Ridwan al-Makassary:

Perlukah Melibatkan TNI Dalam Menjaga Harmoni Komunal di Papua?

Sabtu, 11/07/2020 19:01 WIB
Ridwan al-Makassary (Dok.Pribadi/Facebook)

Ridwan al-Makassary (Dok.Pribadi/Facebook)

[INTRO]
Rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Papua menuai “bara api”. Awalnya, juru bicara Kementerian Agama menyatakan bahwa TNI akan dilibatkan dalam menjaga kerukunan beragama. Gelombang penolakan muncul, terutama dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan sejumlah akademisi dan aktivis perdamaian. Ihsan Ali Fauzi, Direktur PUSAD Paramadina, misalnya, menyatakan bahwa pelibatan TNI dalam kerukunan beragama adalah bentuk pengkhianatan terhadap reformasi.
 
Belakangan, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi membantah adanya isu pelibatan TNI dalam menjaga kerukunan umat beragama. Menurutnya, yang dimaksud  kerukunan beragama di Papua adalah terutama terkait pengajaran di sekolah dan masjid. Pak Menag bahkan menegaskan, tidak ada rencana pelibatan TNI seperti yang dipolemikkan di atas. Pihaknya hanya ingin mengais informasi dari Brigjen TNI Sugiyono (Waater Kasad Bid. Ren dan Puanter) tentang kerukunan umat beragama di Papua. Hal tersebut dinyatakan Pak Menag dalam rapat kerja dengan komisi VIII DPR RI di komplek Parlemen, Jakarta, Selasa, 7 Juli 2020.
 
Terlepas dari kontroversi tersebut, penulis mencoba memperkaya wacana ini untuk kepentingan Papua Tanah Damai (PTD). Penulis berargumen bahwa sesuai tupoksinya, TNI tidak seharusnya dilibatkan dalam menjaga kerukunan umat beragama, karena tugas utama mereka adalah menjaga kedaulatan NKRI, termasuk di tanah Papua yang acap bergolak oleh konflik politik yang menahun. Kehadiran dan sepak terjang TNI selama ini, terutama di masa Orde Baru juga telah membangkitkan antipati dan perlawanan yang sengit dari para nasionalis Papua.
 
Karenanya, tulisan sederhana ini akan mengkaji secara ringkas dan padat bagaimana sejarah kerukunan di tanah Papua, apa tantangan kerukunan umat beragama di Papua, kasus-kasus terkini tentang kerukunan umat beragama di Papua, serta peran stakeholder dalam menjaga kerukunan umat beragama di Tanah Papua.
Tilikan historis menunjukkan bahwa Papua telah menyaksikan dan menikmati hubungan antar agama yang damai dan penuh harmoni, meskipun dalam kondisi konflik politik yang berlarut-larut. Sejumlah studi terdahulu mengkonfirmasi hal tersebut bahwa ada jalinan hubungan yang harmonis antara Muslim dan Kristen sebelum era reformasi.
 
Menurut Onim (2006), sejak lama menjelang pertengahan 1998, orang Papua yang terdiri dari beragam agama hidup damai dalam keseharian. Tidak terdapat ketegangan dan konflik antara Muslim dan Kristen karena mereka mengayuh hidup bersama dalam bahtera harmoni komunal dan dalam tuntunan kearifan lokal (Onim, 2006). Dalam nada yang sama, Al-Hamid (2017) menyatakan bahwa konflik agama sangat jarang menjadi isu yang panas di Papua. Hubungan antara penganut Kristen dan orang Islam sangat harmonis, yang ditandai dengan open house (terbuka bagi siapa saja untuk merayakan kegembiraan) dan juga saling mengunjungi pada hari raya Idul Fitri dan hari raya Natal, termasuk saling mengirim makanan dan bingkisan.
 
Juga, dalam pembangunan rumah ibadah, dua komunitas agama yang berasal dari kantong spiritual Ibrahim, saling membantu satu sama lain.Dalam hal ini, Al-Hamid menyatakan, “The Laskar Christ Foundation has been used to help build mosques in Jayapura, even outside Jayapura”. Kisah-kisah lain tentang mutiara kerukunan bertebaran di Tanah Papua.
 
Sayangnya, kondisi yang damai dan harmonis telah berubah menjadi kecurigaan dan prasangka antara Muslim dan Kristen sejak era Reformasi 1998, terutama masuknya gerakan Islam transnasional di Papua. Sebagai satu akibat, kelompok transnasional radikal, seperti Hizbut tahrir Indonesia (HTI) dan Salafi Wahhabi Jafar Umar Thalib (JUT) telah menyebabkan ketegangan dan membuat hubungan lintas iman memburuk di Papua. Pada sebuah skala nasional, ledakan Bom Bali I dan II, konflik komunal di pelbagai wilayah di Ambon and Poso, telah membuat hubungan Muslim dan Kristen memburuk di Papua, terutama rencana kedatangan kelompok JUT untuk mengibarkan bendera jihad.
 
Toni Wanggai (2009) telah menuturkan berbagai problem yang merundung hubungan Muslim dan Kristiani sejak era reformasi, sebagai satu sisi gelap dari terbukanya jendela kesempatan (window of opportunity) bagi semua organisasi untuk menyuarakan tuntutannya secara terbuka dan lantang. Beberapa masalah yang melukai jantung harmoni keagaman di tanah Papua adalah rencana kedatangan Laskar Jihad yang kalah perang di Ambon dan hendak mencari petualangan baru di Papua, kemunculan “New Islam” dan “New Christianity”, kontroversi Perda Injil sebagai Gospel City di Manokwari, dan kontroversi pembangunan STAIN AL-Fatah.
 
Secara singkat, Wanggai menjelaskan bahwa problem hubungan Muslim dan Kristiani terbit karena kehadiran kelompok transnasional, termasuk kelompok Islam yang mengagungkan jihad sebagai perang dan perlunya menegakkan kekhalifahan Islam di bumi Cenderwasih. Sebagai satu akibat prasangaka dan kecurigaan semakin menjadi-jadi di kalangan umat berbeda agama yang menimbulkan ketegangan dan memperburuk hubungan Muslim dan Kristen. Lebih jauh, pada 2007, konflik skala kecil pecah di Manokwari dan Kaimana (ICG, 2008). Sebagai tambahan, konflik tersebut terus terjadi, insiden Tolikara, penolakan masjid di Wamena dan kabupaten Jayapura terjadi dan menimbulkan luka dalam hubungan antara umat beragama (IPAC 2017, Al-Makassary 2017).
 
Hasil rumusan Dian Interfidei dan FKUB Papua 2016 menunjukkan bahwa terdapat empat tantangan perdamaian dan kerukunan umat beragama di Tanah Papua. Pertama, fanatisme agama yang berlebihan. Kedua, Primordialisme etnik yang berlebihan. Ketiga, marjinalisasi orang asli Papua. Keempat, perubahan sosial akibat migrasi di tanah Papua. Keempat hal ini mesti menjadi perhatian dari Kemenag Pusat, dan juga para stakeholder di Tanah Papua.
 
Siapa yang bertugas menjaga kerukunan beragama di Tanah Papua? Pada dasarnya siapapun yang menjejak dan bernafas di Papua bertugas secara moral untuk menjaga kerukunan beragama di wilayah ini. Namun, ada pihak-pihak tertentu yang secara formal mengemban amanat tersebut, Kementerian Agama di Papua, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), ormas-ormas keagamaan, termasuk Islam (NU, Muhammadiyah, dll) dan Kristen (PGGP, dll), serta pemerintah Papua yang tergabung dalam Forkompinda. Juga para pimpinan agama akar rumput yang bekerja melayani umat. Mereka ini yang memanggul tugas dan tanggung jawab menjaga kerukunan umat beragama.
 
TNI tidak perlu secara khusus diberi wewenang dan tanggung jawab yang menyalahi tupoksinya. Singkatnya, stakeholders bertugas untuk menjaga semangat dan visi Papua Tanah Damai, agar tidak tergerus sehingga terjadi konflik komunal berbasis etnik dan agama. Kerukunan beragama menjadi pertahanan terakhir untuk tidak memperburuk konflik politik yang telah berlarut-larut di Tanah Papua.
 
Ridwan al-Makassary: Pekerja Perdamaian Indonesia, Co-Founder Lembaga Perdamaian Indonesia (LPI), Staf Khusus FKUB Papua 2013-2017, yang sedang menyepi di Perth Australia.

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar