Pro Kontra Soal Benih Lobster, Berlaku Adillah Sejak Dalam Pikiran

Sabtu, 04/07/2020 08:21 WIB
Ilustrasi Benih Lobster (mongabay)

Ilustrasi Benih Lobster (mongabay)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo telah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan Perikanan atau Permen KP Nomor 12 Tahun 2020, yang salah satu isinya mengatur izin soal ekspor benih lobster yang sempat dilarang oleh Menteri sebelumnya. 

Dengan keluarnya Permen KP Nomor 12/2020 tersebut secara resmi mencabut Permen KP No.56 Tahun 2016, yang diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan pendahulunya. Setiap orang yang sebelumnya dilarang menjual benih lobster untuk budidaya, kini dengan keluarnya peraturan tersebut larangan itu dihapus dan dijinkan lagi usahanya. 

Tentu saja kebijakan Edhy Prabowo memunculkan pro dan kontra. Soal pro kontra ekspor benih lobster ini sebenarnya sudah menyeruak sejak awal Januari 2020 yang lalu ketika wacana ini digulirkan untuk pertama kalinya. Mereka yang setuju ekspor benih lobster seperti disampaikan oleh Edhy Prabowo sendiri yang menyampaikan berbagai alasannya.

Edhy Prabowo memaparkan filosofinya soal pembukaan ekspor benih lobster, kebijakan yang diambilnya. Menurutnya latar belakang terbitnya Permen KP 12/2020 berawal dari pengalamannya saat menjabat sebagai Ketua Komisi IV DPR. Selama kurun waktu 2014 – 2019, dia menerima banyak keluhan terutama masyarakat perikanan dan kelautan yang sangat terdampak larangan pemanfaatan benih lobster untuk budidaya.

“Lima tahun sebelum jadi menteri saya mendengar langsung keluhan masyarakat pesisir, dari Sabang sampai Merauke, banyak yang mengeluh ke DPR. Semangat awalnya sebenarnya saya ingin menghidupkan kembali lapangan kerja mereka,” urai Menteri Edhy saat membuka seminar daring bertajuk “Budidaya Lobster di Indonesia: Prospek, Peluang Bisnis dan Tantangan Pengembangannya” yang diselenggarakan oleh Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kamis (28/5/2020).

Atas dasar tersebut, dia membentuk tim dan melakukan kajian publik, kajian akademis serta melihat langsung ke lapangan. Bahkan, Menteri Edhy juga melakukan pengecekan ke Unversitas Tasmania, tempat penelitan lobster di Australia. Hasilnya, dia menemukan adanya manfaat yang bisa diambil oleh masyarakat dari komoditas lobster tanpa harus menghilangkan faktor keberlanjutannya.

Sebagai gambaran, disebutkan bahwa di Universitas Tasmania lobster bisa menghasilkan hingga empat juta telur selama musim panas yang berlangsung selama empat bulan, atau sejuta telur perbulannya.

Lagi pula dengan dibukanya peluang eskpor benih lobster bukan berarti mengabaikan aspek  budidaya. Hal ini ditunjukkan melalui syarat ketat untuk bisa ekspor seperti sebelum mengekspor, siapapun harus melakukan budidaya terlebih dahulu. Sementara untuk pembudidaya, Menteri Edhy juga mewajibkan mereka untuk melakukan restocking ke alam sebesar 2% dari hasil panennya. “Ini aturan yang kita buat akan ada pemantauan dan pengawasan ya g ketat, setahun ada pemantauan dan evaluasi ke depan,” tegasnya.

Jadi mengantongi izin saja tidak menjadikan  eksportir dengan serta merta bisa secepatnya mengekspor benih lobsternya. Ada syarat dan ketentuan yang berlaku yang harus dipatuhi oleh pelaku ekspor benih lobster ke mancanegara.

Dalam salinan Permen sesuai aslinya yang diakses dari laman resmi KKP, Jumat (8/5/2020), ekspor dan budidaya lobster dibolehkan dengan berbagai ketentuan. Dalam pasal 5 beleid menyebut, pengeluaran benih bening lobster (Puerulus) dengan harmonized system code 0306.31.10 dari wilayah RI dapat dilakukan dengan beberapa ketentuan. Setidaknya, ada 10 poin yang mengatur hal ini, diantaranya;

Poin pertama, kuota dan lokasi penangkapan benih bening lobster sesuai hasil kajian dari Komnas Kajiskan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal yang menyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang perikanan tangkap.

Poin kedua, eksportir harus melaksanakan kegiatan pembudidayaan lobster di dalam negeri dengan melibatkan masyarakat atau pembudidaya setempat berdasarkan rekomendasi Direktorat Jenderal Perikananan Budidaya. Nantinya eksportir yang telah berhasil membudidayakan lobster ditunjukkan dengan sudah panen secara berkelanjutan dan telah melepasliarkan 2 persen lobster dari hasil budidaya dengan ukuran sesuai hasil panen. 

Poin ketiga, pengeluaran benih bening lobster dilakukan melalui bandara yang telah ditetapkan oleh badan yang nenyelenggarakan tugas dan fungsi di bidang karantina ikan, sebagai tempat pengeluaran khusus benih bening lobster. Benih bening lobster diperoleh dari nelayan kecil penangkap benih yang terdaftar dalam kelompok nelayan di lokasi penangkapan benih bening lobster. Waktu pengeluarannya dilaksanakan dengan mengikuti ketersediaan stok di alam yang direkomendasikan oleh Komnas Kajiskan dan ditetapkan Ditjen terkait. 

Meskipun kran ekspor dibuka, lobster di Indonesia tidak akan punah seperti yang dikhawatirkan oleh mereka yang kontra. Hal in diamini oleh Effendi Ghazali,  dimana ia sangat percaya lobster di Indonesia tidak terancam punah, meskipun ekspor benih lobster dibuka.

Pernyataan tersebut didapat dari data Kementerian Kelautan Perikanan, serta merujuk data yang diperoleh dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES) dan International Union for Conservation of Nature (IUCN).

"Kita beda pendapat soal lobster sedang terancam punah. Kalau badan dunia CITES & IUCN tidak menyatakan lobster terancam punah, saya percaya mereka. Apalagi lobster sudah bisa ditetaskan di hatchery. Atau adakah badan dunia lain yang menyatakan berbeda dengan CITES & IUCN?" tulis Effendi Ghazali dalam cuitannya.

Sementara itu mereka yang kontra ekspor beni lobster berpandangan bahwa ekspor benih lobster lebih banyak ruginya daripada untungnya. Karena itu para pengamat hingga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bersuara menentang rencana Menteri Edhy yang membuka keran ekspor benih lobster ke mancanegara. 

Susi menyebut, lobster sangat bernilai ekonomi tinggi sehingga kelestariannya perlu dijaga. Apalagi, Indonesia telah dianugerahi laut yang luas dan kaya sumber daya. Dia pun menyebut hendaknya manusia tidak boleh tamak alias serakah karena tergiur dengan tingginya harga.

"Lobster yang bernilai ekonomi tinggi tidak boleh punah, hanya karena ketamakan kita untuk menual bibitnya; dengan harga seperseratusnyapun tidak. Astagfirulah .. karunia Tuhan tidak boleh kita kufur akan nikmat dari Nya," tulis Susi Pudjiastuti dalam akun twitternya.

Menurut Susi, lobster bisa bernilai harga tinggi. Lobster dengan berat kurang lebih 400-500 kilogram dibanderol dengan harga Rp 600.000 sampai Rp 800.000. Adapun bila diekspor ke Vietnam, harganya lebih murah. Harga 1 bibit hanya berkisar Rp 100.000 sampai Rp 130.000. "Bibitnya diambil dan dijual hanya dengan Rp 30.000 saja. Berapa rugi kita? Apalagi kalau lobsternya mutiara jenisnya. Di mana satu kilo mutiara bisa sampai Rp 4-5 juta," ucapnya.

Pro-Kontra

Pro kontra ekspor benih lobster sampai hari ini memang masih berlangsung di sosial media. Masing masing disampaikan dengan argumennya yang didasarkan pada kajian, pengalaman dan pengetahuan masing masing pihak yang menilainya. Bahkan isu ini dikait-kaitkan dengan pergantian Menteri segala. Sehingga menjadi politis dan ada niat yang tidak baik dan tidak obyektif.

Tidak kalah hebohnya adalah aksi kelompok penolak ekspor benih lobster yang di komandoni oleh mantan menteri MKP Susi Pujiastuti yang membuat semarak sosial media. Kelompok penolak merasionalisasikan argumentasinya pada aspek over fishing atau kelebihan tangkapan oleh nelayan nanti atau kedepannya. Cara merasionalisasi narasi ini kepada khalayak publik adalah dengan menggunakan bahasa: “Ya Allah kalau Benih Lobster di ekspor, kita ini kufur nikmat namanya.”

Sebenarnya, jawaban atas narasi kelompok penolak ini sangatlah simpel saja yakni: “secara biologis, benih lobster yang bertahan di laut hanya 0,01% saja. Sementara Lobster sekali bertelur bisa mencapai ribuan jumlahnya. Benih Lobster bertahan hidup dalam lingkungannya tidak lama: “waktunya cuma 1 jam, 1 hari paling lama. Umur 1 minggu kalau tak ada mangsa bisa bertahan di medianya. 

Perlu diberikan pencerahan dan kepastian argumentasi kepada masyarakat dan para pembela kelompok masing-masing, bahwa benih lobster bertahan hidup itu sekitar 0,01%. Lalu yang bertahan ini bagaimana cara menyelamatkannya ? “tentu jawabannya harus ditangkap Larva-nya (benihnya).”

Simulasi penangkapan benih lobster ini juga harus diberi pengertian kepada masyarakat Indonesia, bahwa klasifikasi kebijakan sedang disusun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan dua skema solusi yakni; Ekspor Benih Lobster dan Budidaya.

Justru selama ini, larangan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014 – 2019 termasuk “kufur nikmat” karena ikut berpartisipasi membiarkan hatchery (dimangsa) hewan lainnya. Itu terjadi lebih dari empat tahun lamanya. Pertanyaannya? apakah rugi jika tidak ditangkap, ya jawabannya; “otomatis rugi ” karena membiarkan hatchery (dimangsa) hewan lainnya.  Jadi dari perspektif biologi, lobster bertelur menghasilkan larva, lalu menjadi benih lobster, tingkat ancaman benih dalam lingkungannya sangat tinggi ancamannya karena hanya 0,01% yang bisa lolos dari mangsanya.

Belum lagi ketika berlangsung pelarangan eskpor benih lobster, terjadi penyelundupan benih lobster yang merugikan negara triliunan jumlahnya. Dalam periode 2014-2019 bisnis penyelundupan benih lobster ilegal diperkirakan merugikan negara triliunan jumlahnya.

Penyelundupan benih lobster yang digagalkan sebanyak 7,5 juta ekor senilai Rp 1 triliun (Kompas, 2019). Kejadian seperti ini memang tidak bisa dibiarkan, karena bakal mendegradasi sumber daya lobster di perairan nasional hingga bisa masuk kategori terancam punah. Pemerintah sejatinya telah melarangnya lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) No 56/2016. Lantas mengapa bisnis ilegal lobster ini masih saja marak?

Hal tersebut terjadi karena harga benih lobster per ekor di pasar Vietnam, Hong Kong dan China nilainya selangit hingga berkisar Rp200.000. Benih lobster jenis mutiara dibandrol Rp 200.000 (paling mahal), sedangkan jenis pasir Rp150.000/ekornya. Lewat bisnis ilegal, para penyelundup meraup keuntungan hingga triliunan rupiah. Negara tak hanya rugi dari sisi pendapatan nasional bukan pajak (PNBP), melainkan juga stok sumber daya lobster di alam merosot akibat perburuan yang tak terkendali.

Selain itu mafia lobster yang kebal hukum. Sudah jadi rahasia umum bahwa nyaris semua bisnis komoditas perikanan  ada mafia perikanan yang merajalela dan terkesan kebal hukum. Kasus di Sukabumi, pengepul besar yang menyeludupkan lobster nyaris tak tersentuh hukum (Kompas, 24 Juni 2019). Bekerjanya mafia dalam bisnis lobster mengakibatkan negara tak memperoleh Penerimaan Nasional Bukan Pajak (PNBP).

Institusi negara sepertinya tak mampu mencegah penyelundupan itu sehingga benih lobster sampai ke mancanegara. Bahkan dalam jumlah besar capai 40 juta benih selundupan sampai ke negara Vietnam. Sementara data versi pemerintah, KKP periode 2014 – 2019 hanya 1 juta benih lobster per tahun hasil selundupan.

Karena itu adanya kebijakan ekspor benih lobster salah satunya adalah sebagai solusi untuk meminimalkan adanya aksi penyelunudupan yang merugikan negara. Seperti dinyatakan ole Edhy Prabowo : “ekspor benih lobster untuk devisa (bangsa) dan kepentingan rakyat (negara). Tentu ini jawaban sekaligus pelurusan terhadap narasi yang dibangun kelompok penolak ekspor lobster ke mancanegara.

Jadi dari perspektif ekonomi politik, larangan ekspor benih lobster menyebabkan tingginya jumlah penyelundupan. Ini disinyalir penegak hukum atau aparat negara tak mampu mengatasinya. Tentu kondisi ini menguntungkan Vietnam sebagai negara penerima. Pertanyannya, mengapa Benih Lobster bisa sampai ke Vietnam?. Kalau negara tegas, maka benih lobster tak akan bisa sampai ke Vietnam. Kalau benar-benar melarang, tapi kenyataanya berbeda jauh.

Maka perlu dijelaskan kepada publik, masyarakat dan media, kelompok penolak ekspor benih lobster itu, yang dipimpin mantan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014 – 2019, yang memilih ribut di media bersama netizein dan buzzer yang tidak jelas juntrungannya. Mestinya, kelompok penolak ini ikut memberi argumentasi ilmiah dan mengajukan skema kebijakan alternatif, khususnya agar nelayan kecil tetap bisa punya mata pencaharian. Tapi kalau niatnya terus menolak apalagi karena kepentingan personal, maka sampai kapanpun sudah pasti tidak mau menerima argumentasi apapun.

Kalau mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) periode 2014 – 2019 tak mampu menghadirkan argumentasi akademiknya (sebagai bagian dari dinamika intelektual) sebaiknya memang slow down dan obyektif saja. Paling tidak berusahalah menyodorkan rancangan akademik dan solusi praktis kongkret sebagai bagian dari mekanisme pengambilan keputusan atau kebijakan yang bersifat paripurna dan mengakomodir semua kepentingan stakeholder KKP.

Padahal Menteri Edhy Prabowo yang dikenal terbuka, positif dan garing itu, justru menerima siapapun yang datang memberi usulan dan mau berdialog bersama. Termasuk usulan mantan menteri tentunya akan diterima dengan senang hati dan obyektif.

Karena bagaimanapun setiap kebijakan ada plus minusnya, ada pro dan kontranya. Dalam kondisi seperti ini masing masing mempunyai dasar argumennya. Argumen terbaik dan memenuhi rasa keadilan semua pihak, yang seharusnya dijadikan acuan pengambil keputusan untuk menentukan kebijakannya.

Sehubungan dengan adanya polemik pro kontra ekspor benih lobster,  Ketua Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2-KKP) Effendi Gazali pernah mengajak Susi Pudjiastuti datang ke diskusi terbuka membahas polemik ekspor benih lobster.

Effendi Gazali yang juga dosen Ilmu Komunikasi UI menyebut, menyelesaikan polemik melegalkan ekspor benur lobster sebaiknya dilakukan di forum diskusi ketimbang hanya ramai di media sosial. Effendi mengajak Susi memaparkan data yang menjadi dasar soal lobster terancam punah bila keran ekspor benih dibuka oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. 

"Begini Bu, sesuai peradaban ilmiah, kami undang Ibu Silaturahmi & Diskusi Ilmiah "Lobster Apa Adanya". Usul kami Rabu, 19 Feb 2020. Di Aula KKP (rumah Ibu juga kan?). Para ahli & jurnalis mohon semua yang berkenan hadir. Semoga berkenan, jadwal bisa kita cocokkan, trms," tegasnya.

Namun seperti diketahui bersama tantangan diskusi ilmiah itu tidak terealisasikan sebagaimana mestinya. Mantan Menteri Susi beralasan bahwa diskusi di sosial media sudah cukup tak perlu bertatap muka.

Meski tak secara implisit menyebut nama Effendi Gazali, Susi merespon kalau media sosial juga jadi sarana komunikasi publik yang malah bisa didengar lebih banyak orang. "Media sosial adalah platform publik, yang dipakai komunikasi oleh publik dalam memberikan opini, pendapat dll. Baik dari sisi pandang pribadi/publik," tulis Susi di akun Twitternya, Minggu (16/2/2020).

Ramainya polemik ekspor benih lobster bahkan sampai ke presiden, sehingga presiden kemudian buka suara. Menurut Presiden Jokowi, yang paling penting, negara mendapatkan manfaat, nelayan mendapatkan manfaat, lingkungan tidak rusak. Pemerintah tidak bisa hanya melarang ekspor benih lobster. Sebab, banyak nelayan yang tergantung dengan ekspor benih lobster ini.

Walaupun tidak secara eksplisit menyebut nama, jelas Presiden Jokowi mendukung rencana Menteri KKP sekarang Edhy Prabowo, untuk mengekspor benih lobster ke mancanegara. Muncul pertanyaan, apakah rencana ekspor benih lobster ini merupakan bagian dari visi misi Presiden Jokowi sendiri ?  Bisa jadi begitu, sebab dalam banyak kesempatan Presiden Jokowi memberikan warning kepada para menterinya yang baru bahwa tidak ada visi misi menteri, yang ada visi misi presiden. Seandainya rencana Menteri MKP Edhy Prabowo bertentangan dengan visi misi presiden tentu akan segera dianulir kebijakannya.

Dalam misi Presiden Jokowi nomor 2, yaitu "Struktur Ekonomi Yang Produktif, Mandiri, dan Berdaya Saing" ada point "Mengembangkan Sektor-sektor Ekonomi Baru". Jelas rencana Menteri KKP, Edhy Prabowo ekspor benih lobster bagian dari point "Mengembangkan Sektor-sektor Ekonomi Baru" itu.

Kalau memang demikian halnya maka kebijakan KKP Eddy Prabowo perlu didukung pelaksanaannya karena sudah sesuai dengan visi misi Presiden yang sekarang berkuasa. Mengenai adanya pro kontra kebijakan, kiranya sudah menjadi hal yang biasa saja. Yang penting seperti disampaikan oleh Presiden, kebijakan itu negara mendapatkan manfaat, nelayan mendapatkan manfaat dan lingkungan tidak rusak karena kegiatannya.

Jadi bu Susi, stakeholder KKP sudah memberikan waktu dan kesempatan Ibu bekerja selama 5 tahun dan rakyat mengapresiasinya. Sangatlah adil jika kita juga memberikan waktu dan kesempatan yang sama kepada Menteri Edhy untuk menunjukkan kinerja terbaiknya. Tidaklah adil dan terlalu prematur kalau sekarang dia baru mulai bekerja tapi kita sudah menghakiminya. Mengutip pikiran tokoh pejuang dan pahlawan bangsa, Tan Malaka,"Berlakulah Adil Sejak Dalam Pikiran". Tabik Bu Susi dan Selamat Bekerja Pak Menteri...

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar