Ditahan 486 Hari, Mahasiswa Dilepas dari Tahanan Mesir

Rabu, 08/07/2020 00:01 WIB
Ilustrasi (The Hans India)

Ilustrasi (The Hans India)

law-justice.co -  

Seorang mahasiswa kedokteran Amerika yang ditahan tanpa diadili di penjara Mesir selama 486 hari, telah dibebaskan dan kembali ke Amerika Serikat, demikian pernyataan Departemen Luar Negeri AS, Senin (6/7).

Organisasi Freedom Initiative yang memberikan advokasi kepada Mohamed Amashah, seorang warga negara Mesir-Amerika asal Jersey City, New Jersey, mengatakan, mahasiswa tersebut dibebaskan setelah melalui tekanan selama berbulan-bulan dari administrasi Trump. 

"Kami menyambut pembebasan warga AS Mohamed Amashah dari tahanan Mesir, dan berterima kasih kepada Mesir atas kerjasamanya dalam pemulangannya," kata Departemen Luar Negeri.

Ketua Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, Senator Jim Risch dari Idaho, menyambut pembebasan Amashah, dengan mengatakan bahwa dia secara pribadi membicarakan mengenai penahanan warganya yang dianggap tidak adil, dengan Kementerian Luar Negeri Mesir, minggu lalu.

Seperti ribuan tahanan politik di Mesir, Amashah, 24, telah ditahan dalam penahanan pra-persidangan atas tuduhan menyalahgunakan media sosial dan membantu kelompok teroris, menurut Freedom Initiative. 

Di bawah undang-undang anti-terorisme, jaksa penuntut telah menggunakan dakwaan yang tidak jelas ini untuk memperbarui periode penahanan praperadilan 15 hari, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dan seringkali dengan sedikit bukti.

Pada bulan Maret tahun lalu, Amashah berdiri sendirian di Tahrir Square, Kairo, pusat pemberontakan Musim Semi Arab 2011 Mesir, memegang papan bertuliskan Arab yang berbunyi "Kebebasan untuk semua tahanan politik."

Dia dengan cepat ditangkap dan dikirim ke kompleks penjara Tora Kairo yang terkenal kejam, tempat dia tinggal selama 16 bulan. Sebelum terbang pulang hari Minggu malam, ia melepaskan kewarganegaraan Mesir sebagai syarat pembebasannya.

Melakukan protes adalah tindakan ilegal menurut hukum Mesir sejak 2013, ketika Presiden Abdel Fattah el-Sissi, sebagai menteri pertahanan, memimpin pemecatan militer Mohamed Morsi, presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis, di tengah protes massa terhadap pemerintahannya.

Selama bertahun-tahun, el-Sissi meredam perbedaan pendapat, membungkam kritik dan memenjarakan ribuan orang.

Pada bulan Maret, ketika virus corona menyebar di Mesir dan meningkatkan ketakutan akan penularan yang tidak terkendali di penjara-penjara negara yang padat, Amashah dan para napi lainnya memulai mogok makan untuk memprotes pemenjaraan mereka yang tidak adil, kata Freedom Initiative.

Amashah menderita asma dan penyakit autoimun, membuatnya rentan terhadap virus, menurut organisasi itu. Kesehatannya yang memburuk memicu ketakutan di Washington, bahwa ia bisa berakhir seperti Mustafa Kassem, seorang dealer onderdil dari New York yang meninggal baru-baru ini setelah mogok makan di penjara yang sama yang berakibat dinginnya hubungan Mesir-AS. 

"Tidak ada yang mau mengambil risiko Kassem lain," kata Mohamed Soltan, pendiri Freedom Initiative.

Kelompok bipartisan senator AS meminta Menteri Luar Negeri Mike Pompeo mendesak pemerintah asing untuk membebaskan tahanan Amerika, termasuk Amashah, mengingat risiko yang ditimbulkan oleh pandemi tersebut.

Musim semi ini, Komisaris Tinggi AS untuk Hak Asasi Manusia meminta pembebasan tahanan pra-persidangan di Mesir untuk menyelamatkan mereka dari kemungkinan terkena wabah virus corona. (Time)

 

(Liesl Sutrisno\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar