Produk FTC Bank Harda Ilegal, Nasabah Terancam & OJK Sudah Buat Apa?

Sabtu, 01/08/2020 08:17 WIB
Logo Bank Harda International Tbk (Ist)

Logo Bank Harda International Tbk (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Bank Harda Internasional Tbk sedang disorot publik dan dalam pengawasan ketat pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akibat produknya bernama forward trade confirmation (FTC) yang dipasarkan ke nasabah Bank Harda, telah melanggar ketentuan perbankan karena bukan produk perbankan resmi yang diakui OJK dan dijamin Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS).

 

Adapun suku bunga produk gelap FTC Bank Harda ditawarkan jauh di atas tingkat suku bunga normal yang ditetapkan OJK dan yang dijamin LPS. Untuk produk FTC, bunganya mencapai 10 persen untuk dana di bawah Rp 5 miliar dan 11 persen untuk dana di atas Rp 5 miliar. Demikian dikatakan seorang nasabah Bank Harda kepada Law-Justice.co di Jakarta, Kamis (30/7).

Nasabah Bank Harda diimingi daripada menyimpan dana di deposito yang berbunga rendah, lalu ditawarkan produk FTC berupa pembelian saham Bank Harda melalui PT Hakim Putra Perkasa (HPP) yang merupakan pemegang saham pengendali bank tersebut. Nasabah pun tergiur dengan FTC meskipun jelas bukan merupakan produk resmi bank dan jelas melanggar ketentuan perbankan.

Bank Harda per Desember 2019 memiliki aset Rp 2,52 triliun, namun per 30 Juni 2020 turun menjadi Rp 2,2 triliun dan para pemegang sahamnya yaitu; PT Hakim Putra Perkasa (73,7%), Kwee Sinto (3.7%), Publik (22,5%). 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengetahui masalah yang menimpa Bank Harda. OJK telah melakukan pemeriksaaan yang menghasilkan temuan transaksi ilegal tersebut.  Ada delapan pimpinan cabang yang mendapatkan surat peringatan dengan tidak boleh berkarier sebagai bankir selama tiga tahun. Antara lain cabang Medan, Surabaya, Solo, Kelapa Gading, Muara Karang, Panglima Polim, Bandung dan Pekanbaru.

Namun anehnya walau sudah ada temuan dari OJK, cuma tidak ada tindak tegas terhadap pimpinan di pusat, yakni para Direksi dan pemegang saham. Padahal ini kasus serius dan secara hukum dapat dipidana karena praktek perbankan gelap dan ilegal.

Adapun pemeriksaan yang dilakukan OJK terhadap data transaksi pada core banking selama 2017-2019 menemukan adanya transaksi pemindahbukuan dari rekening beberapa nasabah Kantor Cabang Bandung kepada rekening PT Hakim Putra Perkasa (HPP) yang merupakan pemegang saham pengendali Bank Harda.

Bentuk pemindahbukuan tersebut adalah pembelian saham Bank Harda Internasional melalui rekening HPP. Saat dilakukan sampling mutasi rekening pegawai, ditemukan transfer dana dari rekening HPP ke pemimpin Kantor Cabang Bandung dengan nilai Rp112,495 juta atau 1,73 persen dari total transaksi pembelian saham senilai Rp6,5 miliar.

Proses transfer dana tersebut terbagi dalam dua tahap yakni pada 18 Mei 2018 senilai Rp72,495 juta dan pada 7 September 2018 senilai Rp40 juta. Dana yang masuk tersebut merupakan komisi hasil penjualan produk forward trade confirmation (FTC) saham Bank Harda dengan besaran yang bervariasi. FTC merupakan kontrak antara penjual, yakni nasabah Bank Harda KC Bandung dengan pembeli HPP.

Hasil penilaian OJK Bank Harda diminta memperhatikan ketentuan dan penerapan Peraturan OJK nomor 18/2016 tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum yang mengatur bank dilarang menugaskan atau menyetujui pengurus dan atau pegawai bank untuk memasarkan produk atau melaksanakan aktvitas yang bukan merupakan produk atau aktivitas bank dengan menggunakan sarana fasilitas bank.

Menjawab temuan OJK, pihak Bank Harda pun mengaku tidak pernah menugaskan pegawai bank secara khusus untuk menjual produk FTC tersebut.  Adapun metode penjualan produk hanya berupa penawaran skema produk dan insentif ke para pihak yang berminat untuk berpartisipasi dalam penjualan tersebut.
 
Dari informasi seorang nasabah yang tidak bersedia ditulis namanya kepada wartawan Law-Justice.co mengatakan dana yang sudah berhasil dihimpun tersebut sama sekali tidak ditempatkan HPP untuk pembelian saham Bank Harda. Dana yang ditempatkan nasabah tersebut ternyata masuk rekening pribadi para pemilik HPP. Sehingga yang terjadi adalah praktik perputaran dengan skema ponzi menjadi cara HPP meraup dan memberikan bunga kepada nasabah.
 
Adapun skema ponzi merupakan konsep investasi yang digagas dan dikembangkan oleh seseorang berkebangsaan Italia, yakni Charles Ponzi pada tahun 1920. Skema ini merupakan penipuan investasi di mana klien dijanjikan untung besar tanpa risiko. Perusahaan yang terlibat dalam skema ponzi memusatkan seluruh energinya untuk menarik klien baru guna melakukan investasi ilegal yang pada ujungnya akan hilang.

Investasi dengan skema ponzi pada dasarnya murni perputaran uang dari anggotanya sendiri. Skema ponzi mengandalkan aliran investasi baru yang konstan untuk terus memberikan pengembalian kepada investor yang lebih dulu. Apabila aliran dana habis, maka otomatis skema tersebut akan hancur berantakan (total lost).

Dari praktek bank gelap ini dana yang terkumpul sudah mencapai triliunan, padahal dana yang dihimpun tersebut melebihi modal inti Bank Harda yang hingga saat ini hanya sekitar Rp 280 miliar. Sehingga saat terjadi default (gagal bayar) atas dana yang ditempatkan di HPP, maka nasabah akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Lantas bagaimana OJK menyikapi hal ini secara kongkret dan tegas?

Law-Justice.co sudah mencoba menghubungi pejabat OJK, namun sampai berita ini dimuat belum juga direspon. Hal yang sama juga saat menghubungi Direksi PT Bank Harda, oleh sekertarisnya hanya menjawab pendek, "Bapak lagi di luar kantor". Mudah-mudahan hanya diluar kantor dan bukan di luar negeri seperti Joko Chandra. 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar