H. Desmond J. Mahesa, SH.MH, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Skandal Djoko Tjandra, Siapa Ojeknya?

Minggu, 19/07/2020 13:40 WIB
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Kasus Djoko Tjandra ramai diberitakan media setelah keberhasilannya masuk dan keluar Indonesia dengan leluasa. Pada hal ia adalah seorang buronan kakap kasus korupsi yang sudah di buru selama 11 tahun lamanya. Keberhasilannya dalam menaklukkan aparat hukum di Indonesia telah membuat banyak orang geleng geleng kepala.

Kelicinan  Djoko S Tjandra mengobok obok aparat hukum di Indonesia merupakan sebuah tamparan serius dunia penegakan hukum sekaligus mempermalukan wajah Indonesia di mata dunia. Fenomena ini semakin mengukuhkan dugaan publik bahwa hukum di Indonesia memang bisa diatur atur sedemikian rupa sesuai selera.

Seperti apa kejanggalan kejanggalan yang mewarnai perjalanan kasus Djoko Tjandra ?, Apakah kejanggalan kejanggalan itu  hanya terjadi pada saat ini saja  ?. Dengan banyaknya pihak yang terlibat dalam kasus Djoko Tjandra, apakah ini merukan kejahatan yang terorganisir sifatnya ? Lalu siapa kekuatan yang menjadi “ojek” pengantar dan yang mendalanginya ?.

Kejanggalan Kejanggalan itu

Kasus Djoko Tjandra kembali mencuat setelah tersiar berita tanggal 8 Juni 2020, ia ketahuan membuat KTP di Kelurahan Grogol Selatan  Jakarta ditemani kuasa hukumnya. Segera setelah berita ini tersiar, muncul kejanggalan kejanggalan lainnya. Ibarat kota Pandora satu persatu tersibak keanehannya keanehannya seperti langkahnya melakukan Peninjauan Kembali (PK), adanya surat jalan yang dikantonginya, pembuatan paspor atas namanya,surat keterangan dokter bebas virus corona. Jika di urut ke belakang kejanggalan juga terkuak dengan dihapuskannya red notice atas namanya oleh Sekretaris NBC Interpol dengan alasan Kejaksaan Agung tidak lagi memintanya.

Serangkaian kejanggalan kejanggalan dalam setiap langkah itu jika di rincikan akan mengandung  pertanyaan yang bisa membuat orang geleng geleng kepala.

  1. Pembuatan KTP Kilat

Sebanyak 4 orang salah satunya Djoko Tjandra datang ke kantor kelurahan Grogol Selatan, Jakarta pada Senin (8/6/2020) pukul 08.00 WIB. Djoko ditemani sopir dan kuasa hukumnya, Anita Kolopaking, datang ke sana untuk membuat kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) untuk kliennya. Begitu tiba, Anita langsung menghubungi Lurah Grogol Selatan Asep Subahan. Asep pun keluar dari ruangan kerjanya di lantai dua menuju lobi untuk menemuinya.

Tiga hari sebelumnya, dengan membawa surat kuasa dari Joko Tjandra, Anita sudah menemui Asep untuk menanyakan data dan status kependudukan kliennya. Jadi Senin pagi itu, Djoko Tjandra tinggal datang ke kelurahan untuk merekam data KTP-el. Foto wajah Djoko, sidik jari, dan tanda tangan diambil dengan cukup singkat. Seluruh proses pembuatan KTP-el hanya berlangsung sekitar 30 menit.

Lurah Asep dan petugas di kelurahan tak menyadari bahwa yang mereka layani adalah buronan yang sedang diburu Kejaksaan Agung. ”Tidak ada yang tahu (bahwa Djoko Tjandra buron). Karena di sistem kami juga tidak ada penandanya, misalnya ada tanda alert (waspada),” kata Asep seperti diberitakan Harian Kompas, Senin (6/7/2020).

Dengan sendirinya pembuatan KTP kilat Djoko Tjandra memunculkan serangkaian pertanyaan diantaranya :

  • Apakah pihak kelurahan dan pengacaranya tidak tahu bahwa Djoko Tjandra adalah seorang buron yang telah pindah kewarganegaraan yaitu menjadi warga negara Papua Nugini sejak ia melarikan diri ke mancanegara ?. Sehingga yang bersangkutan tidak berhak untuk mendapatkan KTP karena bukan warga negara Indonesia ?. Seperti diberitakan TEMPO.CO, 16 Juli 2012, Kejaksaan Agung menyatakan terdakwa buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Djoko Tjandra, sudah resmi menjadi warga negara Papua Nugini. "Tepatnya sejak bulan Juni lalu," kata Wakil Jaksa Agung, Darmono, saat ditemui wartawan di kantornya, Senin, 16 Juli 2012. Darmono mengatakan informasi kepastian pindahnya kewarganegaraan Djoko diperoleh dari Duta Besar Papua Nugini di Indonesia, Peter Ilau, yang datang ke kantor Kejaksaan Agung pada pekan lalu. Pertemuan itu merupakan jawaban pemerintah Papua Nugini atas surat permohonan yang dikirim pemerintah Indonesia yang mempertanyakan kebenaran status Djoko.
  • Apakah pihak Kelurahan tidak mengetaui bahwa data di KTP  baru Djoko Tjandra berbeda dari data lama. Karena di KTP baru, Joko Tjandra lahir pada 1951. Sementara menurut dokumen pengadilan, Joko lahir pada 1950.
  • Mengapa proses pembuatan KTP Djoko Tjandra begitu cepat yaitu hanya perlu waktu satu hari untuk melakukan perekaman data, hingga pencetakannya pada hal  menurut warga setempat, proses mereka mengurus KTP-el di Kelurahan Grogol Selatan biasanya memakan waktu sebulan lamanya.
  • Mengapa data kependudukan Djoko sebelum menjadi warga negara Papua Nugini masih dapat dibuka dan diakses dalam sistem dukcapil ?. Karena suatu keanehan jika orang yang sudah pindah kewarganegaraan, apalagi karena terlibat korupsi, masih punya data kependudukan lazimnya rakyat Indonesia.
  • Persoalan lain adalah bagaimana bisa basis data buronan kakap seperti Djoko Tjandra masih bisa diakses dan diutak-atik di low level security setingkat kelurahan? Apakah Dispenduk tidak memberlakukan akses khusus terhadap data kependudukan para buronan?
  1. Mengajukan Peninjauan Kembali (PK)

Di hari yang sama dengan dibuatnya KTP itu, buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra tiba-tiba muncul dan mendaftarkan peninjauan kembali (PK) atas vonis 2 tahun penjara yang harus dijalaninya. Berdasarkan peraturan Mahkamah Agung (MA) Djoko memang wajib datang sendiri dalam sidang PK di PN Jaksel. Untuk diketahui, Joko mengajukan gugatan PK atas vonis Mahkamah Agung pada 2009. Majelis hakim PK MA mengabulkan gugatan PK yang diajukan Kejaksaan Agung terhadap Joko. Putusan itu, merevisi putusan pengadilan sebelumnya yang memvonis bebas Joko Tjandra.

Dengan datangnya sendiri Djoko Tjandra ke PN Jaksel, serangkaian pertanyaan juga muncul mengiringinya:

  • Mengapa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menerima Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana dan buronan perkara pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra. Pasalnya, selain dia itu buron, identitas Djoko dinilai tidak sah, lantaran terdapat perbedaan tahun lahir antara KTP baru Djoko Tjandra dengan dokumen lamanya, termasuk putusan pengadilan.
  • Mengapa Kejaksaan Agung tidak menangkap Djoko Tjandra yang statusnya masih menjadi terpidana atas kasusnya dimana adanya PK seharusnya tidak menghalangi Kejaksaan Agung untuk mengeksekusi pidana 2 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya ?
  1. Surat Jalan Djoko Tjandra

Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo menjadi perbincangan seusai diduga menerbitkan surat jalan untuk buronan Kejaksaan Agung RI terkait kasus hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.

Surat jalan tersebut tertera dengan nomor SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020 dan ditandatangani oleh Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo.

Dalam surat jalan itu tertera nama Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dengan jabatan sebagai konsultan. Disebutkan pula bahwa Djoko Tjandra hendak berangkat dari Jakarta menuju Pontianak, Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni 2020 untuk keperluan konsultasi dan koordinasi.

Bukan hanya membuatkan surat jalan, menurut Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman mengungkapkan Brigjen Prasetijo Utomo sendiri sempat menemani buronan Djoko S Tjandra ke Pontianak, Kalimantan Barat.Menurut Boyamin, perjalanan ke Pontianak itu menggunakan pesawat jet pribadi."Prasetijo Utomo juga menurut informasi yang masuk ke saya juga dia pernah ikut mengawal ke Pontianak dengan private jet," kata Boyamin dalam kegiatan diskusi, Jakarta, Sabtu (18/7).

Tentunya pembuatan surat jalan untuk Djoko Tjhandra dan menyusul langkah Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo untuk menemaninya ke Pontianak menimbukan serangkaian tanda tanya :

  • Mengapa Polri Brigjen Prasetyo Utomo berani membuat surat jalan untuk seorang buron kakap yang seharusnya di tangkapnya ? Apalagi menjadikannya sebagai konsultan pula ?
  • Mengapa seorang jenderal polisi sampai menyempatkan diri untuk menemani seorang buron untuk menyelesaikan urusannya ?
  1. Pembuatan Paspor

Dilansir Harian Kompas, Selasa (14/7/2020), Djoko Tjandra mengajukan pembuatan paspor 22 Juni dan paspor terbit pada 23 Juni. Djoko hadir di Kantor Imigrasi Jakarta Utara, tapi saat paspor terbit orang lain yang mengambilnya. Dia membawa surat kuasa dari Djoko. Proses pembuatan paspor berjalan mulus karena petugas tak mengenali wajah Joko. Status Joko sebagai buronan pun tak tercatat di sistem.

Selain itu, Joko memenuhi semua persyaratan, seperti dokumen KTP elektronik dan paspor lamanya, periode 2007-2012. Meski demikian, berdasarkan penelusuran imigrasi, terungkap Djoko belum pernah menggunakan paspor itu. Demikian pula pada 2009, saat Djoko kabur sehari sebelum putusan Mahkamah Agung yang memvonisnya bersalah, paspor lama tidak digunakan.

Dengan adanya paspor yang dikeluarkan oleh pihak Imigrasi Jakarta utara itu memunculkan pertanyaan:

  • Apakah pihak imigrasi tidak mengetahui bahwa yang bersangkutan adalah seorang buron kakap, bukan warga negara Indonesia dan sudah 11 tahun di incar aparat penegak hukum Indonesia ?
  • Meski saat ini status Djoko Tjandra sebagai DPO telah dicabut, tetapi Djoko merupakan pelaku tindak pidana yang berkekuatan hukum tetap. Bukankah menjadi kewajiban warga negara jika tahu pelaku kejahatan, apalagi sudah terpidana wajib melaporkan ke pihak berwajib. Mengapa ini tidak dilakukan tapi justru menerbitkan paspor untuknya ?
  • Mengapa pihak imigrasi tidak bisa mendeteksi kedatangan Djoko Tjandra ke Indonesia ?
  • Sampai di sini kita melihat celah dalam sistem yang bisa dimanfaatkan koruptor untuk meloloskan diri. Ada ketidakjelasan, siapa yang berhak atas keputusan pencekalan dan panahanan orang di imigrasi, Polisi (NCB-interpol) atau kejaksaan? Jika Kejaksaan, mengapa imigrasi menerima pula permintaan dari NCB-Interpol? Jika NCB-Interpol, mengapa ada permintaan dari Kejagung?

Bagaimana koordinasi antara Kejaksaan, Polri, Imigrasi, dan Kemendagri dalam urusan data dan status kependudukan buronan?

  1. Dihilangkannya Red Notice

Hilangnya nama buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra dalam red notice atau perintah tangkap Interpol sejak 2014 menjadi tanda tanya.Seorang sumber yang mengetahui proses tersebut mengatakan kepada Beritasatu.com, Rabu (8/7/2020), bahwa sistem red notice Interpol sangat akurat dan objektif. Sistem tersebut tidak bisa terhapus otomatis.

"Semua itu bergantung permintaan dari masing-masing negara anggota. Tiap anggota punya hak untuk memasukkan dan mengeluarkan seseorang dari red notice,” imbuhnya.Prosesnya, masih kata sumber itu, diajukan ke Interpol pusat di Lyon melalui Interpol Jakarta. Seluruh proses tersebut diasumsikan sudah melewati prosedur dan mekanisme yang berlaku.

Saat status Djoko sudah tidak masuk dalam red notice, maka ini menjadi pertanyaan serius sebagai berikut .

  • Atas dasar landasan hukum apa sehingga red notice tersebut dihapuskan ?
  • Apakah sudah ada gelar perkara untuk mencabut red notice tersebut ?
  • Siapa yang mencabut red notice tersebut yang implikasinya begitu  luas karena Djoko Tjandra tidak lagi masuk daftar cekal sehingga memudahkan keluar masuk Indonesia ?
  • Bagaimana mekanisme standar red notice? Kejaksaan mengajukan permintaan periodik -- diperpanjang setelah jatuh tempo -- kepada NCB-Interpol (perspektif kepolisian) atau red notice otomatis diperpanjang selama buronan belum tertangkap (pandangan Kejaksaan Agung)?
  1. Surat Dokter Bebas Covid -19

Dilansir suara.com Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono membeberkan cerita di balik surat keterangan pemeriksaan covid-19 atas nama Djoko Tjandra, yang diterbitkan oleh Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri.

Ia menyebut, ada dua orang yang melakukan rapid test dengan meminta dituliskan nama buronan kasus hak tagih atau cessie Bank Bali tersebut.  Irjen Argo menjelaskan, dokter yang menangani tersebut dipanggil oleh mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, Brigadir Prasetijo Utomo ke ruangannya. Di ruangan tersebut sudah ada dua orang yang tidak dikenal oleh dokter.

"Jadi dokter tadi dipanggil oleh BJP PU (Brigadir Prasetijo Utomo) ya kemudian di ruangannya sudah ada dua orang yang tidak dikenal sama dokter ini dan kemudian melaksanakan rapid test," kata Argo di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (16/7/2020).

Setelah melakukan pemeriksaan, hasil dari rapid test pun menunjukkan negatif covid-19. Dokter meminta data untuk dituliskan dalam surat keterangan. Argo menyebutkan dokter tersebut tidak mengenali dua orang tersebut. Hanya saja, dokter itu diminta untuk dibuatkan surat keterangan dengan nama Djoko Tjandra. "Setelah rapid dinyatakan negatif kemudian dimintakan surat keterangannya. Itu sebatas itu. Jadi dokter tidak mengetahui tapi disuruh membuat namanya ini, untuk membuat namanya Djoko Tjandra."

Dalam surat bernomor Sket Covid-19/1561/VI/2020/Satkes dijelaskan pasien bernama Joko Soegiarto alias Djoko Tjandra dengan pekerjaan konsultan biro korwas PPNS telah melakukan wawancara, pemeriksaan fisik dan rapid test Covid-19 pada 19 Juni 2020. Hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan negatif Covid-19.

Terbitnya surat dokter bebas covid-19 untuk Djoko Tjandra, lagi lagi memunculkan pertanyaan, antara lain :

  • Mengapa perlakuan terhadap Djoko Tjandra begitu istimewa untuk mendapatkan surat keterangan bebas covid -19 dari seorang dokter yang menanganinya ?
  • Mengapa seorang Djoko Tjandra buron korupsi malah difasilitasi untuk mendapatkan surat dokter bebas covid pada hal aparat semestinya menangkapnya ?

Betapa Licinnya Djoko Tjandra

Djoko Tjandra memang terkenal licin dan piawai memanfaatkan aparat penegak hukum untuk mendukung kesuksesan bisnis yang dijalaninya. Kelicinan itu tidak saja ditunjukkan dalam peristiwa saat ini dimana ia bebas keluar masuk Indonesia meskipun statusnya sebagai buron yang dicari cari negara. Untuk melihat kasus DJoko Tjandra ada baiknya kita melihat kilas bailk kasus ini sampai dengan terjadinya peristiwa saat ini yang menghebohkan jagad penegakan hukum di Indonesia.

Dia awalnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tetapi Kejaksaan Agung berhasil menelikungnya melalui upaya peninjauan kembali (PK).  Namun, sehari sebelum putusan itu diketok palu pada 2009, Djoko sudah kabur ke mancanegara. Untuk diketahui putusan PK dari MA menyatakan bahwa Joko divonis dua tahun penjara dan membayar denda Rp15 juta. Uang Joko sebesar Rp546 miliar di Bank Permata – dahulu Bank Bali - pun disita negara. Sehari setelah putusan PK itu Joko Tjandra dinyatakan buron ke Papua Nugini, tetapi Joko mengajukan PK untuk kedua kalinya melalui O.C. Kaligis sebagai kuasa hukumnya.

Inilah skandal pertama yang diarsiteki Djoko Tjandra. Mustahil sebuah kebetulan dia melarikan diri sebelum dieksekusi oleh pihak aparat yang berwenang menanganinya. Pasti, ada pihak yang membocorkan putusan MA itu, tapi hingga saat ini tak diketahui siapa mereka. Pasti, ada tangan-tangan kuat yang membantu Djoko ke mancanegara. Kini, Djoko Tjandra kembali memamerkan keampuhannya. Sama seperti ketika bebas melenggang ke Papua Nugini untuk kemudian menjadi warga negara di sana. Dia leluasa keluar masuk Indonesia tanpa halangan suatu apa. Padahal, dia berstatus terpidana dan buron pula.

Selama 11 tahun penegak hukum kita katanya mati-matian berusaha menangkapnya tapi selama itu pula nihil tak ada hasilnya. Djoko begitu mudah masuk ke Indonesia, padahal konon semua mata pemburu koruptor mengarah kepadanya. Bahkan, Djoko mendaftarkan sendiri PK atas kasusnya di PN Jakarta. . Dia sama sekali tak takut dibekuk karena yakin tidak akan ada yang membekuknya. Skandal kedua yang dirancang Djoko kali ini pun lebih besar dan menyeret lebih banyak institusi untuk terlibat dalam kasusnya.

Banyak kejanggalan yang muncul akibat bobroknya sistem, atau bisa jadi memang sengaja dilakukan aparat sehingga Djoko melenggang ke Indonesia. Masuknya Djoko ke Indonesia tanpa terdeteksi jajaran Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM bukan persoalan sederhana. Pun dengan sikap PN Jaksel yang begitu saja menerima pendaftaran PK dari Djoko Tjandra. Sangatlah aneh mereka tidak tahu bahwa Djoko adalah orang yang dicari-cari selama belasan tahun untuk dijebloskan ke penjara.

Tidak terdeteksinya Djoko Tjandra saat masuk dan keluar lagi dari Indonesia disinyalir merupakan sebuah skenario yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari korespondensi antar lembaga terkait, yakni Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Direktorat Jenderal Imigrasin yang membidanginya. Seperti disinyalir oleh Benny K. Harman dalam rapat di Komisi III. "Jelas sekali kronologi ini adalah sebuah skenario supaya Pak Djoko (Djoko Tjandra) bisa masuk dengan aman, lolos dengan aman, dan juga meninggalkan Indonesia dengan aman," ujarnya

Benny menjelaskan kronologi itu dimulai dari Divisi Hubungan Internasional Kepolisian Republik Indonesia pada 5 Mei 2020 mengirim surat mengenai penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar buronan Interpol.

Kemudian pada 13 Mei 2020, nama Djoko Tjandra dihapus dari daftar pencarian orang di Sistem Manajemen Keimigrasian. Lalu pada 27 Juni 2020, ada permintaan dari Kejaksaan Agung untuk memasukkan nama Djoko Tjandra dalam daftar pencarian orang. Lantas pada 3 Juli 2020, Kejaksaan Agung berkirim surat lagi meminta pihak imigrasi mencegah Djoko Tjandra ke mancanegara

Surat dari Kejaksaan Agung itu ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal Imigrasi Jhoni Ginting dengan menyebarluaskan ke semua pos pemeriksaan imigrasi agar mencegah Djoko Tjandra ke luar negeri.Semula Benny mengira Djoko Tjandra masuk ke Indonesia melalui jalan tikus. Namun berdasarkan dokumen korespondensi yang ada, politikus Partai Demokrat itu meyakini pemerintah yang justru membuka jalan bagi Djoko Tjandra untuk masuk ke Indonesia.

Memang sungguh ajaib, mereka tidak melapor kepada pihak yang berwajib. Kejanggalan lain yang belakangan terungkap ialah Djoko dengan mudahnya mendapatkan KTP elek tronik sebagai salah satu syarat mengajukan PK. Dia malahan mendapatkan identitas diri itu secara superkilat, cuma sekitar setengah jam, di Kelurahan Gro gol Selatan, Jaksel, dengan nama Joko tanpa huruf D di depannya.

Dari situ terungkap pula kejanggalan berikutnya bahwa data kependudukan Djoko sebelum menjadi warga negara Papua Nugini masih dapat diakses alias dibuka. Aneh, sungguh aneh, orang yang sudah pindah kewarganegaraan, apalagi karena terlibat korupsi, masih punya data kependudukan lazimnya rakyat Indonesia.

Siapa Ojeknya ?

Skandal Djoko Tjandra jilid dua jelas-jelas menampar kewibawaan hukum dan keadilan di Indonesia. Ia tidak bisa dipandang sebagai akibat kelalaian semata, tetapi mesti disikapi dengan berpijak pada premis adanya unsur sengaja. Sudah hampir pasti, keluar masuknya Djoko dengan mudah karena ada yang memfasilitasinya. Ada pembantu “ojek” yang mengantarkannya.

Djoko bisa sangat cepat mendapatkan KTP bisa jadi karena ada yang membuatkannya dengan fasilitas istimewa. Data kependudukan Djoko masih bisa diakses di Dukcapil pun tak menutup kemungkinan lantaran ada yang sengaja membiarkannya. Demikian halnya, Djoko bisa mendaftarkan sendiri PK ke PN Jaksel sebab ada yang sengaja melindunginya. Pertanyaan-pertanyaan itu mesti segera dijawab dengan tindakan yang tepat supaya tidak ada syak wasangka.

Sejauh ini yang disangka menjadi “ojek” Djoko Tjandra sudah mulai menikmati hasilnya. Dilingkungan kepolisian, 3 jenderal sudah dicopot (baca dipindah) dari posisinya. Pak  Lurah yang mengeluarkan KTP kilat untuk Djoko Tjandra sudah pula dibebastugaskan oleh Gubernur Jakarta.Tetapi cukupkah itu semua ?.

Dengan adanya fakta masuknya seorang buron ke Indonesia dengan mudah dan terkesan sudah disiapkan atau ada dugaan upaya prakondisi, sehingga dapat melakukan dan mengurus upaya hukumnya dengan lancar adalah indikasi adanya mafia.

Dugaan adanya jaringan mafia yang tersebar di semua sektor birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum, imigrasi, kelurahan, pengadilan dan kepolisian negara. Jaringan mafia ini bisa jadi adalah “ojek” yang sudah dikondisikan dalam waktu lama oleh Djoko Tjandra. Wajar kalau kemudian Anggota Komisi III DPR RI sekaligus mantan Wakapolri Adang Daradjatun khawatir bahwa keterlibatan tiga jenderal Polri dalam kasus pelarian buronan Djoko Tjandra adalah sesuatu yang terorganisir."Saya takut kalau ini bagian dari kegiatan yang paling terorganisir, ini yang paling saya takuti," kata Adang dalam diskusi pada Sabtu (18/7) sebagaimana dikutip cnn. Indonesia.

Akhirnya ketika unsur aparat kepolisian diduga terlibat, kejaksaan, imigrasi, Kemenkumham, serta Kemendagri sepertinya “kompak membela” Djoko Tjandra, maka publik pasti akan bertanya tanya. Mungkinkah bebas keluar masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia itu hanya kebetulan belaka diffasilitasi oleh oknum pejabat yang menjadi ojek ojek pengantar karena tergiur uangnya ?. Kalau ada gerak lembaga yang kompak seperti itu siapa kira kira pengarahnya ?, Mungkinkah ada super “ojek” yang menjadi komandannya ?.

 

 

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar