Ichwan Arifin adalah Alumnus Pasca Sarjana UNDIP Semarang dan Mantan Ketua GMNI Semarang

Politik Simbol, Politik Banal

Kamis, 02/07/2020 21:01 WIB
Ilustrasi politik yang penuh dengan simbol (harianterbit)

Ilustrasi politik yang penuh dengan simbol (harianterbit)

Jakarta, law-justice.co - "Symbols are given power by people. Alone a symbol is meaningless, but with enough people, blowing up a building can change the world”. Ucapan itu terlontar dari V, karakter utama dalam film berjudul “V for Vendetta”.

Meski film lama. Diproduksi pada 2005 dan diangkat dari novel berjudul sama, karya Alan Moore dan David LIoyd, saat ini masih dapat ditonton dari situs salah satu layanan “streaming film”.

Tulisan ini tidak akan mengulas film tersebut yang menceritakan resistensi terhadap rezim totaliter, namun lebih berbicara tentang simbol dalam komunikasi politik.

Simbol berperan penting dalam komunikasi dan interaksi manusia. Bahasa, menurut ilmu komunikasi merupakan simbol verbal untuk mengemukakan maksud tertentu. Sedangkan simbol non-bahasa merupakan lambang non-verbal yang juga membantu kita menyampakan maksud dan memaknai sesuatu.

Mengutip Klasio dalam “Komunikasi Simbolik-Penggunaan Simbol dalam Komunikasi”, terdapat dua komponen penting dalam mempelajari komunikasi simbolik, yaitu: Pertama, tanda, adalah sesuatu yang bersifat fisik dan dapat dipersepsi oleh indera kita dan makna. Misalnya warna, benda dan sebagainya. Kedua, makna, yaitu hasil dari penandaan. Konsep yang dapat berubah karena faktor-faktor seperti perbedaan konteks, perubahan zaman, latar belakang, pengalaman dan sebagainya.

Sebagaimana dialog V, simbol memiliki kekuatan dan dapat menggerakan manusia melakukan tindakan (secara individu maupun kolektif), pada saat simbol tersebut diberi makna. Misalnya, palu dan sabit (dalam bahasa Jawa disebut arit) merupakan alat kerja yang lazim digunakan dalam kegiatan pertukangan dan pertanian. Namun maknanya menjadi berbeda ketika dituangkan menjadi gambar atau logo dalam kain merah.

Tanpa konstruksi makna, benda-benda tadi akan dipahami sebatas gambar alat dan selembar kain belaka. Namun, saat diberi makna dalam konteks komunikasi politik di Indonesia, maka menjadi sangat luar biasa. Benda-benda tadi dapat dianggap sebagai representasi dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan komunisme. Keduanya menjadi hal terlarang dalam khasanah politik Indonesia.

Proses konstruksi makna tentu tidak instan. Makna itu semakin menguat secara kolektif dan sulit diubah ketika proses konstruksinya dilakukan secara sistematis, doktriner dan berlangsung dari generasi ke generasi. Mistifikasi yang dilakukan rejim Orba terhadap PKI dan komunisme menempatkannya sebagai “hantu” yang mencekam, menakutkan dan menjadi ancaman sepanjang masa. Maka dulu telinga kita sangat akrab dengan dengungan bahaya laten komunis.

Hal yang dapat dipahami, karena salah satu legitimasi berdirinya Orba adalah penghancuran PKI dan kaum kiri radikal dalam lanskap politik Indonesia. Dampaknya adalah pada saat rejim Orba menjadi sangat represif, ketika ada kelompok masyarakat yang berbeda pendapat dengan penguasa, maka dengan mudah dapat dicap sebagai PKI atau komunis.

Secara psikologis, penggunaan simbol dalam komunikasi politik lebih mudah membangkitkan sentimen emosional dan ikatan solidaritas yang didasarkan pada interpretasi kolektif terhadap simbol tersebut. Namun, hal itu tidak selalu sejalan dengan meningkatnya pemahaman secara kognitif terhadap kualitas “pesan” yang hendak dikomunikasikan.

Misalnya, aksi pembakaran bendera PKI dan juga bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mewarnai aksi sekelompok massa menolak RUU HIP di Jakarta beberapa waktu lalu, merupakan komunikasi politik simbol yang sarat makna. Karena sifatnya simbolik, konstruksi maknanya bisa beragam dan tergantung pada pengetahuan, pengalaman dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi otak kita dalam mengolah dan menginterpretasikan simbol tersebut. Tentu makna yang dipahami setiap orang dapat berbeda. Interpretasi saya terhadap peristiwa tersebut bisa bertolak belakang dan tidak disetujui orang lain, misalnya oleh pelaku aksi dan pembakar bendera tersebut.

Lantas pesan apa yang ingin disampaikan melalui aksi tersebut? Karena setiap tindakan pasti memuat pesan yang ingin dikemukakan. Bahkan sekiranya tindakan itu dilakukan secara spontan pun tetap memuat pesan. Dalam konteks aksi itu, selain penolakan RUU HIP, pesan lain yang ingin disampaikan kelompok tersebut adalah isu komunisme.

Mudah dibaca dari narasi yang dikemukakan dan “track record” kelompok tersebut yang selalu mengusung isu komunisme. Semakin diperkuat dengan pembakaran bendera PKI. Namun yang belum jelas hubungan dan konstruksi maknanya adalah pembakaran bendera PDIP. Karena makna dibalik aksi pembakaran itu tidak disampaikan dalam komunikasi verbal.

Pertanyaannya, apakah pembakaran itu dilakukan karena PDIP dianggap sebagai inisiator RUU HIP? Atau karena PDIP dianggap sama dengan PKI? Atau ada makna lainnya? Itulah yang belum terjawab secara verbal. Pimpinan kelompok itu sendiri tidak mengakui pembakaran bendera sebagai bagian dari aksinya. Justru menuduh ada penyusup yang ingin memancing keributan.

Diluar hal tersebut, ada hal penting yang sebenarnya perlu menjadi perhatian bersama. Pertama, komunikasi politik yang lebih mencerahkan adalah melalui lambang verbal dan dialogis. Ini akan menghindarkan dari kesesatan komunikasi. Apalagi bicara isu yang sifatnya konsepsi, misalnya Ideologi yang berada dalam alam pikir dan mempengaruhi tindakan. Jika komunikasi simbol yang terus dilakukan, maka hanya akan menyuburkan kedangkalan pemahaman dan tindakan, tidak akan berkontribusi pada peningkatan kualitas kehidupan politik kita.

Kedua, Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Namun bukan berarti ditempatkan layaknya berhala atau benda keramat yang tidak bisa didiskusikan. Saat ini justru harus dibuka ruang kajian secara dialogis, tentang Pancasila dan juga ideologi lainnya.

Penting dilakukan untuk menghindari monopoli tafsir dan menempatkannya sebagai alat represi kepada elemen bangsa yang berbeda pemikiran dan pandangan. Begitupula, kita juga memahami secara utuh ideologi lain dan tidak serta merta menggunakannya sebagai stempel pada kelompok yang berbeda.

Ketiga, mengutip Benedict Anderson dalam “Imagined Community”, bangsa merupakan sebuah komunitas terbayang. Komunitas politis dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan. Karena komunitas terbayang, maka anyaman kebangsaan harus terus menerus dirajut untuk tetap menguatkan ikatan sebagai satu bangsa. Bukan dengan cara indokrinasi, paksaan atau kekerasan. Namun dengan memberikan perlakuan yang adil dan kesempatan mewujudkan kesejahteraan bersama.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar