Satyo Purwanto, Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia`s Democratic Policy Aktivis 98, Sekjend ProDEM 2016-2020

Erick Rombak Struktur Pertamina, Selamat Tinggal Kedaulatan Energi

Jum'at, 03/07/2020 07:45 WIB
Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir. (infosulsel.com)

Presiden Jokowi dan Menteri BUMN Erick Thohir. (infosulsel.com)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir dengan dalih untuk meningkatkan transparansi pengelolaan PT. Pertamina yang rencananya ditargetkan dalam dua tahun ke depan mewajibkan Pertamina untuk melantai di bursa saham melalui penawaran saham perdana IPO, langkah IPO ini sangat berisiko dan berbahaya karena berpotensi menjual BUMN strategis.

Hak istimewa BUMN yang diberikan oleh negara melalui Pertamina tidak dapat dialihkan ke publik begitu saja, karena apabila anak-anak usaha Pertamina dibawah holding hulu akan IPO maka mestinya terlebih dahulu semua keistimewaan dalam kontrak harus dikembalikan kepada negara sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UU No.19 Tahun 2003 Tentang BUMN dan juga PP No 12 Tahun 1998 dimana sebagian besar sahamnya harus dimiliki oleh negara.

Holdingisasi sepertinya hanya akal-akalan dari niat kotor para komprador, holdingisasi di Pertamina sejatinya bukan bertujuan efisiensi bahkan operasionalisasinya akan semakin birokratis dan rawan conflics of interests karena ego para direktur holding karena ada kecenderungan ikut melibatkan diri dalam operasional sehari-hari khususnya dalam proses bisnis terutama di bidang hilir seperti supply chain, pengolahan atau kilang, trading pemasaran, distribusi dan shipping atau transportasi migas.

Bila ada pernyataan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir, sebab yang akan masuk ke bursa adalah subholding tapi bukan Pertamina sebagai holding yang terdapat 100 persen kepemilikan negara logika tersebut PARADOKS ini ciri NEOLIBERALISME, praktek IMPERIALISME KONSTITUSIONAL.

Sekarang coba kita ilustrasikan argumen di atas, jika minyak mentah bagian negara yang berada di bawah kewenangan subholding/swasta dan diolah menjadi bahan bakar minyak di kilang Pertamina atau mungkin diolah di kilang swasta maka akan menimbulkan transaction costs ini berarti pada saatnya akan terjadi penjualan bahan bakar minyak satu harga, satu harga dengan Singapura maksudnya, dan masyarakat akan "tercekik" akibat terpaksa membeli bbm dengan harga yang kelewat mahal.

Sistem perminyakan yang hendak dibangun oleh Erick Thohir nampaknya mengacu pada rancangan Omnibus Law Migas yang akan memisahkan pengelolaan hulu dan hilir padahal akan menjadi tidak efisien sebab akan tumpang tindih seperti di tahun 1970-an antara BUMN Pertamina dan BUMN Pertamina.

Mungkin karena didorong oleh semangat untuk mempercepat langkah-langkah menuju privatisasi melalui IPO, maka ET merombak BOD Pertamina meskipun dasar hukumnya lemah tanpa menunggu disahkannya klaster Migas dalam Omnibus Law yang dimaksudkan sebagai payung hukum dan tentu saja sepertinya bakal ditolak dan digugat oleh masyarakat.

Apakah Erick Thohir tidak membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36 Tahun 2012,dimana dikatakan bahwa terdapat 14 Pasal UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang inkonstitusional yang akibatnya saat ini Pertamina tidak berperan sebagai tuan di negara sendiri, sebagaimana berlaku bagi NOC negara lain yang porsi produksi domestiknya besar karena dominasi pengelolaan hulu migas.

Perombakan direksi untuk mengisi jabatan-jabatan direksi di level holding Pertamina, dimana organisasi holding Pertamina tanpa memiliki posisi direktur hulu, direktur pengolahan dan direktur pemasaran dan supply chain yang menjadi ciri dari basis bisnis perusahaan minyak negara/NOC maupun perusahaan minyak kelas dunia hingga akibatnya diduga manuver tersebut dalam rangka "mengamankan kartel bisnis supply chain migas RI"

Maka dari itu Erick Thohir memastikan Nicke Widyawati tetap dalam posisi DIRUT Pertamina dan diberi tugas "mulia" harus menuntaskan holdingisasi dan IPO Pertamina anak usahanya.Waspadalah!!

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar