Diam-diam, Tekstil Impor China Serbu Indonesia saat Pandemi Corona

Selasa, 21/07/2020 10:42 WIB
Karyawan industri tekstil (Medcom)

Karyawan industri tekstil (Medcom)

Jakarta, law-justice.co - Menurut data Kementerian Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) impor tekstil dan garmen dalam beberapa waktu terakhir terus melonjak.

Data itu menyebut, impor garmen naik 8%, karpet dan penutup lantai tekstil melonjak 25% selama periode Januari-Mei 2020.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta pun membenarkan hal tersebut.

Kata dia, pelaku usaha di sektor hulu tekstil dan produk tekstil (TPT) mengaku kewalahan dengan banjirnya barang impor tekstil dan garmen ini.

Dia menyebut, sekitar 50% barang tekstil di dalam negeri sudah dikuasai oleh barang impor dengan China sebagai penyumbang terbesar. Barang tekstil dari negeri tirai bambu itu mendominasi dengan persentase sekitar 40% dari keseluruhan pasar di Indonesia.

"Pertama pasti China, karena stok produksinya terus. Dia nggak bisa jual karena corona. Tapi stok dia besar, nggak bisa kemana-mana. Itu karena over supply dia harus buang. Di negara lain dia kena safeguard, anti dumping seperti Vietnam, India, bahkan Turki HS 50-63 dia naikkan bea masuk langsung besar. Cuma Indonesia yang nggak (ketat), pasti dia masuk," katanya seperti melansir cnbcindonesia.com, Senin 20 Juli 2020 kemarin.

Kata dia, besarnya barang impor yang masuk ke Indonesia diakui sangat menyulitkan produk lokal untuk berkembang.

Pasalnya, harga yang ditawarkan jauh lebih murah dibanding produk lokal buatan Indonesia. Itu tercipta karena adanya sistem yang dirasa tidak adil untuk pelaku usaha lokal.

Jika dirunut, permasalahan sudah mulai terjadi di pelabuhan. Redma menyebut sering terjadi permainan under volume dan under value, dimana volume barang yang masuk ke pelabuhan jauh lebih besar dari yang tercatat. Ditambah dengan harga yang lebih murah untuk mengelabui pajak.

Permainan seperti ini umumnya dilakukan oleh oknum aparat. Salah satunya terungkap setelah Kejagung mengumumkan sejumlah tersangka dari kasus korupsi importasi tekstil di Batam. Jika sistem ini bisa dibenahi, Redma yakin produk dalam negeri bisa lebih mudah bersaing.

"Kalau runut cost produksi beda barang dengan China paling beda 10%, maksimal 15%. Tapi dengan dumping harga bedanya udah 30%. Sama orang sini dia under volume, under value. Soal harga harusnya 1 Kg 2 dolar dia tulis 1 Kg 1 dolar. Volume dikecilkan, nilai dikecilkan. Bayar pajak makin kecil. Sedangkan kita perlu bayar PPN 10%. Jadi bedanya bisa 40-50% dengan barang impor," jelasnya.

Maraknya impor tekstil dan garmen di 2020 ini seolah mengulang masa suram industri tekstil 2019 dan tahun-tahun sebelumnya. Sempat ada persoalan celah regulasi, pelanggaran pelaku usaha, hingga ada penyelewengan pengawas di internal pemerintah.

Pada 2018 saja ada penyimpangan proses impor TPT, Bea Cukai mengklaim telah melakukan 430 penindakan dengan nilai Rp171,34 miliar. Hingga bulan September 2019 sudah ada 406 penindakan dengan nilai Rp 138,11 miliar.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar