Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H., Direktur HRS Center

Waspadai RUU BPIP Lebih Berbahaya dari RUU HIP

Selasa, 21/07/2020 06:52 WIB
Ketua DPR Puan Maharani didampingi pimpinan DPR lainnya bersama Menkopolhukam Mahfud MD dan jajaran menteri pemerintah saat konferensi pers terkait dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) diubah menjadi RUU BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (16/7/2020). (Sumber: Humas DPR)

Ketua DPR Puan Maharani didampingi pimpinan DPR lainnya bersama Menkopolhukam Mahfud MD dan jajaran menteri pemerintah saat konferensi pers terkait dengan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) diubah menjadi RUU BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (16/7/2020). (Sumber: Humas DPR)

Jakarta, law-justice.co - Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) yang diusulkan oleh pemerintah mengandung ketidakjelasan tujuan yang hendak dicapai. Sejatinya materi muatan suatu Rancangan Undang-Undang merupakan pengaturan lebih lanjut Undang-Undang Dasar 1945.

Di sini dipertanyakan posisi RUU BPIP terkait dengan norma dasar yang menjadi dasar hukum pembentukannya. Setidak-tidaknya atas dasar perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

Faktanya, RUU BPIP didasarkan atas kehendak Presiden semata untuk menjadikan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 sebagai ideologi Pancasila sebagaimana tertuang dalam Keppres Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Kehendak tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan ada perjumpaan kehendak dengan PDI-P.

Demikian jelas hal ini terbaca dengan dibentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018 hingga munculnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) dan sekarang RUU BPIP. Kesemuanya itu merupakan satu kesatuan rangkaian proses Peta Jalan Ideologi Pancasila 1 Juni 1945.

Peta Jalan yang dimaksudkan adalah memuluskan kerja politik ideologis PDI-P dalam rangka tafsir tunggal Pancasila. Kondisi demikian, menegasikan keberadaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Dekrit Presiden 1959 yang secara tegas menyatakan “Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi.”

Kerja politik ideologis PDI-P kemudian merasuk ke dalam pikiran kolektif rezim guna ‘menghadang’ perjuangan penerapan Syariat Islam dalam sistem hukum nasional secara legal konstitusional.

Untuk kepentingan ini, maka sebelumnya diterbitkan Perppu Ormas – kini menjadi Undang-Undang – dengan sasaran awal Hizbut Tahrir Indonesia yang dianggap mengusung ‘ideologi’ Khilafah sebagai “paham lain” yang bertujuan untuk mengganti atau mengubah Pancasila dan UUD 1945.

Padahal Khilafah adalah merupakan ajaran agama Islam, telah menjadi model sistem pemerintahan dalam masa Khulafaur Rasyidin. Penulis telah nyatakan pada saat pemberian keterangan Ahli di muka sidang Mahkamah Konstitusi, telah terjadi kriminalisasi terhadap ajaran Khilafah!.

Penulis saat itu juga menyatakan penolakan terhadap sikap Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Pusat yang menyatakan “dapat memahami pemerintah menerbitkan Perppu Ormas”.

Resultan dari itu semua sekarang terbukti dengan hadirnya RUU HIP yang berbau sekularis-komunis dan RUU BPIP. Keduanya mengandung agenda memasung ajaran Islam dalam penyelenggaraan negara

Dengan hadirnya RUU BPIP, kembali patut diwaspadai. RUU a quo bukan sebagai ‘jalan tengah’ penyelesaian polemik, melainkan justru lebih berbahaya dari RUU HIP. Dapat penulis sampaikan disini beberapa hal yang harus menjadi catatan kita bersama.

Pertama, pada butir mengingat, tidak dicantumkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Padahal Undang-Undang ini demikian penting guna penegakan hukum terhadap siapa saja termasuk Partai Politik sekali pun yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud/atau tanpa maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar Negara.

Termasuk pula mengadakan hubungan dengan organisasi di luar negeri yang berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Memang Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang dan Larangan Terhadap Komunis/Marxisme-Leninisme dicantumkan. Namun, terkesan sebagai ‘pajangan’ belaka, sebab Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tidak dimasukkan.

Di sisi lain, UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas disebutkan. UU Ormas ini demikian longgar dan multi tafsir menyangkut ketentuan Pasal 59 Ayat 4 huruf c, dengan frasa “paham lain” yang bertujuan untuk mengganti/mengubah Pancasila dan UUD 1945. Sifat multi tafsir seperti ini membuka peluang sebagai ‘alat pemukul’ atas dasar tafsir tunggal Pancasila yang melekat pada BPIP.

RUU BPIP telah mendelegasikan kepada BPIP untuk merumuskan sendiri tugas dan fungsinya melalui Peraturan BPIP terkait dengan nilai-nilai Pancasila yang akan dilembagakan. Patut dicatat, UU Nomor 16 Tahun 2017 memang menyebutkan Ateisme, Komunisme/Marxisme-Leninisme, namun keberlakuannya menunjuk pada Ormas, bukan Partai Politik. Oleh karenanya berbeda dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 sebagaimana disebutkan di atas.

Kedua, disebutkan BPIP menyelenggarakan fungsi antara lain – yang signifikan – pelembagaan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan, pelaksanaan dan penegakan hukum. Di sini peranan BPIP menjadi penafsir tunggal Pancasila dalam sistem hukum, baik dalam pembentukan Undang-Undang maupun dalam rangka implementasi penegakan hukum.

Pada penegakan hukum dalam perspektif Criminal Justice System, BPIP menjelma menjadi bagian dari Sistem Peradilan Pidana. Dengan kata lain, BPIP berfungsi sebagai alat penegakan hukum. Di sisi lain, RUU BPIP telah memberikan kekuasaan kepada BPIP untuk merumuskan sendiri atas pelembagaan nilai-nilai Pancasila baik dalam pembentukan, pelaksanaan dan penegakan hukum.

Ketiga, terkait dengan disebutkannya UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam butir mengingat, maka BPIP juga memiliki alas hak untuk menilai suatu “paham lain” yang terindikasi terorisme. Dengan demikian, BPIP berwenang untuk mengklasterisasi suatu ajaran/paham keagamaan yang bertentangan dengan Pancasila.

Untuk kemudian, dianggap sebagai ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas. Bukan hal yang tidak mungkin, setiap orang atau Ormas Islam yang mewacanakan sistem Khilafah dan Syariat Islam akan termasuk kategori terindikasi terorisme dan pada akhirnya diterapkan tindakan tertentu.

Perlu untuk diketahui, penyelenggaraan pelembagaan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan, pelaksanaan dan penegakan hukum oleh BPIP tidak terdapat dalam RUU HIP. RUU BPIP memang ringkas hanya tujuh belas pasal, namun mengandung konsentrasi besar dalam sistem penegakan hukum. Keberadaan BPIP jika ditingkatkan dengan Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan, patut diduga kuat akan mengancam siapa saja yang dianggap sebagai musuh Pancasila.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar