KPK Harus Ambil Alih Kasus Tiphone yang Mangkrak 4 Tahun di Kejaksaan

Kamis, 23/07/2020 10:18 WIB
PT. TiPhone Indonesia yang sahamnya dimiliki PT Telkom melalui anak usahanya, PT PINS (Ist)

PT. TiPhone Indonesia yang sahamnya dimiliki PT Telkom melalui anak usahanya, PT PINS (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Kalau Kejaksaan Agung tidak sanggup menangani kasus KKN dalam akuisisi saham Tiphone oleh PT PINS, anak usaha PT Telkom, maka sebaiknya menyerahkan pemeriksaan kasusnya kepada KPK. Sebab kasus ini sudah mangkrak 4 tahun di Pidsus Kejaksaan Agung dan menimbulkan tanda tanya publik ada apa dan kenapa kasus ini dipetieskan.

Demikian dikatakan praktisi hukum dan Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI), Dedi Ahmad kepada Law-Justice.co di Jakarta, Kamis (23/7). Dedi mengatakan penyidik dan strategi yang dimiliki KPK jauh lebih baik dan transparan dari pada Kejaksaan. “Saya yakin KPK akan bertindak cepat menangani kasus ini. Tentunya, mereka akan segera memanggil pihak terkait seperti komisaris dan Direksi pejabat Telkom serta PINS pada saat itu, untuk diperiksa intensif,`` tegas Dedi.

UU KPK secara tegas menyatakan KPK berwenang untuk mengambil alih penyidikan dari instansi penegak hukum yang lain jika kasus yang disidik tidak ada kemajuan atau progres dan instansi yang bersangkutan menyatakan tidak mampu menangani kasus tersebut, tambah Dedi.

Sementara itu Kapuspenkum Kejaksaan Agung dan staf Pidsus Kejagung yang sudah beberapa hari ini dimintai konfirmasinya oleh wartawan Law-Justice.co, mengenai kasus ini, sampai berita ini dimuat hanya menjawab diplomatis  bahwa sedang mencari informasi soal kasus ini.

Akibat dari pengelotoran dana pinjaman Rp 400 miliar kepada Tiphone yang saat itu kinerja keuangannya sedang bermasalah, maka Telkom dihadapkan pada situasi harus mengakuisisi saham berkode TELE (Tiphone). “Di mana saham Tiphone yang berkode TELE tersebut sedang anjlok hingga kisaran mendekati Rp 600/saham.

Hingga hampir satu tahun lebih saham Tiphone tak kunjung naik melebihi harga yang sama dengan harga Tiphone yang dibeli oleh PINS,” tegasnya. PINS Indonesia telah mengambil alih sebanyak Rp 1,11 miliar (15 persen) saham Tiphone senilai Rp 876,7 miliar dengan dikurangi dari dana pinjaman sebesar Rp 400 miliar yang dikonversi dalam bentuk kepemilikan saham TELE.

PINS Indonesia membeli saham Tiphone dari Boquete Group SA, Interventures Capital Ltd, PT Sinarmas Asset Management, dan Top Dollar Investment Ltd. Perjanjian jual-beli ditandatangani pada 11 September 2014. Ditengarai ada fraud dan berindikasi merugikan negara.

Kasus ini tidak ada bedanya dengan kasus PT Danareksa sekuritas yang disidik Kejaksaan Agung yang berawal dari gagal bayar dari repo (gadai) saham PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP). Kasus repo saham ini terjadi pada akhir 2015. Kasus Danareksa Sekuritas bisa menjadi yurisprudensi bagi Kejaksaan Agung untuk bisa menyidik kasus pembelian saham TELE ( Tiphone) oleh Telkom.

Pada saat pembelian saham Tiphone ini susunan Direksi dan Komisaris PT Telkom 2014-2019 adalah sebagai berikut:

Direktur Utama : Alex J. Sinaga
Direktur : Indra Utoyo
Direktur : Abdus Somad Arief
Direktur : Heri Sunaryadi
Direktur : Herdy Rosadi Harman
Direktur : Dian Rachmanwan
Direktur : Honesti Basyir
Direktur : Muhammad Awaluddin

Komisaris Utama : Hendri Saparini
Komisaris : Dolfie Othiel Fredric Palit
Komisaris : Imam Apriyanto Putro
Komisaris : Hadiyanto
Komisaris Independen : Parikesit Suprapto
Komisaris Independen : Johhny Swandi Sjam
Komisaris Independen : Virano Gazi Nasution

Adapun Direktur Utama PINS Indonesia saat itu adalah Mustapa Wangsaatmadja yang bekerjasama dengan Edi Witjara, yang saat itu menjabat sebagai Senior Vice President Bisnis Control  PT Telkom, ditahun 2014, yang berwenang memberi arahan tentang bisnis dan akuisisi. Direksi dan Komisaris PT Telkom saat itu harus dimintai juga pertanggungjawabannya secara hukum  karena tidak mungkin akuisisi sebesar itu bisa terjadi tanpa sepengetahuan dewan Direksi dan persetujuan dewan Komisaris PT Telkom. Edi Witjara saat ini menjabat salah satu Direktur Telkom dan juga menjabat Dewan Penasehat Kepala KSP yang dipimpin Muldoko.

Hasil Audit BPK

Sebelumnya PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE) kembali gagal membayar  (default) bunga obligasi. Kali ini, Tiphone gagal membayar bunga ke-15 atas Obligasi Berkelanjutan I Tiphone Tahap II Tahun 2016 Seri C.

Akibatnya Bursa Efek Indonesia (BEI) memperpanjang suspensi atau penghentian sementara perdagangan saham PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE). Suspensi berlaku untuk seluruh pasar mulai perdagangan Selasa, 14 Juli 2020 sesi I. Kepala Divisi Penilaian Perusahaan 2 BEI, Vera Florida dalam keterbukaan informasinya menyebutkan, suspensi diperpanjang sehubungan dengan gagal bayar obligasi Tiphone.

Pada 10 Juni dan 22 Juni, BEI sudah mengenakan penghentian sementara perdagangan saham Tiphone. Saham TELE sebelum disuspensi sebesar Rp121 per lembar. Suspensi diperpanjang dengan merujuk pengumuman PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) tentang penundaan pembayaran bunga ke-15 Obligasi BKLJ I Tiphone Tahap II Tahun 2016 Seri C (TELE01CCN2).

Pada 7 Juli 2020, Tiphone mengirimkan surat kepada BEI tentang gagal bayar utang yang terdiri dari obligasi dan utang ke bank sindikasi. Obligasi yang gagal bayar terdiri dari utang pokok Rp231 miliar dan bunga Rp6,063 miliar yang jatuh tempo pada 22 Juni. Ditambah obligasi dengan nilai pokok Rp500 miliar dan bunga Rp14,375 miliar yang jatuh tempo 19 Juni 2020.

Sementara utang kepada bank sindikasi terdiri dari utang pokok Rp2,5 triliun ditambah bunga sebesar Rp25,857 miliar plus 923.348 dolar yang jatuh tempo 23 Maret 2020, dan bunga Rp25,867 miliar dan 759.375 yang jatuh tempo pada 22 Juni 2020. Dalam surat tersebut, manajemen Tiphone mengaku sedang berupaya melakukan restrukturisasi utangnya.

Adapun, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyematkan peringkat kredit idSD atau selective default untuk Tiphone Mobile Indonesia. Selain itu, lembaga pemeringkat itu menurunkan peringkat Obligasi Berkelanjutan II Tahap II Tahun 2019 dari idCCC menjadi idD.

Adanya fraud dan sekarang sahamnya disuspen karena gagal bayar utang sudah menjadi bukti yang sangat kuat bahwa ada yang tidak beres dalam tata kelola, manajemen resiko dan prinsip kepatuhan dalam pengelolaan bisnis Tiphone, yang pada ujungnya akan memberatkan PT PINS sebagai anak usaha PT Telkom dan pemilik saham Tiphone. 

Anehnya walau kasusnya sudah terang benderang seperti ini namun Kejaksaan Agung belum transparan dalam mengungkap kasus ini dan sudah mangkrak 4 tahun di gedung bundar Pidsus Kejagung. Padahal Kejaksaan Agung sudah mendapatkan hasil audit dari BPK terhadap nilai kerugian negara akibat kasus pembelian saham Tiphone yang bermasalah ini. Hasil audit BPK ini harus dibuka kepada publik karena Telkom adalah perusahaan publik dan milik rakyat. Pertanyaan publik adalah ada apa ini Pak Jaksa Agung?

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar