak, itu harus diverifikasi, itu harus diakui sejak 2015 pemerintah daerah tidak ada yang mengupdate. Begitu sebut bansos mau diperbesar, pusat kasih bansos, provinsi kasih bansos dan dana desa bisa buat bansos. Ada orang yang didata tetapi tidak dapat apa-apa," ungkap Pahala.


Sementara itu, Koordinator tim Jaga Bansos KPK, Faiq, mengungkapkan bahwa sejak tiga bulan terakhir pihaknya menemukan ada indikasi korupsi yang terjadi pada program pembagian dana Bansos. Berdasarkan rekapitulasi data per Juli 2020, total ada 331 keluhan dari proses yang telah selesai diverifikasi.

"Jadi total yang masuk ke Jaga Bansos KPK ada 824 keluhan dari 227 pemerintah daerah. Sekarang yang sedang ditangani atau ditindaklanjuti Inspektorat Jendral sekitar 102 keluhan," ujar Faiq kepada Law-Justice, Senin, (3/8/2020).

Tim Jaga Bansos KPK mengkategorikan keluhan berdasarkan masalah yang terjadi. Sebagian besar masyarakat mengeluhkan karena tidak kunjung menerima bantuan, padahal sudah mendaftarkan diri jauh-jauh hari.

"Kira-kira keluhan terkait itu ada 300 lebih," jelas Faiq.

Terkait keluhan-keluhan tersebut, kata Faiq, langsung diteruskan kepada Inspektorat di tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Pada tahap ini, KPK masih mengingatkan pemerintah daerah agar proses penyaluran Bansos benar-benar tepat sasaran dan bebas dari praktik-praktik koruptif.

"Misalnya ada keluhan warga belum terima Bansos, ada dugaan seperti ini nih, kami laporkan ke Inspektorat daerah tersebut. Beberapa masyarakat kembali melaporkan bahwa mereka sudah mendapatkan Bansos tersebut," jelas Faiq.

Saldo Bantuan Raib
Tidak usah jauh-jauh di daerah terpencil, sengkarut proses penyaluran Bansos bahkan terjadi di wilayah DKI Jakarta. Koalisi Pemantau Bansos, gabungan beberapa lembaga masyarakat sipil, menemukan fakta bahwa ada ratusan warga yang tidak bisa mengakses bantuan sosial dari pemerintah.

Mereka adalah masyarakat miskin yang terdaftar dalam Program Keluarga Harapan (PKH) dimana seharusnya menerima bantuan non tunai untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan, pendidikan, serta meningkatkan kesejahteraan.

Sayangnya, sebanyak 461 warga Bantuan Pangan non Tunai (BPNT) ini mengaku saldo mereka tidak terisi alias Rp 0. Ironisnya, kondisi tersebut sudah terjadi sejak Maret lalu, justru saat pandemi COVID-19 memberikan dampak langsung kepada masyarakat.

Sekjen Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Muhammad mengatakan, kondisi tu terjadi di 16 kelurahan DKI Jakarta. Selain adanya saldo BPNT Rp 0, banyak aduan dari masyarakat yang tidak mendapat bantuan sembako, atau bantuan sembako yang tidak sesuai dengan program.

“Pembagian Bansos tidak merata. Pada pembagian tahap pertama, terdapat 30,76 persen warga miskin yang tidak mendapatkan Bansos. Pada pembagian tahap kedua, masih ada 9,46 persen warga miskin yang juga tidak menerima Bansos,” kata Dika saat dihubungi Law-Justice.


Isi saldo nol yang terjadi di beberapa kelurahan di Jakarta (Foto:Repro/SPRI/Koalisi)

Adanya warga miskin yang tidak menerima bantuan bermuara pada masalah data. Menurut kajian SPRI, Dinas Sosial bermasalah dalam mengupdate data masyarakat miskin baru yang terdampak Pandemi COVID-19. Padahal, krisis yang telah terjadi lima bulan ini telah nyata-nyata menciptakan masyarakat miskin baru karena pekerjaan mereka terdampak secara langsung.

Sebagai contoh, dari dari hasil pendataan 3.958 Kepala Keluarga miskin di DKI Jakarta, hanya 1.163 keluarga yang mengaku anggota keluarganya tidak kehilangan pekerjaan. Sisanya, paling tidak satu anggota keluarga mereka telah kehilangan pekerjaan akibat krisis ekonomi di masa pandemi.

“Bahkan, bila sebelumnya hanya 364 KK miskin yang tidak ada pekerja di rumahnya, angka ini ditambah dengan sejumlah 618KK yang benar-benar kehilangan penghasilan karena seluruh anggota keluarga mereka kehilangan pekerjaan,” ujar Dika.

Dampaknya, jumlah keluarga Sangat Miskin di DKI Jakarta bertambah dari 1.437 KK, menjadi 2.491 KK.

“Tentu saja, orang miskin baru itu belum terdata oleh Pusdatin Jamsos,” ucap Dika.

Peneliti Seknas FITRA Gurnadi Ridwan menambahkan, Pemerintah Daerah dan Pemerintah pusat harus benar-benar mengevaluasi data warga penerima bantuan sosial karena terjadi peningkatan yang signifikan dari jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Jika tidak, Bansos dan PKH yang salurkan berpotensi tidak maksimal dan tidak tepat sasaran.

“Pemberian Bansos dalam bentuk barang pokok juga harus jadi perhatian. Pemerintah harusnya mengumumkan apa-apa saja barang yang akan diberikan. Ini untuk meminimalisir terjadinya pengurangan barang atau penurunan spek. Praktik mark-down, ini juga merugikan masyarakat,” kata Gurnadi.

Terkait bantuan sosial berupa barang yang diberikan selama pandemi, juga banyak dikeluhkan warga DKI Jakarta. Pada Bansos tahap II misalnya, 19,2 persen responden SPRI mengaku bahwa isi Bansos tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

Tim Jaga Bansos KPK juga mencium aroma manipulatif dari proses penyaluran Bansos di DKI Jakarta. Ketika disinggung soal dugaan siapa-siapa saja oknum yang diduga terlibat, Koordinator Jaga Bansos KPK, Faiq, mengatakan bahwa hal tersebut masih dalam tahap penyelidikan.

"Yang pasti, memang ada karut marut Data Terpadu Kesejahteraan Sosial. Itu sudah masuk ke laporan kami,” kata Faiq.

Berdasarkan laporan, Faiq menambahkan, pihaknya menemukan dugaan modus bancakan dana Bansos ini karena ada ketidaksinkronan aturan Permendes PDTT Nomor 6 Tahun 2020 dengan Surat Edaran Nomor 11 Tahun 2020 tentang Desa Tanggap COVID-19. Polemik muncul tentang jumlah, berapa persen sebetulnya dana desa yang seharusnya disalurkan untuk menanggulangi dampak ekonomi warga akibat pandemi COVID-19.

 

"Ada Kepala Desa yang langsung menetapkan nilai dari bantuan langsung tersebut tanpa melalui mekanisme yaitu rekomendasi bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Ada pula yang sudah ditetapkan nilainya, misalnya Rp 600.000 per KK, tapi pada kenyataannya saat dibagikan tidak sesuai dengan nilai tersebut. Bisa setengahnya, bahkan sampai ada yang cuman Rp 50.000," ujar Faiq.

Sengkarut Bansos Siapa Untung?
Dari hasil investigatif dan pemetaan koalisi masyarakat sipil seperti IBP, Perkumpulan Inisiatif, FITRA & Kota Kita dan SPRI. Mereka melakukan Audit Sosial Kelayakan PKH, Monitoring Bansos PSBB di Jakarta dan membuka Posko Informasi & Pengaduan Masyarakat. Kegiatan yang dilakukan di 35 Kelurahan di Jakarta itu mencatat adanya pengaduan terkait KPM BPNT Saldo NOL. KPM PKH tidak mendapatkan Kartu BPNT (SEMBAKO). Bahkan ada Bansos PSBB yang diterima tidak sesuai isinya.

Sekjen Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Muhammad menjelaskan, temuan hasil audit sosial itu membuktikan masih adanya persoalan serius soal pembagian bansos baik tunai maupun non tunai. Kata dia, persoalan bansos ini bersumber dari pengunaan data lama sehingga data jumlah orang miskin baru yang perlu mendapatkan bantuan sosial tidak terdata dengan jelas.

"April – Juni 2020, Kami melakukan monitoring Pendistribusian bansos PSBB. Monitoring di lakukan di 35 Kelurahan di Jakarta. Penyaluran bantuan sosial yang masih mengandalkan data lama, sehingga ‘orang miskin baru’ tidak mendapatkan bantuan sosial karena belum terdata. Bansos yang tidak merata, pada pembagian tahap pertama, terdapat 30,76% warga miskin yang tidak mendapatkan bansos. Pada pembagian tahap kedua, terdapat 9,46% warga miskin yang tidak mendapatkan bansos," ungkap Dika kepada Law-Justice.

Dika juga membeberkan adanya temuan bansos sembako yang dibagikan tidak sesuai dengan isi yang dijanjikan. Lantas dia juga bilang ada persoalan lain soal proses penyaluran bantuan yang masih berada pada titik-titik lama yang dapat mengundang kerumunan, sehingga meningkatkan resiko penularan.

Data soal penerima bansos (Foto:repro/Koalisi/SPRI)

"Isi bantuan sosial yang hanya berisi sembako tanpa ada pemberian bahan dan peralatan untuk perlindungan masyarakat dari virus corona seperti multivitamin dan desinfektan. Isi sembako yang dibagikan memiliki kadar gizi rendah karena bantuan hanya berupa beras, minyak goreng, sarden/kornet, dan mie instan," ungkap dia.

Soal saldo nol di rekening penerima bantuan tunai ini, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan akan menindaklanjuti dengan melakukan verifikasi laporan dan meneruskannya kepada lembaga terkait.

"Pertama soal saldo nol, ini angkanya sudah semua. Kita binggung juga kok ada saldo nol, paling tidak ada nomor kartu, kita segera telusuri dan kita akan sampaikan teman-teman koalisi tindak lanjutnya," kata dia.

Pahala juga menjelaskan, KPK akan bergerak cepat soal penyaluran bansos ini. Kata dia, soal saldo nol ini akan ditelusuri ke Kementerian Sosial. Dia juga mengaku akan mengecek soal adanya temuan BPK terkait mengendapnya rekening bantuan sosial di Himbara. Kata dia, ada dana Rp 300 miliar yang belum tersalurkan dan masih mengendap di Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA).

"Ada temuan BPK soal bansos ini rekeningnya di Himbara, uangnya diam di situ. Kalau beda nama sedikit itu tidak dikasih. Itu ada dana Rp 300 miliar diam di Himbara. Akhirnya uangnya ditarik lagi, karena rekomendasi BPK, jangan-jangan ini menyebabkan anggaran nol," kata dia.

Dia juga mendesak agar pemerintah lebih memilih pembagian bantuan sosial berupa tunai melalui mekanisme transfer perbankan. Karena kata Pahala, proses penyaluran bantuan melalui perbankan mudah dilacak apabila terjadi penyelewengan anggaran.

"Bansos sembako itu lebih berisiko korupsinya. Masyarakat lebih suka mana, sembako atau uang. Kalau uang harus lewat bank, banyak cara pengecekan," ungkap dia.

Triliunan Dana Bansos untuk Siapa?
Babak baru soal dampak pandemi Covid-19 ini berujung pada persoalan anggaran. Tak tanggung-tanggung dalam 5 bulan terakhir Indonesia menyiapkan anggaran hampir 1000 triliun untuk penanganan dampak Covid-19. Mulai dari kebutuhan anggaran kesehatan, menstabilkan ekonomi dan bantuan sosial. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu, Kementerian Keuangan bakal melakukan penambahan anggaran bantuan sosial.

Program bansos ini akan menggunakan anggaran cadangan senilai Rp25 triliun dari anggaran perlindungan sosial senilai Rp203,91 triliun dalam belanja penanganan COVID-19.

“Ada pencadangan Rp25 triliun akan digunakan program baru dan harapannya bisa di launch sebelum (pembacaan) nota keuangan [oleh Presiden Joko Widodo] di bulan Agustus 2020,” ucap Febrio kepada wartawan, Selasa (28/7/2020).

Febrio juga menjelaskan saat ini realisasi anggaran perlindungan sosial berada di kisaran 38,31 persen dari total Rp203,91 triliun. Ia mengaku pos anggaran ini merupakan salah satu yang realisasinya paling cepat. Realisasi ini masih lebih tinggi lagi jika pemerintah memisahkan anggaran Rp25 triliun sebagai cadangan.

Soal besarnya anggaran bantuan sosial ini membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) ambil bagian untuk melakukan audit mulai dari tahap penganggaran hingga proses pembagian bantuan sosial di lapangan.

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Achsanul Qosasi mengatakan bahwa pemeriksaan anggaran penanganan Covid-19, yang jumlahnya mencapai Rp905 triliun, akan fokus pada program-program bantuan sosial (bansos), baik yang lama maupun yang baru diterbitkan di tengah pandemi.

"Ada tujuh program bansos yang menjadi program pemerintah dengan anggaran yang cukup dahsyat, sekarang sudah Rp905 triliun. Jadi program-program itu sudah disampaikan oleh Menkeu, dan juga oleh gugus tugas, lewat sejumlah kementerian dan lembaga," kata Achsanul kepada wartawan.

"Ada tujuh program [bansos], tiga di antaranya adalah program lama atau existing, empat adalah program tambahan, ada kartu pra-kerja, ada Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), ada subsidi listrik, dan bantuan sosial tunai non-Jabodetabek. Itu yang membutuhkan hampir 900 triliun, yang juga termasuk pengadaan APD, pengadaan alat-alat tes, pengadaan ventilator, itu kan ditanya nanti oleh rakyat, sehingga BPK harus bisa menjawab hal ini." jelasnya.

Untuk pembagian tahap kedua, baik tunai maupun non tunai, BPKP dan BPK ikut mengawasi soal audit data penerima bantuan sosial. Di Jawa Barat sendiri, Ridwan Kamil melakukan filterisasi hingga 23 kali agar bantuan sosial tepat sasaran.

Dari besarnya anggaran koalisi masyarakat sipil menemukan adanya permasalahan mendasar seperti bansos yang tidak tepat sasaran dan jumlah yang didata dengan penerima bansos tidak sesuai.

Dari hasil monitoring dan evaluasi, terdapat perbedaan jumlah penerima jika dibandingkan dengan tahap I dan tahap II. Jika ditahap pertama, masih terdapat 30,76% orang responden di Jakarta yang tidak mendapatkan bantuan sosial. Namun pada tahap kedua, hanya terdapat 9,46% responden yang tidak menerima bantuan sosial.

Begitu juga soal sebaran penerima bansos baik dari Presiden, Kementerian Sosial hingga Bansos PSBB. Ada perbedaan signifikan dari tahap pertama dengan tahap kedua untuk pembagian Bansos Kemensos dan program bansos nasional lainnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menyebut sebanyak 78 pemerintah daerah (pemda) yang terdiri dari 7 pemerintah provinsi dan 71 pemerintah kabupaten/kota memiliki masalah dalam menyalurkan bantuan sosial (bansos). Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan berujar, kondisi pembagian bansos di luar DKI Jakarta lebih rawan penyimpangan.

Kata Pahala, ada banyak orang yang mendapatkan bantuan sosial lebih dari satu kali. Karena di daerah pengunaan anggaran berasal untuk bansos berasal dari pemerintah pusat, bantuan provinsi, bantuan walikota dan bupati hingga bantuan sosial yang bersumber dari pemerintah desa.

"Komentar saya yang tidak dapat bansos saya kira itu tumpang tindih dan banyak program. Kalau kita keluar dari DKI itu lebih meriah lagi, jadi kalau terima lebih dari satu, itu kemungkinan terjadi. Tetapi kita bilang yang harus kita hindari, orang miskin tetapi tidak dapat itu," katanya.

"Miskin atau tidak, itu harus diverifikasi, itu harus diakui sejak 2015 pemerintah daerah tidak ada yang mengupdate. Begitu sebut bansos mau diperbesar, pusat kasih bansos, provinsi kasih bansos dan dana desa bisa buat bansos. Kalau ada yang di Jaga Bansos, ada kasus orang didata, tetapi tidak dapat apa-apa," tambah dia.

Cari Untung Isi Bansos Sembako
Soal adanya masalah bantuan sosial berupa sembako yang tidak sesuai standar juga menjadi sorotan bagi KPK dan koalisi masyarakat sipil pengawasa bantuan sosial. Ada beberapa persoalan seperti isi bantuan sosial yang tidak memenuhi spesifikasi dan tidak memiliki harga yang murah serta tidak memiliki nilai gizi seimbang.

Misalnya adalah soal kualitas beras yang diberikan ke masyarakat, dari temuan itu masih ada kondisi beras yang kualitasnya tidak sama atau tidak sesuai dengan standar.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, persoalan ini menjadi pembahasan penting antara KPK, BPK dan BPKP serta kementerian dan lembaga yang melakukan pengadaan hingga distribusi bantuan sosial ini.

"Isi bansos, kita baru dapat laporan dari DKI Jakarta itu dipotong 25 ribu untuk kas dan 15 ribu buat pengiriman. KPK lagi lihat ke lapangan, supaya kita tahu pasti 250 ribu itu dapat apa saja. Dugaan kita memang kalau sembako ini masalah pada nilai, kalau beras, ini terkait kualitas seperti beras. Mie instantnya merk apa, dulu masukin anggarannya misalnya merk A namun kenyataan di lapangan berbeda merk B, kita masih lihat di lapangan," ungkap Pahala.

"Kemarin ada rakor, BPKP, Kemensos, diaudit sembako yang dibagikan ke masyarakat. Temuannya adalah kuantitas oke, kalau mie instant beda merk beda harga, beras juga begitu, sarden juga begitu," ungkap Pahala.

"Dulu di Kemensos pengajuannya apa. Itu sedang dalam progres di KPK dan BPKP. Kalau isi bantuan saya bisa bagi cerita dikit, awalnya sembako 10 jenis. Sulit cari supliernya, pengangukutan susah, cari tas susah, dari 6 kali pembagian itu kemudian itu diputuskan, dua kali itu hanya beras. Sembako beras, sembako beras. Sembakonya sekarang diringkas, jadi 6 jenis," tambah Pahala.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bona Ricki Siahaan, Ricardo Ronald, Yudi Rachman

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar