Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Republik Mimpi Dalam Penegakan Hukum Kita

Senin, 03/08/2020 17:58 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Jakarta, law-justice.co - Buronan kasus korupsi Djoko Tjandra memang sudah berhasil ditangkap di Malaysia, tapi aroma kongkalingkong yang mewarnai perjalanan kasusnya membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Kepiawaiannya dalam “menjinakkan” aparat hukum di Indonesia sungguh luar biasa. 

Belum usai pembicaraan soal kejanggalan kejanggalan yang mewarnai perjalanan kasus Djoko Tjandra, dunia penegakan hukum Indonesia kembali digegerkan dengan mencuatnya kasus DL Sitorus yang sampai sekarang belum juga kelar urusannya. Padahal kasusnya terbilang cukup lama tapi terkatung-katung eksekusinya. Dalam hal ini seolah-olah negara kalah sakti dengan seorang pengusaha.

Dari dua kasus hukum Djoko Tjandra dan DL Sitorus kita bisa mendapatkan gambaran tentang wajah penegakan hukum di Indonesia yang kental nuansa mafianya, dimana keuangan adalah yang maha kuasa sehingga mereka yang mempunyai banyak dana bisa mengatur-atur aparat sesuai dengan kehendaknya.

Kilas Balik Kasus Djoko Tjandra dan DL Sitorus

Djoko Tjandra merupakan Direktur PT Era Giat Prima (EGP) dimana pada tahun 1999 ia terjerat kasus korupsi atas pengalihan tagihan piutang Bank Bali dan Bank Umum Nasional sebesar Rp 789 miliar. Kasusnya kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan namun Pengadilan kemudian membebaskannya.

Tidak mau menerima keputusan itu, akhirnya setelah melalui beberapa upaya hukum akhirnya Kejaksaan Agung melakukan upaya peninjauan kembali (PK).  Putusan PK dari MA menyatakan bahwa Joko divonis dua tahun penjara dan membayar denda Rp15 juta. Namun, sehari sebelum putusan itu diketok palu pada 2009, Djoko sudah kabur ke mancanegara. 

Inilah skandal pertama yang diarsiteki Djoko Tjandra. Mustahil sebuah kebetulan dia melarikan diri sebelum dieksekusi oleh pihak aparat yang berwenang menanganinya. Pasti, ada pihak yang membocorkan putusan MA itu, tapi hingga saat ini tak diketahui siapa mereka. 

Akhir akhir ini Djoko Tjandra kembali memamerkan kesaktiannya menjinakkan aparat penegak hukum Indonesia. Sama seperti ketika bebas melenggang ke Papua Nugini untuk kemudian menjadi warga negara di sana. Dia leluasa keluar masuk Indonesia tanpa halangan suatu apa. Padahal, dia berstatus terpidana dan buron pula. 

Sebagai warga negara Papua Nugini, Djoko Tjandra lancar lancar saja mengurus KTP-nya di Jakarta Selatan dengan diantar pengacaranya. Ia dikabarkan dilayani pada pagi hari sebelum jam kantor kelurahan resmi dibuka. Pada hari yang sama ia mendaftarkan PK-nya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan anehnya permintaan PK itu diterima. Pada hal pihak Pengadilan seharusnya tahu bahwa dia adalah buronan negara.

Kontroversi terus belanjut ketika Djoko Tjandra dengan lancar jaya mengurus paspor Indonesia berbekal KTP yang telah diperolehnya. Pihak imigrasi berkilah bahwa paspor untuk Djoko Tjandra diterbitkan karena petugasnya masih muda muda sehingga tidak mengenali siapa Djoko Tjandra, sebuah alasan yang bisa membuat orang ketawa.  Djoko Tjandra bisa mengurus paspor karena red notice atas namanya sudah dihapus sehingga ia bisa masuk ke Indonesia karena hilangnya status buronnya.

Selama di Indonesia ia bisa jalan jalan ke Kalbar diantara seorang jenderal karena diakui sebagai konsultannya. Untuk kelancaran perjalannya selama mengurus urusannya, ia juga mendapatkan surat bebas virus corona yang dibuat ole seorang dokter di markas polisi kita. Sungguh suatu kejanggalan yang luar biasa tentunya.

Dikabarkan setelah semua urusannya selesai di Indonesia, Djoko Tjandra kembali ke apartemennya di Malaysia melalui Bandar udara halim perdana kusuma sambil berselfi ria mengacungkan tanda “victory”, simbol kemenangannya. Mungkin dalam hati kecilnya Djoko Tjandra mengguman : “ betapa saktinya saya bisa menjinakkan mereka semua”. Bahwa ternyata aparat sebuah negara bisa dijiakkan oleh seorang buron Djoko Tjandra.

Tak kalah hebat dengan apa yang  dimainkan Djoko Tjandra, seorang terpidana penyerobot tanah negara yang bernama DL Sitorus ikut memamerkan “kesaktiannya”. Kasusnya sendiri bermula ketika perusahaan milik DL Sitorus, PT Torganda mengonversi 72.000 hektare (dari 172.000 hektare) hutan di Register 40 menjadi perkebunan sawit, di Kecamatan Simangambat, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Perbuatan DL Sitorus  terjadi sejak April 1998 hingga 2005.Berdasarkan hasil pemeriksaan kehutanana, IPB, dan BPKP kerugian negara sebesar Rp 1,6 triliun. Akibat perbuatannya, tersangka diancam pasal 1 ayat 1 huruf a UU 3/1971 serta pasal 2 ayat 1 UU 31/1999. Selain itu diancam pasal 4 dan pasal 5 PP 28/1985 jo UU 5/1967 tentang Kehutanan, dan pasal 5 UU 41/1999.

Ia didakwa telah menguasai, merubah status, fungsi dan peruntukan kawasan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan seluas 178 ribu hektar untuk pekebunan kelapa sawit tanpa izin Menteri Kehutanan Indonesia. Pada pertengahan 2006, Mahkamah Agung (MA) RI melalui putusannya nomor 2642/K/PID/2006 tanggal 16 Juni 2006, memutus DL.Sitorus bersalah, dengan hukuman 8 tahun penjara. MA juga memerintahkan Jaksa eksekutor bahwa barang bukti berupa perkebunan kelapa sawit seluas 47.000 hektar di Padang Lawas, Summatera Utara, beserta seluruh bangunan yang ada di atasnya dirampas untuk negara.

Selanjutnya dalam putusan kasasi pada 12 Februari 2007, Mahkamah Agung telah memerintahkan lahan perkebunan kelapa sawit seluas 23 ribu hektare di kawasan Padang Lawas, Sumatera Utara, tersebut, yang dikuasai KPKS Bukit Harapan dan PT Torganda, serta lahan seluas 24 ribu hektare di kawasan yang sama, yang dikuasai KPKS Parsub dan PT Torus Ganda, disita negara, dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun, sampai saat ini, lahan tersebut belum juga dieksekusi alias belum diserahkan secara fisik kepada negara.

Permasalahan belum dieksekusinya lahan illegal ini pernah ramai diberitakan pada tahun 2015 yang lalu oleh media massa. Saat itu Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono mengatakan, eksekusi terhambat karena larangan dari masyarakat yang memanfaatkan lahan tersebut sebagai mata pencarian mereka. "Kemarin ada hambatan eksekusi karena ketidakrelaan dari masyarakat yang bekerja di perkebunan itu. Ada persepsi dari masyarakat, jika dieksekusi mereka tidak akan mendapat pekerjaan," ujar Widyo, di Gedung KPK, Jakarta, sebagaimana dikutip kompas.com, Selasa (28/4/2015).

Namun nyatanya hingga sekarang eksekusi itu tidak juga dilaksanakan sebagaimana mestinya. Pada hal kerugian negara sudah sangat luar biasa besarnya. Menurut Mantan Menteri Kehutanan MS. Kaban, hasil perkebunan ilegal tersebut sangat luar biasa, bayangkan ada berapa triliun kerugian negara setiap tahunnya akibat penguasaan lahan tersebut. “Dalam  47.000 hektar lahan perkebunan kelapa sawit bisa menghasilkan 47 ribu ton kelapa sawit, lalu dikali Rp1.600/Kg  maka akan diperoleh sekitar  75 Milyar 200 juta sebagai penghasilan sebulan”, katanya.

Sedangkan lahan tersebut sudah lebih 13 tahun dikuasai oleh PT.Torganda milik (alm) DL.Sitorus . Publik dapat menilai hitungannya sudah Rp.902.400.000.000/tahunnya uang yang seharusnya masuk ke kas Negara setiap tahun, jika sudah 13 tahun menguasai berarti Rp. 11.731.200.000.000,- dikuasai oleh pengusaha PT.Torganda.

Terkait dengan persoalan eksekusi ini, KPK sendiri  pada tahun 2018 telah menyetujui Menteri Lingkugan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya untuk menyita tanah Register 40 atau tanah Perhutani dan atau tanah rakyat di Tapanuli Selatan tersebut seluas 47 ribu hektar. Bahkan pada tanggal 19 Pebruari 2018 lalu Menteri LHK Siti Nurbaya pernah merilis keterangan resminya kepada salah satu media menyatakan “pihak KLHK sedang menyiapkan sejumlah langkah untuk mengambil alih aset negara yang sampai sekarang masih dikuasai oleh keluarga DL Sitorus” terang Siti Nurbaya. 

Sungguh aneh keputusan Pengadilan yang sudah incraht selama bertahun tahun namun belum bisa di eksekusi juga sehingga terkesan negara kalah dengan swasta. Mengiringi kasus ini beberapa pertanyaan muncul seperti :Mengapa Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya  berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), agar lembaga itu membantu mengeksekusinya? Apa yang ditakutkan oleh Menteri Siti Nurbaya ?. Dimana posisi Kejaksaan Agung yang sejak awal disebut sebut sebagai pihak yang akan mengeksekusinya ?.

Terkatung katungnya eksekusi kasus ini memunculkan kabar tidak sedap dugaan adanya suap terhadap aparat yang berwenang menanganinya. Direktur Eksecutive Lembaga anti rasuah GACD, (Goverment Asociation Coruption & Discrimination) Andar Situmorang menduga adanya suap dalam kasus ini. “Berapa KPK dan Siti Nurbaya disuap oleh Sihar Sitorus (Dirut PT. Torus Ganda)”. Ungkap Andar Situmorang seperti dikutip media Bratapos.com, 3/08/2020.

Ditengah tengah tak kunjung di eksekusinya kasus DL Sitorus, muncul kabar tidak sedap lainnya yaitu terbitnya 7000 Sertipikat Hak Milik palsu atau fiktif yang dikeluarkan BPN Tapanuli Selatan, yang dikuasai oleh PT. Torus Ganda. 7000  Sertifikat tersebut, menurur Andar digadaikan oleh DL Sitorus ke Bank. Anehnya Menteri ATR/BPN diam saja terkait terbitnya 7000 Sertipikat Hak Milik palsu atau fiktif yang dikeluarkan BPN Tapanuli Selatan dan dianggapnya sebagai peristiwa biasa ?

Lambatnya eksekusinya kasus DL Sitorus menyusul terjadinya pelanggaran pelanggaran hukum lainnnya seperti pembuatan sertifikat palsu, sungguh sangat menyesakkan dada.  Lambatnya eksekusinya kasus DL Sitorus bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.Jika kasus  ini dibiarkan terus menerus berlarut, maka akan semakin merajalela orang atau oknum untuk merambah hutan lindung Republik Indonesia untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Ada Mafianya ?

Kasus Djoko Tjandra dan DL Sitorus bisa dijadikan gambaran wajah penegakan hukum  di Indonesia yang diduga  dikendalikan oleh sekelompok mafia. Indikatornya cukup jelas dan sangat sederhana. Dalam kasus Djoko Tjandra misalnya, bagaimana mungkin seorang buronan yang berwarga negara Papua Nugini bisa dengan mudahnya mengurus KTP di Indonesia, bisa membuat paspor, surat jalan, surat bebas corona bahkan di angkat sebagai konsultan pula.

Lembaga lembaga negara seolah olah kompak melayani sang buronan agar lancar urusannya di Indonesia. Seolah ola ia adalah warga istimewa yang harus dilayani dengan sebaiknya baiknya. Lembaga lembaga negara seperti Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian, Kejaksaan Agung, Pengadilan, Departemen Luar Negeri, Imigrasi dan yang lain lainnya tunduk dan patuh kepada titah sang buronan negara. 

Dalam kasus DL Sitorus, bagaimana mungkin keputusan Pengadilan yang sudah incraht belasan tahun tidak di eksekusi pada hal masalahnya sangat sederhana. Pihak pihak terkait seperti Kejaksaan Agung, Kementerian LH dan Kehutanan serta KPK tidak mampu melaksanakan eksekusi yang mengindikasikan bahwa negara kalah dengan seorang DL Sitorus seorang swasta.

Jika lembaga lembaga negara kompak “melindungi” seorang buronan negara atau penyerobot tanah negara maka patut diduga memang sudah terbentuk jaringan mafia yang dikendalikan oleh seorang bos mafia.  Dalam hal ini memang hanya ada dua kemungkinannya. Yang pertama aparat terkait di lembaga pemerintah itu tunduk pada seorang narapidana karena sang narapidana telah berjasa memberikan sejumlah imbalan (bisa berupa uang, barang atau jabatan) kepadanya. 

Yang kedua, bisa jadi aparat atau pihak berwenang yang terkait tidak melaksanakan kewajibannya alias mengistimewakan sang nara pidana karena narapidana itu telah berjasa pada seorang penguasa yang menjadi bos aparat negara.  Kemungkinan yang disebut kedua ini sangat mungkin terjadi manakala kelembagaan terkait “kompak” melayani sang narapida.

Segala kemungkinan memang bisa terjadi dan masyarakat sejauh ini hanya bisa menduga duga saja karena memang seperti kentut, ada baunya tapi tidak jelas wujudnya. Bisa dirasakan namun sulit untuk ditunjukkan bukti dan fakta fakta empirisnya.Masyarakat juga tidak bisa menuduh sembarangan karena nasibnya bisa berakhir di penjara.  Salah sebut atau salah ucap bisa saja dikenakan pasal pencemaran nama baik atau delik makar , melawan penguasa.

Yang jelas para mafia hukum inilah yang telah memporak-porandakan sistem hukum yang berlaku di tanah air kita. Mereka dengan seenaknya mempermainkan hukum seolah olah negara adalah miliknya. Meskipun sinyalemen adanya mafia ini sudah disambut kritik dan protes yang tajam dari masyarakat Indonesia, namun tidak mudah memang untuk menghentikan mereka.

Keuangan Yang Maha Kuasa

Selain adanya dugaan bos mafia yang mengendalikan penegakan hukum di Indonesia, diduga faktor yang membuat carut marut penegakan hukum adalah adanya sinyalemen :” keuangan yang maha kuasa.

Soal sinyalemen adanya keuangan yang maha kuasa ini sebenarnya sudah lama tercium di dunia penegakan hukum di Indonesia. Dahulu pada zaman Orba, sekitar tahun 80-an Mantan Gubernur BI, yang pertama, Sjafruddin Prawiranegara, pernah ditahan Laksus, gara-gara khutbah Idul Fitri, di Jakarta, membuat plesetan, di mana Pancasila, sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, diplesetkan menjadi ‘Keuangan Yang Maha Kuasa’. 

Saat itu alrmarhum Sjafruddin Prawiranegara, melontarkan kritik tersebut karena  melihat gejala adanya gejala korupsi yang makin meralela. Perbuatan korupsi, sogok, suap, dikalangan para pejabat, itu disebabkan mereka sudah menjadikan ‘uang’ sebagai ‘Tuhan’ dan sesembahannya. Sila pertama Pancasila, ‘Ketuhanan yang Maha Esa’, yang mestinya menjadikan kehidupan bangsa ini lebih agamis, dan menjauhkan diri dari perbuatan tercela, nyatanya malah diamalkan menjadi sebaliknya.

Negara Indonesia yang menganut falsafah dan ideologi Pancasila, faktanya menjadi negara bobrok, negara yang dikuasai oleh para bandit, mafia, koruptor, penipu yang diberikan kewenangan mengurus negara, . Aparat penegak hukum yang mestinya menjadi penegak hukum, dan memberikan rasa keadilan telah bertekuk lutut dihadapan para bandit, mafia, koruptor, penipu dan narapidana. 

Alhasil Negara Republik Indonesia yang gemah ripah loh jinawe telah menjadi negara yang ‘rakyatnya sengsara’. Karena semuanya telah kalah melawan para perusak negara, sehingga Indonesia tak mampu bangkit sebagai negara besar yang di segani dunia. Karena semuanya telah menjadikan ‘uang’ sebagai ‘Tuhan’ mereka, sebagai sesembahan mereka, dan hidup mereka hanyalah diorientasikan untuk mengejar ‘uang’ sebagai tujuan utamanya. 

Ada pepatah China menyatakan : “Tak ada tembok yang tidak dapat ditembus dengan peluru emas’. Artinya , tidak ada pejabat negara yang tidak bisa ditembus dengan ‘uang’ alias ‘duit’ yang sakti mandraguna. Hampir setiap pejabat di Indonesia doyan duit, dan cenderungt rakus terhadap harta. Inilah yang menjadikan mereka itu mangsa yang empuk bagi para pengusaha yang menjadikan uang sebagai senjata penakluknya.

Tak heran budaya sogok alias  suap sudah biasa dijalankan para pengusaha  yang ingin mendapatkan proyek, izin, dan perlindungan bisnis atau usahanya.  Bagi para pejabat sekarang menerima sogok atau suap, seolah olah sudah menjadi ‘aqidah’ para pejabat negara. Sogok suap tidak lagi monopoli para pengusaha keturunan China saja , tetapi hampir setiap pengusaha mempraktekkanya.

Adalah suatu kenyataan pula bahwa para pejabat Indonesia pada umumnya mudah ditaklukkan jika uang yang dijadikan alat penjeratnya. Praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah mendarah daging, sehingga dianggap sebagai perbuatan yang wajar wajar saja.  Sampai ada adagium yang menyatakan bahwa kalau dulu korupsinya dilakukan dibelakang meja sekarang malah mejanya yang dikorupsi sehingga tidak ada yang tersisa.

Para pelakunya tidak akan takut untuk dimasukkan ke penjara karena penjara bisa dikendalikan dengan kekuatan uangnya.Mereka dapat pulang atau keluar penjara sesuka hatinya. Oleh karena itu hukuma berat yang dijatuhkan oleh  pengadilan tak membuat para penjahat itu menjadi jera. Karena putusan yang akan mereka terima bisa diatur sedemikian rupa bahkan kalau terpaksa harus dipenjara nanti bisa  dipotong masa tahanannya. Penjara bagi koruptor yang banyak duwitnya hanya sekadar formalitas belaka. Sebab mereka bisa meninggalkan penjara, kapan saja asal cocok negosiasinya. 

Semuanya bisa  berlangsung lancar jaya , karena faktor kekuatan uang yang mengendalikannya. Etika, moral, dan agama, hanyalah ada di masjid-masjid, gereja atau Vihara. Diluar tempat tempat ibadah itu, Tuhan dianggap tidak ada. Semua lapisan dan golongan menjadi penyembah ‘uang’ sehingga ‘Uang’ menjadi segala galanya. Maka apa yang dikatakan oleh almarhum Sjafruddin Prawiranegara yang mengatakan ‘Keuangan Yang Maha Kuasa”, kondisi sekarang inilah buktinya. Akibatnya negara menjadi carut-marut karena diduga para penjahat yang menjadi pengendalinya.

Semuanya itu menjadi bukti bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara mulai tergeser pengamalannya. Sila-sila yang ada di dalam Pancasila terancam eksistensinya karena tidak konsisten pelaksanannya terutama sila Pertama yang diamalkan menjadi Keuangan Yang Kuasa.

Hal ini pernah dikeluhkan oleh mantan Ketua PBNU Hasyim Muzadi pada tahun 2012 yang lalu di Jakarta. "Kalau memang Pancasila ini sudah selaras dengan sistem yang kita anut, kenapa kini Ketuhanan Yang Maha Esa bergeser menjadi Keuangan Yang Maha Kuasa?" katanya.

Apa Selanjutnya ?

Ditengah tengah anjloknya  kepercayaan publik atas upaya penegakan hukum khususnya kasus korupsi di Indonesia, kita cukup bergembira dengan berita ditangkapnya Djoko Tjandra di Malaysia. Penangkapan itu bisa menjadi momentum penangkapan buronan kasus kasus korupsinya lainnya.

Hal ini mungkin sejalan dengan pernyataan dari Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang mengatakan bahwa proses pengaktifan tim pemburu koruptor masih berlanjut misinya.

“Keputusan Menko polhukam tentang pembentukan kembali tim pemburu koruptor, pemburu aset, pemburu tersangka, pemburu terpidana dalam tindak pidana yang melarikan diri atau yang bersembunyi atau yang disembunyikan sekarang terus berproses,” kata Mahfud melalui akun instagram @mohmahfudmd, Selasa (14/7/2020).

Kiranya carut marut penegakan hukum di Indonesia khususnya terkait dengan perkara korupsi tidak cukup diobati hanya dengan penangkapan Djoko Tjandra saja. Sebab masih banyak kasus kasus lain yang mangkrak dan sesungguhnya lebih urgen dari kasus Doko Tjandra. Selain perkara DL Sitorus ada penjahat penjahat BLBI yang masih berkeliaran dimana hukum tidak mampu menjangkaunya.

Seperti Andrian Kiki Ariawan yang merugikan negara 1,5 triliun, Eko Adi Putranto merugikan negara 2,6  triliun, Hendra Raharja alias Tan Tjoe Hing merugikan negara 3, 6 triliun, Sherny Kon Jong Iang, merugikan negara 2,6 triliun, Samadikun Hartono merugikan negara 2,5 triliun, dan Usman Admadjaya merugikan negara 35,6 triliun.

Selain BLBI ada kasus century yang masih menjadi PR karena belum kelar juga. Mereka yang menjadi buronan kasus ini  antara lain : Dewi Tantular merugikan negara 3,11 triliun, dan Hartawan Aluwi merugikan negara 24 triliun.

Sementara itu ada kasus lain diluar kasus BLBI dan Century yang masih menjadi pekerjaan besar bagi aparat untuk menangkap para pelakunya. Seperti buronan Dirut PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), Honggo Wendratno, dalam kasus kondensat dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 37,8 triliun yang sekarang tidak diketahui dimana rimbanya.

Juga kasus Lesmana Basuki kasus korupsi Sejahtera Bank Umum ( SBU) yang merugikan negara 13,2 triliun, Putranefo Alexander Prayogo dalam kasus korupsi komunikasi radio terpadu Dephut yang merugikan negara 83 miliar, Tony suherman kasus korupsi Sejahtera Bank Umum (SBU) mencuri uang negara 13,2 triliun dan yang paling fenomenal kasus korupsi kredit Bank Bapindo yang merugikan negara 9 triliun atas nama Eddy Tanzil atau Tan Tjoe Hong yang melarikan diri ke China.

Banyaknya kasus kasus korupsi kakap yang belum tuntas penyelesaiannya tentu membuat prihatin kita semua. Alhasil jangan sampai penangkapan Djoko Tjandra hanya sekadar percikan air ditengah kemarau penegakan hukum di Indonesia. Apalagi jika hanya sekadar menutupi kasus kasus lain yang lebih urgen dan melibatkan pemegang kuasa.  Bahkan penangkapan itu akan terasa hambar dan menyakitkan publik manakala yang bersangkutan nantinya diperlakukan bak seorang bos ketika menghuni penjara.

Saat ini ditengah pandemi virus corona dimana pemerintah kekurangan dana, sebenarnya sangat tepat kalau upaya untuk memburu koruptor digalakkan khususnya untuk memburu aset asetnya. Selain akan menimbulkan efek jera pada para pelakunya juga bisa menjadi peluang pemasukan anggaran bagi negara yang sedang terhuyung huyung kondisi ekonominya.

Kita tentu mendukung keinginan Menko Polhukam untuk mengaktifkan tim pemburu koruptor beserta aset asetnya. Tapi tentunya ini semua harus dibarengi dengan aksi nyata bukan sekadar pernyataan kosong belaka. Kita juga mendukung pernyataan Mahhfud MD yang akan menjebloskan pejabat pelindung Djoko Tjandra. 

Seperti bunyi cuitannya Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menegaskan siapa saja pejabat yang selama ini melindungi terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra harus siap dipidana.Hal tersebut dicuitkan Mahfud dalam akun Twitter pribadinya, @mohmahfudmd, Sabtu.,."Djoko Tjandra tidak hanya harus menghuni penjara dua tahun. Karena tingkahnya, dia bisa diberi hukuman-hukuman baru yang jauh lebih lama," cuit Mahfud. Adapun "Pejabat-pejabat yang melindunginya pun harus siap dipidanakan. Kita harus kawal ini," katanya.

Bagaimanapun ditengah situasi serba sulit ditengah pandemi corona, rakyat tak pernah  lelah berharap supaya hukum bisa ditegakkan dengan seadil adilnya. Jangan sampai penegakan hukum untuk koruptor koruptor kakap itu hanya sekadar menjadi mimpi belaka.  Sebagai langkah awal bukti keseriusan pemerintah menegakkan hukum, bisa diawali dengan penegakan hukum kasus DL Sitorus yang sangat sederhana konstruksi hukumnya. Tinggal melaksanakan eksekusi sesuai perintah Pengadilan yang sudah 14 tahun tertunda. Kalau terhadap masalah yang sangat simpel ini saja tak mampu melaksanakannya, lalu rakyat bisa berharap apa ?

 

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar