Thomas Ch. Syufi, Aktivis HAM Papua

Opsi Referendum, Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua

Sabtu, 01/08/2020 07:54 WIB
Aksi unjuk rasa menuntut referendum Papua (beritadunia.net)

Aksi unjuk rasa menuntut referendum Papua (beritadunia.net)

Jakarta, law-justice.co - Secara terminologi, referendum berasal dari bahasa Latin yang berarti jajak pendapat. Di mana diberikan kebebasan kepada suatu masyarakat secara bebas memilih apa yang menjadi keinginan dan kehendaknya, termasuk opsi referendum untuk kemerdekaan suatu wilayah untuk berdaulat atau tidak.

Referendum sebagai proses demokrasi yang sangat baik di era modern. Karena referendum menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam menentukan arah dan kebijakan yang diambil oleh penguasa dan pemerintah setempat. Referendum adalah a way bagi pemecahan suatu masalah atau krisis yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Karena secara natural, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’home est condomne aetre libre). Esensi dari referendum adalah sebuah tindakan bebas memilih dan memutuskan oleh penduduk atau rakyat dalam suatu wilayah tersebut. Referendum sebagai bentuk act of free choice (tindakan bebas memilih) atau to right self-determination(hak penentuan nasib sendiri) tanpa ada intervensi atau intimidasi dari pihak mana pun.

Sebagaimana corak humanis pemikiran Jean-Paul Sartre(1905-1980), filsuf, sastrawan, dan penulis Perancis, “Tidak cukup dengan mengatakan manusia adalah makhluk yang menginginkan kebebasan, manusia adalah kebebasan itu sendiri.” Referendum sebagai sebuah proses demokrasi yang tertinggi yang mana memposisikan rakyat sebagai orang-orang yang memiliki hak asasi untuk bebas menentukan nasib maupun hidupnya sendiri.

Bahkan telah ditegaskan dalam prinsip hukum, baik hukum nasional, hukum internasional, maupun hukum agama, “All men are equal before the law, without distinction sex, race, religion, and social status, semua manusia adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, agama, dan status sosial.” Referendum merupakan sebuah langkah mujarab untuk mewujudkan penghormatan terhadap martabat hak asasi manusia melalui proses bebas memilih.

Eksisitensi manusia sebagai basis perjuangan penting dalam alam demokrasi. Demokrasi memberikan space atau atmosefer kebebasan bagi setiap manusia untuk dapat bebas menentukan hidupnya sendiri tanpa harus mengabaikan tanggungjawab sebagai manusia itu sendiri. Manusia dikatakan makhluk yang bebas karena ia sanggup mengatakan “tidak” menindak. Maka, Sartre kembali mengatakan, eksistensi lebih dulu dibanding esensi(L’existence precede I’essence).

Jadi, prinsipnya, referendum adalah sebuah tindakan bebas memilih bagi rakyat atau masyarakat dalam suatu tempat tentang nasib dan masa depan hidupnya sendiri. Kebebasan berarti memilih, menentukan sikap dari sekian alternatif yang dimungkinkan. Manusia bebas memilih jalan hidupnya sendiri tanpa harus ditentukan orang lain atau faktor objektif lainnya.

Di beberapa negara di dunia telah memulai dengan proses demokrasi berupa referendum. Referendum sebagai instrument yang efektif untuk dapat mengukur kehendak atau preferensi rakyat atas sebuah keputusan yang dilakukan pihak penguasa atau pemerintah, baik itu perubahan konstitusi atau opsi kemerdekaan.

Di mana, dalam proses referendum tetap berprinsip pada etika demokrasi, yakni keputusan didasarkan pada suara mayoritas atau sebagai pemenang. Karena suara mayoritas adalah simbol supremasi kedaulatan rakyat. Maka, keputusan yang hendak diambil harus berdasarkan pada suara mayoritas.

Namun, secara teori, referendum tidak bisa dilaksanakan sepihak oleh masyarakat tanpa persetujuan pemerintah yang berkuasa. Misalnya, referendum kemerdekaan yang diselenggarakan oleh masyarakat tanpa persetujuan pemerintah yang berkuasa, hasilnya tetap dinilai illegal, tak memiliki legitimasi, sekaligus akan diabaikan oleh masyarakat internasional.

Selain itu, referendum harus disepakati oleh kedua pihak yang berkepentingan, yakni pihak nasionalis dan pemerintah. Berbagai persiapan akan dilakukan, terutama syarat referendum juga harus dirundingkan, hingga hasilnya pun dipegang dan mengikat para pihak. Berbagai isu dapat dibahas dalam perundingan—seperti waktu pemungutan suara dan kelayakan pemilih.

Ini faktor penting yang harus dirumuskan secara baik. Misalnya, karena menurunnya ambang batas usia memilih—yang ikut menentukan kegagalan referendum di Skotlandia oleh pemerintah Britania Raya(Inggris) tahun 2014.

Meski Skotlandia gagal referendum, tapi apresiasi yang tinggi diberikan kepada pemerintah Inggris karena tanpa ragu, dengan berani Inggris menyelenggarakan referendum. Juga Kanada yang berdiri tanpa beban menggelar dua kali referendum untuk masyarakat di provinsi Quebec tahun 1980 dan 1995, meski hasil referendum tak berpihak pada rakyat Quebec.

Indonesia pun pernah mendapat apresiasi yang luar biasa dari masyarakat internasional karena proses demokratisasi atau the rebirth of democracy di era transisi. Presiden BJ Habibie dengan berani mengambil keputusan politik sangat sulit tentang Timor Timur, yakni menggelar referendum pada 30 Agustus 1999. Tindakan Habibie itu menjadi champion of democracy, sekaligus sebagai “legacy” yang akan dikenang dengan indahnya oleh generasi mendatang.

Maka, siapa pun yang jadi presiden RI harus memiliki sikap dan jiwa humanis dan demokrat seperti Habibie, serta keberaniannya untuk mengambil keputusan di tengah situasi pelik dan dilematis tanpa memikirkan keselamatan diri dan karier.

Jadi, Habibie bukan memikirkan apa yang terjadi setelah referendum, tapi ia lebih pada penghormatan dan penegakan demokrasi. Hal menang atau kalah dari proses referendum bukanlah soal, tapi mengekang maupun bungkam terhadap dimensi kebebasanlah yang jadi masalah.

Penyelesaian masalah Papua

Tentu, referendum menjadi satu-satunya jalan terbaik untuk penyelesaian konflik di Papua. Rakyat Papua menganggap referendum merupakan sebuah solusi demokratis untuk memecah kebutuhan politik dan krisis kemanusiaan yang berkepajangan terjadi di Bumi Cenderawasih sejak aneksasi 1 Mei 1963. Referendum menjadi jalan bermatabat untuk mengakhiri ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Akar kekerasan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua adalah orang Papua berjuang melawan pemerintah Indonesia untuk meraih kemerdekaan dengan cara yang santun dan bermartabat. Namun hal tersebut cenderung ditanggapi secara vulgar dan brutal oleh pemerintah Indonesia melalui aparat TNI-Polri. Ketika orang Papua menerikkan identitas dan hak politiknya, mereka diitimidasi, dikejar, ditangkap, dipenjara, dipukul, maupun dibunuh.

Rakyat Papua tetap konsisten berjuang untuk meraih kembali hak politik mereka yang dirampas oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai cara manipulatif. Sejarah masuknya Papua ke dalam NKRI pun dinilai didistorsi. Karena secara historis, Nederlands Niew-Guinea(atau Papua) merupakan wilayah luar negeri dari Kerajaan Belanda dari tahun 1949 hingga 1962. Jelas, Papua bukan bagian dari wilayah koloni Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia, tapi Papua adalah wilayah koloni “provinsi luar negeri” Belanda yang yang berkedudukan di Holandia Binnen(Jayapura).

Perjanjian New York menjadi dasar atas pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) yang cacat hukum dan moral karena penuh rekayasa dan di bawah tekanan militer. Paksaan dan intimidasi mewarnai sebelum dan saat Pepera dilaksanakan. Padahal, amanat dari Perjanjian New York, Pepera 1969 harus digelar dengan mekanisme one man one vote atau satu orang satu suara.

Artinya, setiap penduduk Papua memiliki hak untuk menentukan pilihannya tanpa diwakili. Yang terjadi adalah Pepera yang dilaksanakan menurut mekanisme Indonesia, yaitu musyawarah. Kala itu total penduduk Papua sekitar 800 ribu jiwa, dan hanya 1.025 orang yang ikut Pepera.

Tidak mendasar klaim Indonesia atas wilayah teritorial Papua. Dengan segala intrik politik Presiden Indonesia, Soekarno—Papua harus direbut secara paksa melalui invasi militer—yakni Trikora yang berlangsung tanggal 19 Desember 1961-15 Agustus 1962). Setelah itu, lahirlah Perjanjian New York(New York Agreement) 15 Agustus 1962 yang diprakarsai oleh Amerika Serikat untuk pemindahan kekuasaan atas Papua Barat dari Belanda ke Indonesia.

Ketidakpuasan atas proses Pepera 1969 ini menjadi salah satu penyebab utama gerakan perlawanan atau resistensi rakyat terhadap pemerintah Indonesia. Rakyat Papua ingin menuntut agar Pepera 1969 yang cacat dan illegal itu perlu direview kembali oleh PBB.

Namun, tuntutan ini selalu dijawab dengan kekerasaan, berupa pengejaran, penangkapan, pemenjaraan, penculikan, dan pembunuhan oleh aparat TNI-Polri. Pelaku delik pelanggaran HAM selalu mendapat impunitas atau kebal hukum. Mereka bahkan justru memperoleh kehormatan, promisi, dan kenaikan pangkat dari negara.

Bahkan di era berlakunya Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pun mengundang banyak masalah. Otsus yang diharapkan menjadi payung dan sombar bagi rakyat Papua justru membawa malapetaka.

Payung Otsus yang diklaim oleh Jakarta sebagai jawaban atas huru-hara dan tuntutan Papua merdeka telah bolong dari berbagai sisi dan ditembus semburat sinar matahari hingga rakyat Papua terus tersengat. Otsus sebagai opsi politik—menyelesaikan konflik antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua kini membawa dukacita dan kematian tiada akhir di Tanah Papua.

Spiral kekerasan di Papua kian melonjak dan rezim Joko Widodo “Jokowi” pun ‘hobi’ mendaur ulang pola kekerasan di Tanah Papua. Jokowi lebih suka menjalankan security approach dan menyampingkan pendekatan humanitarian, justice, dan prosperity.

Realitas kegagalan Otsus di Tanah Papua itu diperlihatkan dengan sejumlah peristiwa penting dan mengenaskan, seperti pembunuhan terhadap pemimpin politik bangsa Papua, Theys Hiyo Eluay(Ketua Presidium Dewan Papua/PDP) pada 10 November 2001 di Alun-Alun Kota Jayapura.

Pembunuhan terhadap Musa Mako Tabuni(Wakil Ketua KNPB) 14 Juni 2012 di Perumnas III, Waena, Jayapura. Juga tragedi tertembak mati empat siswa SMA di Paniai 8 Desember 2014—yang hingga kini pihak korban dan rakyat Papua menuntut keadilan dan penegakan hukum atas kasus ini, tapi makin tidak jelas respon pemerintah Indonesia. Memang Apa yang menjadi spirit dan filosofi dari amanat undang-undang Otsus Papua, seperti proteksi, afirmasi, dan pemberdayaan terhadap orang asli Papua tak pernah terbukti.

Selain itu, anggaran Otsus yang diberikan ke Tanah Papua: provinsi Papua dan Papua Barat yang berjumlah 94,24 triliun rupiah sejak tahun 2002 hingga kini belum efektif menjawab kesejahteraan rakyat Papua. Diduga kebanyakan dana Otsus digunakan untuk pesta pora di dunia birokrasi; belanja pegawai dan jalan dinas, serta korupsi yang merajerela.

Hal tersebut membuat anggaran Otsus sukar tersalurkan dengan baik hingga ke masyarakat asli Papua di kampung-kampung yang sebagai subjek dari Otsus itu sendiri. Misalnya, pembangunan sekolah yang mangkrak, sekolah kekurangan guru, terbatasnya tenaga dan fasilitas kesehatan, siswa putus sekolah karena tak ada biaya.

Sebagian besar kekacauan ini terjadi di era Otsus yang sejak awal digadang-gandangkan oleh pemerintah pusat(Jakarta) sebagai opsi politik untuk menyelesaikan konflik laten rakyat Papua dan pemerintah Indonesia.

Jelas, Otsus sebagai solusi telah berubah menjadi masalah, maka masalah tak bisa menyelesaikan masalah. Karena itu, tawaran terakhir dari riwayat kegagalan Otsus di Tanah Papua adalah referendum sebagai solusi demokratis dan bermartabat bagi penyelesaikan kegaduhan politik dan krisis kemanusiaan yang masif dan berkepanjangan di Tanah Papua selama sekitar 57 tahun Papua menjadi bagian dari NKRI.

Bila Jakarta masih terus keberatan untuk menggelar referendum bagi Papua, tentu kita akan siap menyaksikan konflik lanjutan di Tanah Papua, dengan riak dan gelombangnya yang makin dahsyat dan masif hingga dapat memorak-porandakan Tanah Papua, sekaligus mengancam perdamaian di Indonesia, termasuk dunia. Dan kewibawaan Indonesia akan terus diobok-obok dan tergerus karena selalu disorot masyarakat internasional atas ketidakbecusannya merampungkan akar konflik di Papua berupa menggelar referendum.

Kata penulis dan penyair Roma pada Abad Pertama-Awal Abad kedua, Decimus Junius Juvenalis, “ Aib terbesar adalah ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan”. “Don’t be afraid held to referendum”. Semoga!

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar