Fradhana Putra Disantara dan Dicky Eko Prasetio, Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya

Menyoal Putusan PTUN Evi Novida Ginting

Sabtu, 25/07/2020 16:52 WIB
Evi Novida Ginting Manik dipecat dari Komisioner KPU (kompas)

Evi Novida Ginting Manik dipecat dari Komisioner KPU (kompas)

Jakarta, law-justice.co - Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang menangani gugatan Eks Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting benar-benar di luar dugaan publik.

Putusan PTUN ini tentu saja mengagetkan banyak pihak karena putusan ini telah membatalkan Keputusan Presiden RI No. 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Tidak Hormat anggota KPU Evi Novida Ginting masa jabatan Tahun 2017-2022. Keputusan Presiden ini menindaklanjuti putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah memberhentikan Evi Novida Ginting Manik sebagai anggota KPU RI.

Dari ‘cuplikan’ permasalahan di atas, dapat disimpulkan suatu permasalahan hukum tentang dapatkah Keppres yang hanya menindaklanjuti suatu putusan dari suatu badan yang bersifat final dibatalkan oleh PTUN? Untuk menjawab ini, maka mau tidak mau kita harus menengok kembali kepada konsep Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Karena yang menjadi obyek gugatan dalam PTUN adalah KTUN. Paling tidak ada 2 aspek yang harus dipahami terkait KTUN apa saja yang tidak bisa menjadi obyek gugatan dalam PTUN.

Aspek yang pertama adalah aspek teoritik. Secara teoritik paling tidak ada dua macam KTUN yakni yang bersifat konstitutif dan yang bersifat deklaratif. KTUN konstitutif mengandung pengertian bahwa sebelum KTUN dikeluarkan oleh pejabat TUN, tidak ada peristiwa hukum.

Misalnya pengangkatan seseorang sebagai Pejabat di lingkungan Kementerian tertentu. Sebelum ada keputusan yang mengangkat seseorang itu sebagai pejabat di lingkungan Kementerian tertentu, maka seseorang itu masih belum menjadi pejabat.

Berbeda dengan KTUN konstitutif, KTUN deklaratif sifatnya hanya mengukuhkan saja. Hanya mengukuhkan saja mengandung pengertian bahwa sebelumnya sudah ada peristiwa hukum, adanya KTUN deklaratif hanya untuk mengukuhkan saja.

Apakah Keppres tentang pemberhentian Evi Novida Ginting ini bersifat deklaratif? Jika dikaitkan dengan permasalahan di atas, maka Keppres tentang pemberhentian Evi Novida Ginting merupakan KTUN deklaratif. Hal ini dikarenakan, Keppres ini hanya menindaklanjuti putusan DKPP yang telah memberhentikan Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU RI. Dalam hal ini Presiden tidak dapat menolak putusan DKPP, hal ini sangat berbeda jika Presiden punya hak tolak terhadap putusan DKPP.

Aspek yang kedua adalah aspek yuridis. Dalam Pasal 2 huruf e undang-undang No. 9 Tahun 2004 menyatakan “tidak termasuk dalam pengertian KTUN menurut undang-undang ini, yakni KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

”Kedudukan DKPP apakah sebagai badan peradilan atau tidak masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum. Meski begitu, sebagaimana yang disampaikan oleh Jimly Asshidiqie, bahwa pemahaman akan hukum akan menjadi cacat dan kurang sempurna apabila tidak dilengkapi dengan pemahaman akan etika. Dalam hal inilah kemudian muncul gagasan constitutional law and ethics.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Earl Warren (1953-1969) yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat bahwa, “law floats in a sea of ethics” yang artinya bahwa hukum itu mengapung dalam samudera etika.

Berdasarkan pandangan Jimly Asshidiqie dan Earl Warren di atas maka terlepas apakah putusan DKPP dapat dikatakan sebagai putusan pengadilan atau tidak akan tetapi paling tidak ada satu kesamaan yang paling substantif antara putusan DKPP dan putusan peradilan. Putusan DKPP ini memiliki daya ikat selayaknya putusan peradilan.

Yang membedakan adalah putusan peradilan masih dimungkinkan adanya upaya hukum (kecuali putusan MK), sedangkan putusan DKPP tidak dimungkinkan ada upaya hukum lagi karena bersifat final dan mengikat.

KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf e di atas tidak lain merupakan KTUN untuk menindaklanjuti putusan peradilan yang telah memiliki daya hukum mengikat (inkracht van gewijsde).

Oleh karena itu, jika masih ada upaya hukum dari pihak-pihak yang berperkara, misalnya dalam sengketa tanah, maka badan/pejabat tata usaha negara tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan KTUN. Baik secara teoritik maupun secara yuridis memiliki dasar logika yang jelas, yakni jika suatu KTUN itu hanya menindaklanjuti putusan yang bersifat final dan mengikat, maka KTUN ini tidak dapat dibatalkan.

Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) undang-undang No. 9 Tahun 2004 menyebutkan alasan (posita) dalam menggugat KTUN. Menurut Pasal 53 ayat (2) tersebut KTUN dapat digugat dengan dua alasan.

Pertama, jika KTUN itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, jika KTUN itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Pertanyaannya mungkinkah Keppres tentang pemberhentian Evi Novida Ginting bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan AUPB? Bagaimana mungkin Presiden melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan AUPB, seperti bertindak sewenang-wenang, sedangkan Presiden hanya menindaklanjuti putusan dari DKPP.

Putusan PTUN ini justru tidak menyelesaikan persoalan pemberhentian Evi Novida Ginting ini, karena bagaimanapun juga suatu putusan pengadilan harus bisa dieksekusi. Putusan PTUN ini memerintahkan kepada Presiden untuk melakukan rehabilitasi terhadap Evi Novida Ginting.

Bagaimana Presiden dapat melakukan rehabilitasi terhadap Evi Novida Ginting, sedangkan yang memiliki kewenangan untuk melakukan rehabilitasi terhadap Evi Novida Ginting adalah DKPP? Apakah Presiden dapat memerintahkan DKPP untuk mengevaluasi dan mencabut status Evi Novida Ginting dari pemberhentian tetap menjadi rehabilitasi?

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, DKPP memiliki kedudukan yang sama dengan KPU dan Bawaslu, yakni sebagai penyelenggara pemilu. Hanya antara KPU, Bawaslu dan DKPP memiliki fungsi yang berbeda.

KPU memiliki fungsi penyelenggaraan pemilu terkait dengan teknis pemilu. Bawaslu memiliki fungsi mengawasi kinerja dari KPU, sedangkan DKPP memiliki fungsi sebagai penegak kode etik terhadap anggota KPU dan Bawaslu, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kabupaten/kota.

Dalam desain kelembagaan negara, KPU, Bawaslu dan DKPP merupakan lembaga independen sehungga tidak bisa diintervensi oleh lembaga negara manapun termasuk Presiden. Oleh karena itu tidak mungkin Presiden dapat melaksanakan amar dari putusan PTUN, karena Presiden tidak memiliki kewenangan untuk merehabilitasi Evi Novida Ginting.

Putusan PTUN ini malah membuat kasus ini menjadi semakin tidak jelas, karena di satu sisi Evi Novida Ginting telah diberhentikan sebagai anggota KPU berdasarkan putusan DKPP, tetapi di sisi yang lain KTUN yang merupakan tindak lanjut terhadap putusan DKPP telah dibatalkan oleh PTUN.

Hal ini tentu saja mengingatkan pada apa yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo bahwa, “law is the art of interpretation” yang menegaskan bahwa hukum adalah ‘seni’ untuk berinterpretasi.

Namun yang menjadi permasalahan, apakah ‘interpretasi’ dapat disamakan dengan ‘busa kata’ yang hanya dinyatakan tanpa memenuhi kaidah prinsip, teori, dan konsep hukum?. Dalam hal inilah maka pemahaman dan ketaatan akan prinsip, teori, dan konsep hukum menjadi sesuatu yang terpenting khususnya dalam putusan PTUN terkait kasus Evi Novida Ginting ini.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar