Saut Situmorang: Begitu Banyak Parasit di Dunia Sastra Indonesia

Selasa, 28/07/2020 08:01 WIB
Saut Situmorang, begitu banyak parasit di dunia sastra Indonesia (law-justice.co/Januardi Husin)

Saut Situmorang, begitu banyak parasit di dunia sastra Indonesia (law-justice.co/Januardi Husin)

law-justice.co - Suka marah-marah di media sosial, juga mengkritik dengan garang dan tajam. Ia  menghajar lawan-lawan berpikirnya dengan lantang. Apa yang membuat seorang Saut Situmorang seperti itu? Apakah penyair nyentrik itu sekedar omong kosong dan cari sensasi?

Saut merespon dengan antusias saat diajak berjumpa, Rabu (22/7/2020). Lalu kami bertemu di sebuah tempat, di pusat Kota Yogyakarta, tempat dia biasa menghabiskan waktu bercengkrama dengan anak-anak muda.

Kesan pertama bertemu dengan sastrawan gondrong itu, jauh dari apa yang sebelumnya dibayangkan. Memang betul, terkadang perangai seseorang di media sosial kerap berbeda dengan yang aslinya. Saut, dikenal galak di media sosial dengan kata-katanya yang pedas, ternyata sosok bersahabat. Umpatan-umpatan kasarnya yang sering kita nikmati di dunia maya, lebih terasa seperti guyonan hangat untuk menertawakan kehidupan.

Selepas azan magrib, penulis buku “Politik Sastra” itu bersedia menceritakan kembali jejak hidupnya kepada law-justice.co.

Saut Situmorang, lahir di Tebing Tinggi, 29 Juni 1966. Ayahnya seorang tentara, dan ibunya guru sekolah dasar. Ia tumbuh dan besar sebagai anak kolong di Asrama Kodam I/Bukit Barisan, Medan, Sumatera Utara.

Saut mengakui, semasa remaja di Kota Medan, dia adalah begundal anggota geng motor yang selalu hidup di jalanan. Tidak pernah betah di rumah karena sering berkonflik dengan ayahnya. Satu-satunya alasan untuk pulang adalah sang ibu yang sangat ia sayangi.

“Benar-benar kacaulah aku waktu di Medan,” kenang Saut.

Kegemaran menghabiskan waktu di jalanan mengantarkannya pada sebuah masalah, sehingga harus pindah ke Yogyakarta. Tahun 1984, tidak mudah bagi Saut untuk mencari sekolah di Yogyakarta yang mau menerima seorang siswa kelas tiga SMA.

“Aku ingin di SMA De Britto. Tapi akhirnya keterima di SMA Mataram,” kata dia.

Sama seperti mencari sekolah, Saut pun bermasalah saat mencari kos-kosan. Tahun itu, tidak banyak pemilik indekos yang bersedia menerima perantau dari Sumatera karena ada sebuah konflik horizontal.

Tapi akhirnya dia mendapat kamar kos di sekitar kampus Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi), Yogyakarta. Di sana, Saut remaja banyak bergaul dengan mahasiswa. Dia dipinjami buku-buku yang seharusnya tidak dibaca seorang siswa SMA. Saut gemar membaca tentang sosiologi dan ekonomi. Buku sastra sama sekali tidak terlintas di benaknya.

Kala itu, Saut punya seorang teman mahasiswa sastra yang gemar baca puisi dan teater. Setiap pukul empat sore sang kawan selalu naik ke atas pohon untuk berteriak dan latihan vokal. Satu waktu, temannya itu mengajak Saut menonton pertunjukan membaca puisi.

Saut ingat betul, puisi yang dibaca adalah puisi tentang perjuangan. Tapi dia tetap bergeming. Tidak ada makna puisi yang bisa dia tangkap kecuali susunan kata-kata yang dibuat menjadi indah.

“Sama sekali tidak mengerti. Tidak tertarik dengan yang namanya seni,” ucap Saut, yang awalnya bercita-cita menjadi seorang diplomat.

Setelah menamatkan sekolah menengah, Saut sempat menjadi mahasiswa Sosiologi di Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Namun tidak bisa berlanjut karena masalah biaya. Dia terpaksa kembali lagi ke Kota Medan tahun 1986, setelah sempat berbulan-bulan tinggal di Bogor, Jawa Barat.

Sekembalinya ke kampung halaman, Saut bertekad untuk kuliah lagi. Kali ini dia mengincar jurusan Sastra Inggris di Universitas Sumatera Utara (USU). Bukan karena sudah ada minat pada sastra, tapi karena ingin memperdalam kemampuannya dalam berbahasa Inggris.

Di luar dugaan, ketika terpaksa membaca beberapa karya sastra, dia justru menemukan jati dirinya. Ernest Hemingway, adalah sosok yang paling berjasa membuka pikiran Saut tentang dunia sastra. Dalam karya sastra, ia menemukan benang merah atas berbagai wacana sosial dan ekonomi yang sering dibacanya semasa di Yogya.

“Waktu aku di Yogya, sering baca buku sosiologi dan ekonomi, tapi belum jelas. Begitu baca karya Hemingway, baru aku paham. Otakku seperti dijebol,” ujar dia.

Saut akhirnya benar-benar kepincut dengan sastra. Dia mulai rajin menulis cerpen untuk diterbitkan beberapa majalah sastra. Karya-karya Hemingway adalah inspirasi utama dalam membangun cerita.

Perkenalannya dengan puisi dimulai saat almarhum W.S. Rendra datang ke Medan, tahun 1988, untuk acara pembacaan puisi di sebuah hotel. Saut dan teman-temannya bertekad untuk “menculik” Rendra ke Fakultas Sastra USU, demi menyaksikan langsung seperti apa penyair beken itu membacakan untaian kata-katanya.

“Salahnya, kami bikin poster. Intel di mana-mana. Waktu itu, Rendra adalah musuh nomor satu Orde Baru,” kenang Saut, “tapi dengan sembunyi-sembunyi kami akhirnya bisa mendatangkan Rendra walau sebentar.”

Berkat Rendra, Saut benar-benar mengerti apa itu puisi. Belum pernah dia melihat orang membaca puisi senyentrik Rendra.

“Ada orang baca puisi seperti konser rock. Gila bener. Aku kaget betul waktu itu. Orang yang enggak pernah menyaksikan langsung Rendra baca puisi itu, hahahaha, kasihan deh lu,” celetuk Saut, mengenang betapa berharganya momen tersebut.

Setelah malam itu, Saut ketagihan melihat Rendra membaca puisi. Dia memutuskan untuk menghadiri pembacaan puisi Rendra di sebuah hotel di Kota Medan. Seusai acara resmi, perlahan, ragu, dan cari kesempatan, Saut menghampiri Rendra seorang diri.

Setelah berhadapan langsung, Saut ternyata tidak kuat berlama-lama di depan Rendra, dia hanya memberikan sebuah buku antologi cerpen dan bilang, “Mas Rendra, ini buku saya.” Terus Saut pergi dengan perasaan grogi bercampur bangga.

Akhir tahun 1988, Saut mulai tidak betah di ruang kuliah. Dia kerap bersitegang dengan dosen-dosennya. Beruntung, dia punya pacar seorang dosen bule yang menjadi pengajar di USU.

Ketika sang pacar ingin pulang ke negara asalnya, Selandia Baru, Saut memutuskan untuk ikut. Tidak ada alasan untuk tetap di kampus, pikirnya saat itu. “Akhirnya aku ikut dia ke Selandia Baru. Di sana aku jadi imigran. Apapun aku kerjakan. Jadi buruh, jaga anak di gereja. Membersihkan sekolah atau toilet,” tutur dia.

Keinginannya untuk kuliah dan memperdalam ilmu sastra belum memudar. Saat ada kesempatan, Saut mendaftar di Victoria University of Wellington. Beruntung, transkrip nilainya di Fakultas Sastra USU diterima dan tinggal melanjutkan selama dua tahun.

Di Selandia Baru, Saut benar-benar melampiaskan hasratnya untuk menjadi seorang penyair. Banyak hal baru yang tidak dia temukan di selama di Indonesia. Karya-karya penyair Pablo Neruda dan beberapa penulis di kelompok Beat Generations sangat mempengaruhi gayanya.

“Dulu di Eropa ada tradisi baca puisi di bar, disebut puisi underground. Sangat berbeda dengan puisi akademis di kampus, bahkan saling bertentangan. Aku beruntung, bisa belajar dua-duanya,” kata Saut.

Setelah mendapat gelar sarjana sastra, Saut melanjutkan studi S2 jurusan Sastra Indonesia di University of Auckland. Dia ingin menjadi dosen Bahasa Indonesia di Selandia Baru. Saat itu, Saut sudah bertekad untuk tidak pulang ke Indonesia. Dia merasa sudah tidak ada tempat lagi untuk hidup di bawah pemerintahan Orde Baru.

“Siapa yang bisa membayangkan Soeharto lengser. Saat Gus Dur jadi presiden, aku memutuskan untuk pulang. Aku kan suka dengan Gus Dur,” kenang dia.

Saut memulai hidup baru di Indonesia, walaupun harus menyesuaikan diri lagi dengan budaya yang sudah 11 tahun ditinggalkannya. Dia sempat bekerja sebagai editor majalah asing di Bali.

Meski di sana banyak seniman, Saut tidak betah di pulau Dewata. Bersama Katrin Bandel, kritikus sastra asal Jerman yang kemudian menjadi pacarnya, Saut memutuskan kembali ke Yogya.

“Tidak tahu kenapa, Yogya adalah kota paling nyaman di seluruh dunia. Katrin menyelesaikan doktornya, aku menikmati menjadi penyair dan penulis,” tambah Saut.

Sastra Indonesia yang Telah Kehilangan Ruhnya
Bagi Saut, sastra adalah segalanya. Dia pernah bekerja di majalah, pernah menjadi dosen, tapi pada akhirnya tidak ada yang lebih menyenangkan selain menjadi penyair dan penulis. Di usianya yang masuk 54 tahun, Saut sampai pada kesimpulan bahwa dia tidak bisa lagi beralih profesi.

“Sastra yang membuat aku dikenal sebagai Saut Situmorang. Aku menemukan jati diri dengan segala macam risikonya.”

Sayangnya, Saut justru merasa hidup di tengah dunia yang penuh dengan benalu. Bagi dia, Indonesia telah kehilangan marwah sastranya sejak banyak universitas berbondong-bondong mengganti nama Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya.

“Itu adalah sebuah pelecehan. Sama seperti kalau fakultas kedokteran diganti fakultas pertabiban, atau fakultas ekonomi jadi fakultas pedagangan,” ketus dia. Gara-gara pergantian nama itu, sastra benar-benar menjadi mandul di Indonesia. Banyak orang tidak bisa lagi membedakan karya sastra dan karya budaya pop.

“Sastra itu sains, sama seperti ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Makanya ada fakultas sastra di seluruh dunia. Selain itu, sastra adalah bagian dari seni, sama seperti seni rupa, film, atau musik. Dua sifat ini yang membuat dia menjadi unik. Enggak bisa sembarangan orang disebut sastrawan,” jelas Saut.

Menurut Saut, itu adalah dampak dari masuknya kajian budaya pop ke Indonesia. Setiap orang yang mampu menulis cerita dengan plot yang menarik langsung dicap sebagai sastrawan. Anggapan itu ditentang keras oleh Saut karena tidak sembarang cerita bisa disebut karya sastra. Lebih parah lagi, Saut melihat kesalahpahaman itu justru ditunjukkan oleh orang-orang yang menenteng gelar sarjana sastra.

“Kau tahu Stephen King, kurang terkenal apa lagi dia. Kurang besar apa lagi dia? Tapi karyanya tidak dipelajari di fakultas sastra karena memang bukan karya sastra. Itu karya novel pop. Sama seperti kita baca cerita Kho Ping Hoo, ceritanya menarik, terhibur, selesai.”

Karya sastra, kata Saut, bukan bertujuan untuk menghibur pembacanya, tapi untuk menyampaikan pesan-pesan dan fakta kehidupan dalam bentuk cerita dan untaian kata-kata.

“Coba kita baca Bumi Manusia, karya pak Pramoedya Ananta Toer. Ada hiburannya, tapi intinya bukan itu. Ada persoalan rasisme karena penjajahan, lalu bagaimana budaya yang dijajah itu jadi seperti ini. Karena kau memahami itu, kau jadi terhibur.

“Ada yang disebut sebagai katarsis, hiburan yang timbul karena mendapat sebuah pencerahan. Bukan hiburan biasa yang sekedar bikin kita ketawa-ketawa. Tapi hiburan yang mencerahkan,” ujar Saut emosional.

Saut merasa kesepian dengan pemikirannya itu. Semakin hari, semakin banyak saja orang yang mengaku-ngaku sebagai sastrawan. Hal itulah yang melatarbelakangi kenapa dia begitu ngamuk saat muncul buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” tahun 2014, yang memasukkan Denny JA ke dalam kelompok sastrawan. Komentarnya di media sosial berujung pada pidana pencemaran nama baik.

“Mana ada para profesor sastra itu belain aku, padahal mereka tahu aku benar. Mungkin bagi mereka itu hal sepele, tapi bagiku itu penghinaan serius. Begitu banyak parasit di dunia sastra yang aku hidup di dalamnya,” pungkas Saut dengan nada kesal.

 

(Januardi Husin\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar