Lebih Baik Dana POP Rp 595 M untuk Angkat Guru Honorer Jadi PNS & PPPK

Minggu, 02/08/2020 09:28 WIB
Nadiem Makarim. (Gatra)

Nadiem Makarim. (Gatra)

Jakarta, law-justice.co - Persatuan Guru Republik Indonesia meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayan mengalihkan dana Program Organisasi Penggerak (POP) untuk mengangkat guru honorer menjadi aparatur sipil negara (ASN), baik PNS maupun PPPK (Pegawal Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

Pasalnya menurut Ketua Pengurus Besar PGRI (PB PGRI), Dudung Nurullah Koswara, dana tersebut lebih dibutuhkan guru honorer ketimbang membiayai organisasi masyarakat yang juga tujuannya untuk melatih guru.

"Saran saya anggaran POP Rp 595 miliar itu lebih baik dialirkan kepada guru honorer. Manfaatnya akan lebih besar ketimbang buat organisasi masyarakat," katanya seperti melansir jpnn, Minggu 2 Agustus 2020.

Kata dia, dana POP sebaiknya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer lewat pengangkatan mereka menjadi PNS maupun PPPK.

Selain itu kata dia, dana ini bisa juga digunakan untuk meningkatkan gaji guru honorer setara UMR.

Bahkan menurut dia, dana POP bisa digunakan untuk perbaikan sarana prasarana pendidikan, pembiayaan beasiswa guru potensial, peningkatan kesejahteraan guru ASN, kepala sekolah dan pengawas.

Kemudian meningkatkan reward bagi GTK (guru dan tenaga kependidikan berprestasi.

"Saya rasa itu lebih utama agar dana POP ada hasilnya," tegasnya.

Dia menambahkan, sebagai guru, kepala sekolah dan pengurus organisasi profesi guru, dia melihat anggaran ratusan miliar untuk POP sungguh menggoda.

Kata dia, sungguh sangat tidak indah bila ratusan miliar anggaran mengalir dalam bentuk Gajah, Harimau dan Kijang. Namun sementara ratusan ribu guru honorer hidup dalam upah tak layak.

"Alirkan saja dana itu kepada guru honorer, bangunan sekolah yang kusam, kumuh, mau ambruk dan terlihat menyedihkan, rombak dengan dana itu. Bila perlu ada gerakan bedah rumah, bangunan sekolah," ucapnya.

Dia menegaskan, selama ratusan ribu guru honorer upahnya tidak layak, banyak bangunan sekolah tak layak, dana BOS masih tersendat-sendat dan melahirkan kontroversi dan tata kelola dunia pendidikan masih belum tertib, maka program POP tak elok diterapkan untuk saat ini.

"Prioritaskan dahulu yang lebih utama. Ormas NU, Muhammadiyah dan PGRI menolak POP adalah sebuah kode, terjemahkan kode itu!," tutupnya.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar