Yasonna Tangkap Pembobol Bank BNI, Fadli Zon: Takut Direshuffle?

Jum'at, 10/07/2020 14:22 WIB
Kolase Fadli Zon dan Yasonna. (Tribun).

Kolase Fadli Zon dan Yasonna. (Tribun).

Jakarta, law-justice.co - Wakil Ketua ‎Umum Partai Gerindra, Fadli Zon kembali melontarkan kritikan keras kepada Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Kali ini dia menyasar langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly terkait dalam menangani buronan pembobolan Bank BNI Maria Lumowa.

Kata dia, ada penanganan berbeda antara Maria Lumowa dengan buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra.

“Mesti‎ penanganan terhadap masalah buronan ini standarnya jelas. Bukan sekadar selera dan juga treatment yang berbeda-beda,” ujar Fadli di Gedung DPR seperti melansir jawapos.com, Jakarta, Kamis 9 Juli 2020.

Kata dia, di satu sisi Djoko Tjan‎dra dengan mudahnya mendapatkan e-KTP. Namun di satu sisi ada treatment khusus bagi Maria Lumowa.

“Jadi kelihatan sekali ada perbedaan yang satu mudah lolos dan mendapatkan e-KTP. Ini juga ada satu lagi treatment khusus,” ucapnya.

Oleh karenanya dia menegaskan jangan sampai persepsi masyarakat timbul penanganan suatu kasus hanya bagian dari pencitraan saja. Sehingga harus jelas penanganan terhadap buronan ini.

“Jangan sampai nanti orang menduga karena orang berlomba-lomba menonjolkan prestasi karena takut direshuffle gitu,” tuturnya.

Sebelumnya, Baru-baru ini, nama Maria Pauline Lumowa tengah menjadi perbincangan hangat. Pasalnya, perempuan berusia 61 tahun itu sudah 17 tahun lebih menjadi buronan, kini akhirnya ditangkap.

Bahkan, penangkapan tersangka pembobolan kas bank BNI senilai Rp 1,7 triliun itu berlangsung di Serbia dan dipimpin langsung oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly.

Sebagai informasi, Maria Pauline Lumowa merupakan Pemilik PT Gramarindo Mega Indonesia. Dia lahir di Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958.

Maria Pauline Lumowa menjadi salah satu tersangka pelaku pembobolan kas bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat Letter of Credit (L/C) fiktif.

Kasusnya berawal pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003. Ketika itu Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai 136 juta dolar AS dan 56 juta Euro atau sama dengan Rp 1,7 triliun dengan kurs saat itu kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.

PT Gramarindo Group diduga mendapat bantuan dari `orang dalam` karena BNI tetap menyetujui jaminan L/C dari Dubai Bank Kenya Ltd., Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.

Pihak BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai melakukan penyelidikan dan mendapati perusahaan tersebut tak pernah melakukan ekspor pada Juni 2003 lalu.

Dugaan L/C fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri, namun Maria Pauline Lumowa sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada September 2003 alias sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.

Perempuan kelahiran Paleloan, Sulawesi Utara, pada 27 Juli 1958 tersebut belakangan diketahui keberadaannya di Belanda pada 2009 dan sering bolak-balik ke Singapura.

Saat itu, Pemerintah Indonesia sempat dua kali mengajukan proses ekstradisi ke Pemerintah Kerajaan Belanda, yakni pada 2010 dan 2014, karena Maria Pauline Lumowa ternyata sudah menjadi warga negara Belanda sejak 1979.

Namun, kedua permintaan itu direspons dengan penolakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang malah memberikan opsi agar Maria Pauline Lumowa disidangkan di Belanda.

Upaya penegakan hukum lantas memasuki babak baru saat Maria Pauline Lumowa ditangkap oleh NCB Interpol Serbia di Bandara Internasional Nikola Tesla, Serbia, pada 16 Juli 2019.

"Penangkapan itu dilakukan berdasarkan red notice Interpol yang diterbitkan pada 22 Desember 2003. Pemerintah bereaksi cepat dengan menerbitkan surat permintaan penahanan sementara yang kemudian ditindaklanjuti dengan permintaan ekstradisi melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham," kata Yasonna dalam keterangan tertulisnya, Rabu 8 Juli 2020 kemarin.

Kata dia, keseriusan pemerintah juga ditunjukkan dengan permintaan percepatan proses ekstradisi terhadap Maria Pauline Lumowa.

Di sisi lain, Pemerintah Serbia juga mendukung penuh permintaan Indonesia berkat hubungan baik yang selama ini dijalin kedua negara.

"Dengan selesainya proses ekstradisi ini, berarti berakhir pula perjalanan panjang 17 tahun upaya pengejaran terhadap buronan bernama Maria Pauline Lumowa. Ekstradisi ini sekaligus menunjukkan komitmen kehadiran negara dalam upaya penegakan hukum terhadap siapa pun yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia," jelasnya.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar