Hari Bhayangkara, IPW Sebut Polri Makin Mengerikan, Ini 7 Alasannya

Kamis, 02/07/2020 10:52 WIB
Kapolri Idham Azis. (CNNIndonesia)

Kapolri Idham Azis. (CNNIndonesia)

Jakarta, law-justice.co - Pada Hari Bhayangkara tahun 2020 ini, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyebut organisasi Polri makin mengerikan.

Kata dia setidaknya ada tujuh alasan kenapa dia berpendapat tersebut.

"Ada tujuh fakta yang membuat IPW merasa ngeri melihat perkembangan Polri," katanya seperti melansir wartakotatribunnews.com.

Alasan yang pertama kata dia, dibandingkan dengan era Orde Baru di era reformasi saat ini Anggaran Polri naik 2000 persen (2000%) lebih.

Tetapi kata dia, hingga saat ini Polri selalu saja merasa kekurangan anggaran.

"Tapi Polri selalu merasa kekurangan anggaran. Namun, seberapa besar anggaran ideal yang dibutuhkan, tidak satu pun elite Polri yang bisa menjelaskan. Polri tidak tahu persis berapa sesungguhnya anggaran idealnya," paparnya.

Alasan yang kedua kata dia, rganisasi Polri saat ini makin obesitas dan menjadi raksasa yang sulit bergerak. Akibatnya kata dia, Polri semakin sulit melayani masyarakat.

"Jumlah Jenderal, Kombes, dan AKBP makin membeludak. Akibatnya, limpahan jenderal Polri mengalir kemana mana, termasuk ke wilayah sipil dan menjadi gangguan bagi karir pejabat ASN," ujarnya.

Kata dia alasan yang ketiga ialah elit Polri makin doyan menambah jumlah jenderal. Sehingga menurut dia, Jenderal Polisi ada dimana mana.

Menurut dia, jika di era Orba total jumlah jenderal polisi hanya 65 orang, maka saat ini jumlah jenderal polisi hampir 300 orang.

"Pada masa orde baru, di daerah sangat sulit menemukan jenderal polisi, kini di setiap daerah sedikitnya ada tiga atau empat jenderal polisi, mulai dari Kapolda, Wakapolda, Kepala BNN Daerah, dan Kabinda" jelasnya.

"Akibatnya, anggaran Polri banyak tersedot untuk membiayai para jenderal, yang sesungguhnya keberadaan jenderal polisi yang membludak itu tidak ada manfaatnya buat masyarakat," sambungnya.

Alasan selanjutnya menurut dia ialah semua Polda dijadikan Tipe A.

Akibatnya kata dia, strategi Polri dalam hal ini makin tidak jelas dan tidak promoter.

"Bayangkan, Polda Bengkulu disamakan dengan Polda Metro Jaya. Sama sama Tipe A. Artinya, tolok ukur Polri makin ngaco dalam menjalankan tugas profesionalnya," kata Neta.

Selain itu, tidak ada proses magang dan belajar yang signifikan bagi perwira Polri dalam menjadi seorang Kapolda.

Jadi kata dia jangan heran, jika nanti Kapolda Bengkulu tiba tiba bisa menjadi Wakapolri atau Kapolri karena tidak jelasnya sistem karir di Polri.

"Sehingga perwira yang tidak pernah menjadi wakapolda atau tidak pernah menjadi Kapolda di daerah kecil, tiba tiba bisa saja menjadi Kapolda di Jawa. Gengsi Kapolda Metro Jaya pun punah karena posisinya sama dengan Kapolda Bengkulu," jelas dia lagi.

Alasan kelima menurut dia, sejak reformasi anggaran yang dikeluarkan Polri untuk membangun sistem Alkom Jarkomnya sudah ratusan triliun.

Ratusan triliun anggaran kepolisian untuk membangun sistem Alkom Jarkom yang representatif tidak pernah terjadi sejak awal reformasi.

"Tapi belum pernah ada audit menyeluruh yang komperhensif terhadap sistem Alkom Jarkom Polri, sehingga sistem Alkom Jarkom Polri tambal sulam dan selalu bermasalah. Anggaran itu seperti membuang garam ke laut, yakni sia sia," tuturnya.

Keenam, lanjut dia, audit komprehensif yang transparan tidak pernah dilakukan Polri terhadap sarana, prasarana maupun persenjataan atau alutsistanya.

"Sehingga ratusan triliun rupiah uang negara untuk pengadaan semua itu, sejak awal reformasi, hanya berujung pada sistem tambal sulam. Tidak ada grand desain yang menjadi landasan untuk mengukur sudah sampai tahap mana sarana, prasarana, dan alutsista yang dicapai Polri dan saat ini posisinya dimana, dan pada periode kapan semua itu mencapai titik ideal," tegasnya.

Alasan terakhir menurut dia, Polri tidak pernah melakukan audit komperhensif terhadap organisasinya, sehingga tidak seorang pun di Polri yang tahu persis seperti apa organisasi dan jumlah personil ideal di kepolisian.

Sementara kata dia, Polri masih sibuk dengan penambahan jenderal di sana-sini dan mendorong jenderal jenderalnya masuk ke wilayah karir pejabat sipil.

"Tolak ukur yang dipakai hanya rasio PBB yang sudah ditinggalkan negara-negara demokratis. Sebab di banyak negara, kepolisiannya sudah mengarah ke era 4.0 dimana keberadaan polisi manusia sudah digantikan dengan teknologi," jelasnya.

Dia menambahkan, dari ketujuh alasan tersebut, pihaknya menganggap Kapolri Idham Azis gagal membawa Polri ke wilayah promoter yang sesungguhnya.

Sementara di lapangan kata dia masyarakat merasa keberadaan polisi sangat kurang.

"Promoter harusnya menuntut Polri yang efisien, efektif dan lincah dalam menjalankan fungsinya. Yang terjadi saat itu organisasi Polri menjadi obesitas dan menakutkan serta terjebak pada banyaknya Kombes dan AKBP yang `nganggur`," katanya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar