Aktivis Muslim Kecam Presiden Turki

Kamis, 30/07/2020 21:05 WIB
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Thenational.ae)

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (Thenational.ae)

Jakarta, law-justice.co - Aktivis pembela hak-hak muslim mengecam Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan karena terkesan diam atas penindasan warga Uighur oleh rezim komunis China. Bahkan, para warga Uighur yang ada di Turki dideportasi ke negara ketiga yang memungkinkan diekstradisi ke China.

Sebuah laporan baru mendokumentasikan cara-cara inovatif yang dilakukan China untuk mengekstradisi para warga Uighur. Pertama-tama keberadaan mereka diidentifikasi, kemudian berusaha mengatur agar warga Uighur dikirim ke negara ketiga dan dari sana China dengan mudah melakukan ekstradisi untuk menghadapi kamp konsentrasi di Xinjiang.

"Presiden Turki memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengkritik India terutama terkait komunitas Muslim. Namun, tidak mengatakan apa-apa terhadap China atau tentang penindasan Muslim Uighur," kata Arslan Hidayat, seorang aktivis pembela hak-hak Muslim Uighur yang berbasis di Istanbul, seperti dilansir Sindonews.com, Kamis (30/7/2020).

Media Inggris, The Telegraph, menemukan beberapa warga Uighur dikirim lebih dulu ke Tajikistan, sebuah negara yang siap tunduk ketika China mengajukan permintaan ekstradisi. Pemerintah Erdogan belum berkomentar atas temuan media tersebut.

Ia mengaku mengetahui langsung tentang bagaimana proses ekstradisi tersebut. Hidayat menggambarkan China melakukan segala daya untuk membawa kembali warga Uighur di luar negeri.

"China memburu warga Uighur karena mereka dapat membongkar borok penindasan yang dilakukan para `diktator` komunis di negara itu," kata Hidayat.

Hidayat mengatakan hingga kini Turki masih menampung populasi Uighur terbesar di luar China. Diperkirakan sekitar 50.000 warga Uighur yang telah mencari perlindungan di Turki. Mereka berusaha menghindari penindasan China, tetapi "tangan panjang" Beijing kini mulai menjangkau mereka.

Beijing pernah mengirim permintaan kepada pemerintah Turki untuk mengekstradisi seorang warga Uighur sebelumnya. Ekstradisi itu dilakukan terhadap Enver Turdi, sosok yang telah membeberkan informasi kepada jurnalis Barat tentang sejumlah pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah China.

Upaya ekstradisi dimulai pada 2015, ketika Kedutaan Besar China di Turki menolak untuk memperpanjang paspornya. Akibatnya, Enver tidak bisa memperbarui izin tinggal sementara di Turki. Dua tahun kemudian, Enver Turdi diinterogasi oleh otoritas Turki dan ditempatkan di fasilitas deportasi.

Turki dan China juga dilaporkan telah menandatangani draft perjanjian ekstradisi pada 2017 tetapi parlemen Turki belum meratifikasinya.

Di bidang ekonomi, pada 2010 China dan Turki menandatangani delapan pakta perjanjian strategis yang bisa meningkatkan volume perdagangan tahunan mereka menjadi USD100 miliar pada tahun ini.

Tahun lalu, bank sentral China memberikan suntikan uang tunai senilai USD1 miliar ke dalam perekonomian Turki untuk menalangi bank-bank lokal yang tengah kesulitan. Beijing bahkan telah menyetujui paket tambahan USD3,6 miliar untuk membantu pengembangan sektor energi Turki.

Karena alasan inilah, Erdogan diduga tidak akan mengatakan apa pun tentang Uighur. Presiden Turki itu dianggap berutang budi kepada China seperti negara-negara Muslim lainnya.

Media Jerman DW.de, pada Selasa (28/7/2020) melaporkan bahwa sejak negeri di dua benua itu dilanda krisis ekonomi, sikap Ankara terkait Uighur mulai berubah. Dalam kunjungannya ke Beijing Juli 2019 silam, Erdogan di hadapan media pemerintah menyatakan bahwa warga Uighur di Xinjiang dalam kondisi baik-baik saja.

Selain Turki, sejumlah negara yang awalnya melindungi pelarian Uighur dari China kini berbalik arah dan mendorong agar mereka dideportasi. China menggunakan kekuatan ekonominya untuk menekan negara-negara tempat warga Uighur meminta perlindungan.

Selain di Turki, komunitas Uighur juga menghadapi pilihan sulit di Arab Saudi. Hendak pulang ke China dan mengambil risiko mendarat di kamp re-edukasi, atau hidup dengan status ilegal di Arab Saudi di bawah ancaman deportasi karena paspornya tidak diperpanjang pemerintah komunis China.

Kedekatan Beijing dengan pemerintah Riyadh membuat gentar kaum Uighur di Arab Saudi. Belum lama ini Putra Mahkota Mohammad bin Salman mengisyaratkan China bisa menggandakan jejak diplomasinya di Timur Tengah melalui Arab Saudi. Sejak beberapa tahun terakhir kedua negara giat meningkatkan kemitraan dagang, antara lain lewat proyek Jalur Sutra Abad 21 atau One Belt One Road Initiative.

(Hendrik S\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar