Saifan Bin Asnawi, Banda Aceh-Aceh, Perwakilan LGN Aceh

Lakoe Kupi: Cerita Rakyat Aceh tentang Ganja Sebagai Suami Pohon Kopi

Kamis, 02/07/2020 16:44 WIB
Ilustrasi Ganja. (Hello Sehat)

Ilustrasi Ganja. (Hello Sehat)

Aceh, law-justice.co - Sebenarnya niat utama saya, Boim-Perwakilan LGN Aceh, menulis ini hanya menjelaskan secara singkat mengenai sebutan Bak Lakoe atau Lakoe Kupi. Bak lakoe adalah pemanfaatan pohon ganja secara umum sebagai pelindung tanaman di sekitarnya dan sebagai penampung kandungan air sehingga tanah tetap lembab dan tidak pecah atau retak.

Namun, saya juga akan menjelaskan hubungan pemanfaatan ganja dengan kebijakan yang tidak relefan atau cenderung menghakimi jenis mahkluk hidup yang memiliki manfaat bagi sekitarnya dan juga bagi manusia.

Semoga tulisan ini dapat menginspirasikan teman-teman lainnya dalam mencari informasi tentang kebenaran pemanfaatan ganja dari sejak dulu.

Bak Lakoe adalah sebutan masyarakat Aceh untuk salah satu jenis tanaman yang saat ini tumbuh subur di Aceh. Tanaman yang memiliki cerita hampir di seluruh pelosok bumi dengan kehebatannya, kekuatannya, kearifannya, dan kekhasiatannya untuk lingkungan sekitar. Benar..!! Dia adalah tanaman ganja, tanaman yang kami anggap sebagai Lakoe (suami) dari semua jenis tanaman.

UU Narkotika No. 35 tahun 2009 menyatakan bahwa Ganja atau Cannabis (Latin) adalah jenis Narkotika Golongan I yang sampai saat ini masih Ilegal. Pemerintah melalui Wakil Menteri Kesehatan, Bpk. Ali Ghufron Mukti, menyatakan bahwa tanaman ganja bukan jenis tanaman obat (Harian Terbit, 05 Mei 2014). Sedangkan yang disebut Golongan I adalah tanaman ganja dan semua tanaman genus-genus Cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.

Bila kita melihat ganja dari kacamata UU Narkotika saat ini maka kita adalah termasuk manusia yang “menyalahkan” Tuhan, karena negara Indonesia adalah tidak pernah untuk “membenargunakan” tanaman ganja yang selama ini disebut telah “disalahgunakan”, hal tersebut nampak jelas dari upaya pemerintah melakukan pemusnahan tanaman ganja.

Seolah-olah tanaman ganja menjadi penyebab dari kehancuran pemuda-pemudi penerus bangsa. Padahal Indonesia belum pernah melakukan penelitian secara ilmiah khusus mengenai tanaman ganja. Hal tersebut seharusnya telah lama dilakukan mengingat Negara Indonesia sebagai salah satu negara produsen tanaman ganja terbesar. Lihat akibatnya bagi kita, tidak ada regulasi kebijakan pemamfaatan tanaman ganja.

Berdasarkan Buku Hikayat Pohon Ganja, masyarakat Cina kuno telah lama mengenal dan memanfaatkan ganja dalam kehidupan sehari-hari sejak zaman batu. Masyarakat Cina menggunakan ganja untuk bahan tenun pakaian, kertas, dan terapi penyembuhan seperti penyakit rematik, sakit perut, beri-beri hingga malaria.

Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat Aceh, Ganja digunakan sebagai bahan ramuan obat-obatan seperti, obat magh, asam urat, diabetes, obat gosok (kesemutan dan sakit kepala), tali kapal pesiar di masa kesultanan, serta untuk menjaga keharmonisan hubungan seksual dalam bingkai rumah tangga.

Ada hal yang sangat spesial dari pemanfaatan tanaman ganja bila merujuk pada julukan Bak Lakoe (Suami tanaman). Bagaimana tidak hal tersebut menjadi spesial, bila kita lihat lebih jelas bahwa sebutan Lakoe atau suami pada manusia adalah mencerminkan sosok Laki-laki; pemimpin keluarga, bertanggung jawab, serta membentengi keluarganya dari hal yang tak diinginkan.

Begitulah masayarakat Aceh melihat tanaman ganja, terlepas dari pemanfaatan ganja sebagai obat dan temali. Ganja dalam konteks tanaman adalah ibarat laki-laki yang telah memiliki tanggungjawab untuk dapat menjaga keluarganya (tanaman Lainnya) dari bahaya, seperti ancaman kambing liar, lembu, babi hutan dan sampai binatang kecil lainnya.

Bukan hanya itu, sebagai lelaki sejati, Bak lakoe dipercaya dapat menyuburkan tanah sehingga tanaman disekitarnya dapat berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan Bak Lakoe atau tanaman ganja dapat menyuplai unsur hidrogen dengan maksimal kedalam tanah melalui butiran-butiran kecil yang terdapat pada akarnya dan juga dapat membuat tanah semakin gembur.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Aceh, ganja dibawa ke Aceh dari India pada akhir abad ke-19. Pada saat yang sama dengan Belanda membuka perkebunan kopi di Dataran Tinggi Gayo. Mereka memakai ganja sebagai obat alami untuk menghindari serangan hama pohon kopi atau ulat pada tanaman tembakau.

Seiring berjalannya waktu tanaman ganja terus dimanfaatkan sebagai tanaman pelindung untuk tanaman palawija dan tanaman pangan lainnya dari serangan hama. Inilah yang mengakibatkan sebutan Bak Lakoe popular dari Pantai Barat Selatan sampai seluruh pelosok Aceh.

Kebijakan yang selama ini tertuang dalam UU Narkotika No. 35 Thn. 2009 sangat bertentangan dengan pemanfaatan ganja di Aceh (kearifan Lokal) sebagai pelindung tanaman lainnya, dan juga ganja sebagai penyeimbang ekosistem alam serta tanaman yang dapat meningkatkan kesuburan tanah.

Maka saya sangat berharap agar pemerintah dapat lebih serius membuat penelitian ganja. Semoga rencana penelitian yang akan dilakukan oleh LGN dan Kemenkes dapat menjadi rujukan membuat regulasi ganja yang lebih bijaksana.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar